Kenapa Antasari Ajukan Grasi Jika Memang Tidak Bersalah?
[tajukindonesia.net] - Pemberian grasi pada terpidana kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Bantaran, Nasrudin Zulkarnain, Antasari Azhar dinilai sarat kepentingan politik.
"Kalau Antasari memang mencari keadilan dan ingin membuktikan dirinya tidak bersalah, harusnya dia mengupayakan PK lagi kalau memang punya bukti-bukti kuat dia tidak bersalah. Makanya saya dugaan kuat saya, ada deal-deal politik dalam pemberian grasi ini. Antasari nampaknya bukan sedang mencari keadilan," urai pakar hukum tata negara dari Universitas Parahyangan, Asep Warlan Yusuf Senin (31/1).
Justru, menurut Asep, dengan meminta grasi ke presiden, Antasari menunjukkan bahwa dirinya bersalah dalam kasus yang sudah diputuskan mulai dari pengadilan tingkat pertama sampai tingkat tertinggi dengan pengajuan Peninjauan Kembali atau PK itu.
"Kenapa dia ajukan grasi kalau memang tidak bersalah? MK kan sudah memutuskan juga PK bisa dilakukan sampai keadilan ditegakkan. Grasi itu kan sama artinya dia mengakui bersalah tapi meminta pengurangan hukuman," jelasnya.
Lebih membuatnya heran Presiden Jokowi malah mengabulkan permintaan grasi Antasari itu.
"Belum pernah ada saya rasa penerima grasi sampai diterima oleh presiden secara resmi di istana, baru kali ini," kritiknya.
Ia curiga Antasari memiliki sejumlah dokumen penting buat pemerintahan berkuasa saat ini.
"Dia berikan dokumen-dokumen itu maka dia pun mendapatkan grasi dari presiden. Tidak ada makan siang gratis kan?" jelasnya.
Asep pun membandingkan pemberian grasi Antasari dengan keringan hukuman buat whistle blower dalam banyak kasus-kasus pidana.
"Yang dilakukan Antasari sekedar mencari fairness bukan justice atau keadilan," cetusnya.
Jika cara seperti itu yang digunakan Antasari maka ia khawatir suatu saat ketika kekuasaan berganti, orang yang tidak suka kembali memfitnahnya dan tidak bisa mengelak. Hal ini pula menunjukkan bahwa hukum bisa dinegosiasikan dengan deal politik.
"Sah saja menggunakan semacam whistle blower untuk mengungkap kasus yang lebih besar, tapi kalau hal ini diakumulasi pada kepentingan politik misalnya untuk menghancurkan lawan politik, maka pemanfaatan kekuasaan pengadilan seperti ini berbahaya," tegasnya. [rmol]
Lebih membuatnya heran Presiden Jokowi malah mengabulkan permintaan grasi Antasari itu.
"Belum pernah ada saya rasa penerima grasi sampai diterima oleh presiden secara resmi di istana, baru kali ini," kritiknya.
Ia curiga Antasari memiliki sejumlah dokumen penting buat pemerintahan berkuasa saat ini.
"Dia berikan dokumen-dokumen itu maka dia pun mendapatkan grasi dari presiden. Tidak ada makan siang gratis kan?" jelasnya.
Asep pun membandingkan pemberian grasi Antasari dengan keringan hukuman buat whistle blower dalam banyak kasus-kasus pidana.
"Yang dilakukan Antasari sekedar mencari fairness bukan justice atau keadilan," cetusnya.
Jika cara seperti itu yang digunakan Antasari maka ia khawatir suatu saat ketika kekuasaan berganti, orang yang tidak suka kembali memfitnahnya dan tidak bisa mengelak. Hal ini pula menunjukkan bahwa hukum bisa dinegosiasikan dengan deal politik.
"Sah saja menggunakan semacam whistle blower untuk mengungkap kasus yang lebih besar, tapi kalau hal ini diakumulasi pada kepentingan politik misalnya untuk menghancurkan lawan politik, maka pemanfaatan kekuasaan pengadilan seperti ini berbahaya," tegasnya. [rmol]