SK pembubaran HTI tak kunjung terbit, Jokowi "dikerjain"


[tajuk-indonesia.com]           -           Sudah hampir satu bulan status badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dicabut oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Namun, hingga saat ini, surat keputusan (SK) pembubaran HTI tak kunjung terbit.

Pemerintah melalui Kemenkumham membubarkan HTI pada 19 JUli 2017. Pencabutan dilakukan sebagai tindaklanjut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2017 yang mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Tindakan tegas diberikan kepada perkumpulan atau ormas yang melakukan upaya atau aktivitas yang tidak sesuai dengan kehidupan ideologi Pancasila dan hukum NKRI. Pemerintah yakin pembubaran HTI bukan keputusan sepihak.

Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dirjen AHU Kemenkumham), Freddy Harris, menjelaskan khusus untuk HTI, walaupun dalam AD/ART mencantumkan Pancasila sebagai ideologi untuk Badan Hukum Perkumpulannya, namun dalam fakta di lapangan, kegiatan dan aktivitas HTI banyak yang bertentangan dengan Pancasila dan jiwa NKRI.

Mana SK Pembubaran HTI?

Tak kunjung terbitnya SK Pembubaran HTI oleh emerintah mulai menimbulkan pertanyaan, salah satunya soal mengapa pemerintah hingga kini belum mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pembubaran ormas Islam tersebut.

Pertanyaan ini disampaikan oleh Dewan Syuro Partai Bulan Bintang (PBB), MS Kaban. Menurut mantan Menteri Kehutanan itu, belum terbitnya SK tersebut diduga karena adanya ketidaksinkronan antara keputusan dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2017.

"Pemerintah belum serahkan SK pembubaran HTI apakah ini petanda pemerintah gagap ragu atau nyesal karena respon publik pemerintah diktator," cuit MS Kaban di akun Twitter miliknya, @hmskaban.
Kaban seperti menantang pemerintah untuk menjelaskan aturan mana yang akan digunakan untuk melarang aktivitas HTi setelah dibubarkan.

"Silahkan baca Perpu no 2 th 2017 psl 59 ormas dilarang (1) (2) (3) (4) pingin tahu yang mana dilanggar HTI. Kemenkumham belum mengamalkan pasal 61,62," tambah politisi senior tersebut.

Akibat belum terbitnya SK pembubaran HTI oleh pemerintah, Kaban mengatakan bahwa presiden Jokowi seperti "dipermainkan" oleh pihak-pihak tertentu.

"Ini bukan bela HTI tapi bela Presiden Jokowi kok spt "dikerjain"," tegasnya.
Utang luar negeri lebih genting dibandingkan Perppu Ormas
Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (Perppu Ormas) melahirkan banyak kontroversi dan kegaduhan baru.

Keadaan mendesak dan genting untuk menyelesaikan masalah hukum terkait ormas secara cepat tanpa proses pengadilan sehingga butuh Perppu dianggap berlebihan dan melangkahi kewenangan pengadilan sebagai salah satu pilar demokrasi.

Senator Jakarta Fahira Idris memandang UU No.17 Tahun 2013 tentang Ormas masih memadai digunakan Pemerintah untuk membubarkan ormas-ormas yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, tentunya melalui mekanisme pengadilan sebagai salah satu ciri negara demokrasi. 

Pada Bab Larangan (Pasal 59 ayat 4) UU No.17 Tahun 2013 sudah jelas dinyatakan bahwa ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.

"Yang punya potensi membuat negeri ini genting adalah utang luar negeri kita yang semakin membengkak, bukan soal aturan ormas, karena undang-undang ormas yang sekarang masih mamadai. Presiden fokus saja menyelesaikan soal utang ini, biarkan menteri-menteri terkait mengurusi ormas-ormas antipancasila dan menyeret mereka ke pengadilan," kata Fahira dalam siaran persnya.

Menurut Fahira, yang membedakan negara demokrasi dan bukan demokrasi adalah sejauh mana lembaga peradilan diberi peran dalam menjaga check and balance dari pemegang kekuasaan. 

Jika negara tersebut demokratis maka lembaga peradilan menjadi aktor kunci menjaga check and balance dari pemegang kekuasaan sehingga akuntabilitasnya terjaga sebagaimana aturan main dari demokrasi. Lembaga peradilan dalam negara demokrasi juga sebagai pemasti agar tidak ada kebijakan pemegang kekuasaan yang melanggar HAM.

"Publik tidak bisa disalahkan jika menganggap Perppu ini menyemai benih-benih otoriter. Karena sekali lagi dalam negara demokrasi hanya lembaga peradilan yang paling obyektif memutuskan sebuah tindakan itu pelanggaran hukum atau tidak, bukan Pemerintah. Oleh karena itu, membubarkan ormas lewat pengadilan menjadi konsekuensi jika bangsa ini ingin tetap teguh memegang prinsip demokrasi," tegas Fahira.

Terbitnya Perppu ini, lanjut Fahira, menunjukkan rezim saat ini sukanya menempuh jalan pintas dan sporadis dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa, walau cara pintas tersebut berpotensi melanggar prinsip-prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara yang sudah kita sepakati bersama sejak reformasi yaitu demokrasi.

"Saya harap DPR tidak menjadi 'stempel Pemerintah' dengan menerima Perppu ini. Kerena jika masyarakat menggugatnya ke MK dan dikabulkan, akan menurunkan wibawa Pemerintah dan DPR sendiri. Kita mendukung pembubaran ormas yang antipancasila, tetapi harus lewat pengadilan," pungkasnya.[rm]














Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :