Rakyat tercekam dengan tindakan diktator, bukan wajahnya


[tajuk-indonesia.com]           -           Sejumlah kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo oleh sebagian kalangan dinilai mengarah ke arah kediktatoran, istilah yang lebih tegas setelah sebelumnya disebut paranoid.

Tuduhan bahwa Jokowi menggunakan tangan besi dimulai sejak Maret 2015 ketika pemerintah secara sepihak memblokir 22 situs Islam melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo). Pemblokiran ini atas alasan laman tersebut memuat ajaran radikalisme, sebuah cap yang seharusnya bisa didiskusikan.

Pemblokiran tersebut terkesan sewenang-wenang karena tidak disertakan argumentasi hukum yang dibuktikan lewat putusan pengadilan. Berangkat dari penutupan secara sepihak situs-situs tersebut, sebagian masyarakat mulai menumbuhkan sikap curiga kepada pemerintah.

Belum lenyap dari ingatan terkait tindakan tersebut, pemerintahan Jokowi kembali menjadi sorotan saat menyikapi aksi sejumlah demo kolosal menolak Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai gubernur DKI. Tak diduga sebelumnya bahwa Joko Widodo yang kala kampanye Pilpres menyebut dirinya suka didemo, ternyata berlaku sebaliknya, yakni menangkapi sejumlah orang dengan tuduhan makar. Tak tanggung-tanggung, menjelang demo 212 (02 Desember 2016) yang turut ditangkap adalah adik Ketum PDIP Megawati,  Rachmawati Soekarnoputri.

Terbaru, adalah penerbitan Perppu Ormas yang juga dinilai sebagai langkah politik yang otoriter. Saat ini, peraturan tersebut baru menggebuk HTI tetapi tidak menutup kemungkinan kemudahan membubarkan organisasi dipakai untuk memberikan tekanan kepada ormas yang kritis kepada pemerintah.

Bantahan Jokowi

Dalam berbagai kesempatan Presiden Jokowi melayangkan bantahan terhadap tuduhan diktator tersebut. Hal itu misalnya disampaikan Jokowi saat memberikan kuis kepada salah satu peserta dalam peresmian Pasanggiri Nasional serta Kejuaraan Nasional tingkat remaja Perguruan Pencak Silat Nasional (Persinas) ASAD di Ponpes Minhaajurrosyidiin, Jakarta Timur, Selasa (08/08/2017).

Saat itu, Jokowi meminta salah satu peserta yang bernama Gladis untuk maju lebih dekat dengan dirinya. Saat itu pula, sang Presiden meminta agar Gladis tak takut kepadanya lantaran dirinya bukan seorang pemimpin yang diktator.
"Gak usah takut, Presidennya gak diktator kok. Sekarang di Sosmed kan banyak yang menyampaikan bahwa Presiden Jokowi itu otoriter. Masa wajah saya kaya gini wajah diktator," ujarnya.

Ucapan Jokowi pun dibalas oleh Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, yang menyebut diktator tidak dinilai dari wajahnya. "Menilai diktator itu bukan dari wajahnya, tapi kebijakan dan tindakannya. Tumpas ormas, tangkap seenaknya, tuduh makar dll, apa demokratis?" kata Fadli di akun Twitter pribadinya.

Fadli memang pernah menulis puisi “Sajak Diktator Kecil”. Sayangnya, dia tidak secara eksplisit menyebut siapa sosok yang dia sindir. Namun, dia mengatakan si diktator bisa tumbang.

Pada pembukaan Simposium Internasional Asosiasi Mahkamah Konstitusi di Universitas Sebelas Maret, Surakarta, pagi ini, Jokowi kembali menyinggung soal kediktatoran.

"Merujuk konstitusi kita, tidak ada satu pun institusi yang memiliki kekuasaan mutlak apalagi seperti diktator. Konstitusi memastikan adanya perimbangan kekuasaan antar lembaga-lembaga negara dan bisa saling mengontrol, saling mengawasi," kata Jokowi.

Pemerintahan diktator memiliki ciri yang jelas, yakni tidak mempedulikan kesejahteraan dan hak-hak rakyak banyak. Diktator hanya mempedulikan mereka yang mendukungnya untuk berkuasa, biasanya hanya sebagian kecil dari komunitas bangsa. Kelompok ini akan dipelihara untuk melegitimasi kekuasaannya.

Kediktatoran atau otoritarianisme sering dikontraskan dengan demokrasi. Pemimpin yang  otoriter akan berpegang pada kekuasaan sebagai dasar berpikir dan bertindak. Segala situasi akan dihadapi dengan sudut pandang kuasa, tanpa memandang tujuan dan manfaatnya.
Dalam pemerintahan diktator yang brutal, kemakmuran hanya dinikmati oleh penguasa, sedangkan rakyat kebanyakan berada di jurang kemiskinan karena mereka hanya dimanfaatkan untuk menopang kekuasaan. Dalam kasus ini adalah sejumlah negara di Afrika.

Kediktatoran ada pada ranah kebijakan politis dan sama sekali tak terkait dengan wajah pelakunya. Kim Jong-un tampak manis kalau tersenyum, tetapi represinya terhadap kebebasan rakyat sungguh mencekam. Gaya ini pernah ditunjukkan oleh Presiden Soeharto yang mendapat gelar "the smiling general" oleh media asing; padahal, kebijakannya banyak yang mencekam kebebasan rakyat, terutama dalam bersuara dan berserikat.

Jadi, yang akan menjadi perhatian adalah ke mana pemerintahan Jokowi mengarah. Apabila sejumlah gejala di atas ada pada Indonesia saat ini, tentu tidak salah menyebut Jokowi diktator. Akan tetapi, apabila kondisi bangsa saat ini sebaliknya, tuduhan bahwa Jokowi diktator sekadar lipsing politik untuk menarik dukungan dari masyarakat yang didasari pada ketidaksukaan terhadap gaya pemerintahannya.[rm]













Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :