Pemerintah lalai awasi ujaran kebencian di tengah masyarakat
[tajuk-indonesia.com] - Pemerintah dinilai lalai dalam dalam mengawasi penyebaran ujaran kebencian di tengah-tengah masyarakat yang dapat berdampak negatif bagi Indonesia.
“Pemerintah lalai mengawasi penyebaran kebencian di tengah-tengah masyarakat. Itu bakal berdampak negatif bagi Indonesia,” kata peneliti retorika dan media dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Desideria Murti, dalam saat diskusi terbatas Penerima Beasiswa atau awardee Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan Republik Indonesia di Perth, Australia, Sabtu (12/08/2017).
Seharusnya, kata dia, pemerintah atau pengambil kebijakan berfokus dengan mengedepankan semua channel komunikasi untuk mendidik masyarakat. Tujuannya, agar memiliki empati diri atau paham tentang jati dirinya, empati pada orang lain, dan kejujuran berekspresi untuk menginspirasi orang lain.
Sehingga, lanjut dia, masyarakat mampu mempromosikan sikap welas asih, paham kebutuhan orang lain, dan kebiasaan berdiskusi baik dalam situasi normal maupun konflik.
Desideria mengusulkan, agar pemerintah Indonesia mampu proaktif dalam menindak konten, ujaran, maupun ungkapan kekerasan. Tindakan tegas bagi siapapun yang mempromosikan kekerasan di masyarakat diperlukan saat ini.
Selain itu, tindakan preventif dengan mengedepankan media, tokoh, dan guru yang paham tentang pendidikan komunikasi non-kekerasan atau yang lebih dikenal dengan non-violent communication juga penting. Komunikasi tanpa kekerasan, atau juga bisa disebut dengan komunikasi kolaboratif juga sudah dikembangkan melalui penelitian dan sistem sejak tahun 1960 oleh Marshall Rosenberg.
Resolusi Konflik
Upaya ini, katanya lagi, dilakukan untuk membentuk peradaban masyarakat yang mengedepankan perdamaian dan resolusi konflik tanpa kekerasan.
“Ini bukan diktaktor atau pelanggaran hak berbicara. Bahkan di negara barat yang terkenal liberal, ungkapan kekerasan pun ada batasnya dan mereka berani menindak serius,” ujar Desideria.
Beragam Kasus
Desi menuturkan, maraknya kekerasan yang terjadi hingga menghilangkan nyawa seseorang, baik dalam kasus main hakim sendiri dan bulliying yang terjadi baru-baru ini cukup mengkhawatirkan banyak pihak.
“Retorika kekerasan sekarang jamak ditemui di masyarakat. Orang dibombardir dengan kalimat-kalimat kekerasan dari media massa, pemuka agama, internet, politisi, dan lain-lain,” terang dia.
Misalnya, dengan kasus kekerasan yang menimpa Muhammad Aljahra alias Zoya di Bekasi. Ia dibakar massa karena dituduh mencuri amplifier Musala Al-Hidayah, Babelan, Kabupaten Bekasi. Juga ada seorang murid kelas II yang tewas di-bully temannya di Sekolah Dasar Negeri Longkewang, Desa Hegarmanah, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.
Desideria menuturkan, manusia memang memiliki kendali diri untuk tidak melakukan kekerasan. Tetapi kendali itu pun dibentuk oleh hal-hal di sekitarnya. Sekarang ini, marak pemaparan dari berbagai sumber tentang adegan kekerasan maupun kata-kata yang mengandung cara melakukan kekerasan atau how to seperti bunuh, bakar, mampus.
Retorika kekerasan jika diwajarkan bisa berbahaya untuk pendidikan masyarakat. Retorika kekerasan harus diwaspadai dan ditindak dengan tegas, kata Desi yang juga awardee LPDP untuk program Doktor pada studi Retorika dan Media di salah satu kampus di Perth.
Bahaya Retorika Kekerasan
Di Indonesia, tamba Desi, orang dengan mudah mengatakan “bunuh-bunuh, mampus lo, bakar-bakar” via online maupun langsung. Ini adalah retorika kekerasan. Ini diwajarkan saat ini karena dianggap tidak serius, hanya bercanda, hanya gertak sambal, dan seterusnya. Tetapi jika dibiarkan, akan membentuk budaya dan metakognisi masyarakat yang impulsive untuk menjustifikasi kekerasan.
“Kasus Zoya maupun anak SD yang dibully hingga tewas ini sudah alarm yang sangat genting pentingnya kesadaran soal kekerasan. Narasi kekerasan yang sudah demikian kencang di Indonesia harus diwaspadai akan membawa arus masyarakat yang gampang main tangan,” ungkap Desideria.
Anggap Serius
Ia mencontohkan, di negara maju, misalnya di Australia, tempat Desideria menempuh S3 saat ini, seseorang yang berani mengatakan “bunuh” pada orang lain, langsung bisa ditindak dengan pengamanan beberapa hari di penjara. Korban juga bisa mengajukan restraining order, yakni sebuah perlindungan agar si pelaku menjaga jarak dengannya. Tidak perlu hingga ke pengadilan, polisi sudah bisa melakukan tindakan aktif jika ada bukti yang mengarah pada kekerasan.
Jika ini dilanggar, jelas dia, maka pelaku akan mendapat denda atau bahkan penjara. Ungkapan penghilangan nyawa seseorang dan kekerasan begitu serius ditanggapi oleh pemerintah di negara maju sehingga siapapun yang mengungkapkannya bisa tersandung kasus hukum atau diamankan oleh kepolisian.
“Kita bisa belajar dari kasus Mathias Boe dan Carsten Mogensen, pemain badminton asal Denmark yang mengatakan bahwa ia mendapat ancaman pembunuhan via Twitter dan Facebook karena kasus BCA Indonesia Open 2017. Ia mengatakan bahwa sekalipun itu ditujukan hanya sebagai lelucon dari penonton badminton asal Indonesia, tetapi jika itu terjadi di Denmark akan dianggap sangat serius oleh pemerintahnya,” tambah Desideria.[rm]