Media Sosial di Balik Peluang Jokowi dan Prabowo pada Pilpres 2019


[tajuk-indonesia.com]         -          Joko Widodo lolos pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, dimana salah satu faktor penentu kemenangannya adalah media digital. Pengkondisian dan penokohannya sebagai tokoh kerakyatan melalui media sosial menuai sukses. Sementara untuk “perang” visi dan misi melalui “cyber army” dari relawan ditopang hackers skala global. Begitu juga dengan teknologi informatika (IT) pada Polling dan Quick Count (Hitung Cepat) yang ditunjang dari Partai Nasdem.

Konon, tokoh di belakang layarnya adalah mantan petinggi salah satu perusahaan Telkom ternama. Kita ingat, kehebohan ketika hasil quick count Pilpres 2014 menunjukkan hasil yang bertolak belakang. Dari kubu pasukan cyber Partai Nasdem, mengumumkan kemenangan Jokowi-JK, sementara hasil quick count PKS merilis kemenangan Prabowo-Hatta Rajasa. Rakyat dibuat ragu kemenangan Jokowi-JK.

Sementara menunggu hasil hitungan resmi KPU (Komisi Pemilihan Umum), tiba-tiba relawan Jokowi juga merilis quick count sehingga persepsi masyarakat menjadi yakin bahwa Jokowi-JK adalah pemenang Pilpres 2014.

Dapat dikatakan, timses (tim sukses) Probowo-Hatta kalah canggih dengan timses Jokowi-JK di bidang IT, karena ditopang hackers tingkat global asal Indonesia yang juga dilibatkan sebagai “Cyber Army” Pilkada DKI Tahun 2017 lalu sebagai bagian dari pasukan Ahok-Djarot.

Cyber Army sebagai Pasukan Perang

Cyber Army di dunia maya adalah pasukan perang yang kinerja serta pelakunya sesuai perintah dan misi dari arsitek dan operatornya. Jumlah server ada beberapa dan pada umumnya di tingkat Pilpres lokasinya berpindah-pindah di luar negeri. Hal ini agar tidak dihancurkan dan untuk ketahanan data agar informasi tidak diketahui oleh pihak musuh. Selanjutnya, ada pihak “pelontar” yang menggunakan akun tokoh yang besar followers-nya, dikombinasi dengan “mesin” untuk penggandaan user. Tujuannya, melipat-gandakan user yang menjadi peluru tentang suatu tema, secara kuantitatif maupun kualitatif sesuai kebutuhan.

Jika tema positif untuk yang didukung, disebar seluas-luasnya, sementara jika diserang ditenggelamkan dengan berbagai cara secara teknis, sehingga isu itu hilang di permukaan. Penokohan adalah hal mudah bagi seseorang yang belum dikenal atau rekam jejaknya relatif terbatas secara nasional. Seperti halnya Joko Widodo saat melawan Foke (Fauzi Bowo) dalam Pilkada DKI Jakarta 2012 dan Pilpres 2014.

Cyber Army akan mengganggu (bully) pihak-pihak yang mendiskreditkan tokoh yang didukung dengan serangan balik personal atau terorganisir (kepada pihak musuh).

Pada tahun 2014, dapat dikatakan bahwa kubu Jokowi-JK lebih unggul dalam hal Cyber Army dibanding kubu Prabowo-Hatta. Sebagai timses formal sebenarnya kekuatan relatif berimbang, namun Joko Widodo memiliki relawan ahli IT dan hacker skala dunia, sehingga pihak lawan sulit mempermainkan data pasca Hari H karena semua dikawal Cyber Army yang bahkan dapat menembus server KPU (Komisi Pemilihan Umum).

Kita mengetahui, selisih angka kemenangan di bawah 5%, rawan di saat penghitungan suara (pasca pemilu). Jika di atas 5% sulit melakukan kecurangan, ingat kekalahan Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Kita ingat bagaimana marahnya Prabowo ketika kalah pada hitungan di daerah Sukabumi, Jember, dan Lumajang, yang menurut laporan timses, di atas kertas harusnya menang, namun saat penghitungan ternyata kalah. Tim Prabowo kemudian melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.

Begitu juga sebaliknya untuk kubu Jokowi-JK di beberapa daerah, sehingga dilakukan pengulangan pemilu, hal itu wajar saja karena merupakan ulah Cyber Army yang gerak dan serangannya hanya dapat dilacak melalui contra–cyber.

Jelas, Cyber Army menjadi bagian kelengkapan pasukan dari seorang kandidat saat ini, apalagi pada skala Pilpres, pemanfaatan teknologi merupakan bagian dari ‘agitprop’ (agitasi, provokasi, dan propaganda) dalam kampanye, baik kampanye negatif maupun positif.

Kampanye negatif adalah cerita fakta negatif tentang musuh, walaupun secara hukum masih di “area abu-abu”. Kita ingat misalnya, pada tahun 2009 Zainal Ma’arif menuduh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah memiliki anak saat masih sekolah di Akabri tahun 1973. Setelah digugat SBY ke Polda, dan politisi Partai Bulan Bintang itu tidak dapat membuktikan pernyataannya, akhirnya “damai” dan meminta maaf setelah mencabut pernyataannya, belakangan Zainal bergabung dengan partainya SBY, Partai Demokrat.

Melalui media sosial, juga apa yang menimpa Habib Rizieq Shihab. Akun HRS dibajak, kemudian “direkayasa” cerita Firza Husein hingga muncullah konten porno. Kampanye negatif kemudian bisa diterima publik, karena Firza Husein memang mengenal Habib, tapi tidak melakukan seperti yang diharapkan oleh rekayasa konten tersebut. Toh, sampai saat ini kasusnya mengambang saja, karena memang bertujuan kampanye negatif terhadap HRS agar popularitas dan ketokohannya hancur. HRS terpaksa lari ke luar negeri, dan upaya menyingkirkan HRS dinilai sudah berhasil.

Peluang Prabowo di Pilpres tahun 2019

Jika hanya Prabowo yang menjadi saingan kuat dalam Pilpres 2019 nanti, tentu peluang Jokowi  cukup besar. Sesuai dengan asumsi para oligarki (partai pendukungnya) yang nyaman dengan kepemimpinan Jokowi, baik dari partai politik maupun para taipan. Sementara, disadari bahwa untuk ketokohan dari pimpinan parpol lainnya tidak masuk kategori RI-1, namun mereka sudah nyaman sebagai oligarki.

Prabowo memenuhi syarat dari segi popularitas, elektabilitas, kapasitas, dan kapabilitas, tapi kehilangan momentum sosial kapital sebagai pemimpin oposisi ketika peristiwa 411 (4 November 2016) dan 212 (2 Desember 2016) terjadi.

Pemanfaatan momentum politik dalam Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 dengan mendukung Anies-Sandi, hanya menguatkan Partai Gerindra dalam jajaran elite partai nasional dan elektabilitas tokoh, tapi bukan Prabowo sebagai kandidat Presiden.

Partai Gerindra walaupun belum secara resmi, sepertinya akan mencalonkan Prabowo lagi sebagai Presiden. Tapi analisa politik menunjukkan kapasitas dan kapabilitasnya kurang memadai dikarenakan rekam jejak di masa lalu.

Paling substantif jika head to head dengan Jokowi di tahun 2019 tentu petahana relatif lebih mempunyai keunggulan komparatif. Seharusnya Prabowo tampil sebagai pembela umat Islam ketika kasus surat Al Maidah 51 dilecehkan Ahok, sehingga timbul gelombang perlawanan yang menghadirkan jutaan orang dari seluruh Indonesia.

Prabowo kehilangan momentum ketika rakyat (mayoritas Islam) merasa dizalimi saat itu. Oposisi Prabowo setengah hati dengan alasan etika dan budaya politik menghindari hal seperti itu, padahal itu adalah golden moment bagi seorang politisi tingkat nasional. Secara positioning, toh Prabowo sudah anti-Ahok, karena Ahok berkhianat pada Partai Gerindra  dengan keluar dari partai tersebut setelah menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2012

Jika Prabowo muncul secara terbuka ketika umat Muslim dizalimi, tentu dia akan menjadi Pahlawan walaupun kurang elok jika dilihat sebagai elite politik. Namun, politik itu adalah persepsi dari khalayak, bukan ditentukan oleh elite. Saat ini elite hanya bagian dari oligarki, di saat pemerintah tidak bisa memberi kesejahteraan karena ketimpangan sosial semakin dalam.

Seorang Habib Rizieq Shihab yang relatif bukan siapa-siapa dalam politik nasional, langsung melejit menjadi orang yang paling ditakuti dalam konteks GNPF-MUI (Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia). Cyber Army berperan besar saat itu, dan konon menambah kekuatan jumlah orang yang bergabung dengan FPI (Front Pembela Islam), karena saat ini, jumlah anggotanya terbesar setelah NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah. Dalam pengaruh FPI, berkembanglah ormas-ormas Islam yang dianggap radikal sehingga menjadi target Perppu (Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang) tentang Organisasi Kemasyarakatan. Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menjadi target awal dari Perppu tersebut.

Dalam Gerakan 411 dan 212 peran Cyber Army begitu besar ketika berkoordinasi dengan jutaan orang se-Indonesia dan Habib Rizieq tampil sebagai tokoh. Prabowo hanya tampil di belakang layar bersama SBY dan tokoh lain, terkesan tidak gentle di mata publik. Seharusnya, Prabowo tampil terbuka di depan publik (Islam), jika ingin menggunakan momen tersebut sebagai sosial kapital di Pilpres 2019.

Kemenangan Anies-Sandi dinilai publik merupakan upaya politik mainstream, bukan karena membela atas nama rakyat. Aset 411 dan 212 seolah hanya aset politik aliran  (Islam radikal) dan kemudian dihancurkan melalui Perppu, Prabowo pun tetap bungkam.

Bagaimana peluang Joko Widodo di tahun 2019?

Joko Widodo sebagai Presiden RI secara objektif tidak gagal total, hanya saja mengalami disorientasi dalam menentukan prioritas pembangunan. Ambisinya membangun infrastruktur adalah jebakan Cina sejak awal dideklarasikan ‘Indonesia Poros Maritim’. Ide awalnya didapat dari Richard Joost Lino (kandidat Menteri Perhubungan Kabinet Kerja 1 yang juga Direktur Utama PT. Pelindo II) yang kemudian dibatalkan Jusuf Kalla sebelum dilantik. Lino mendapat konsep itu dari Li Ka-shing (pemilik Hutchison & Co), pemegang saham pengendali JICT (Jakarta International Container Terminal) yang saat ini buruhnya sedang mogok kerja.

Joko Widodo dinilai berlebihan, bahkan cenderung “sakaw” dalam menentukan anggaran APBN tahun 2017 untuk infrastruktur yang mencapai Rp 387 triliun, dan itu didukung Cina. Padahal secara teknis tidak berdampak langsung secara ekonomi. Sementara rakyat sangat membutuhkan hal yang mendesak versi arus bawah, yakni pendidikan dan kesehatan, pertanian dan kelautan yang berdampak langsung kepada mereka.

Hubungan dengan Cina yang dianggap berlebihan dengan dominannya taipan menjadi bagian dari elite yang menjurus oligarki, memperlihatkan ketidak-mandirian Jokowi. Terkesan, dia didominasi oleh parpol dan taipan, dan terbukti dianggap melindungi Ahok dalam kasus Al Maidah ayat 51, yang sempat membuat negatif citranya di mata grassroots (akar rumput) Islam.

Begitu juga pembiaran atas proyek Meikarta yang belum memperoleh izin dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat namun terbukti sudah melaksanakan pembangunan bahkan melakukan promosi serta penjualan. Dengan nilai proyek strategis, Meikarta terkesan mirip proyek reklamasi di DKI Jakarta. Lippo Group sebagai pengembang terkesan “arogan” dengan mengabaikan pemerintah karena merasa bisa mengatasi, apalagi yang protes hanya selevel Wakil Gubernur Jawa Barat, dalam hal ini Deddy Mizwar.

Pembiaran yang dilakukan Joko Widodo membuat taipan yang merupakan bagian dari oligarki merasa kuat. Ini karena kelemahan pemerintahan Joko Widodo seperti halnya terjadi dengan proyek reklamasi di Pantai Utara Jakarta.

Kedaulatan negara terganggu ketika pejabat negara diabaikan untuk hal yang menyangkut wibawa hukum, sebab apa pun Deddy Mizwar saat bicara mengenai Meikarta merupakan atas nama pemerintah.

Pembiaran Jokowi terhadap Luhut Binsar Panjaitan yang “ngotot” membela reklamasi Jakarta harus jalan. Ini seolah sangat membela kepentingan taipan reklamasi. Maka dengan sendirinya mendegradasi kepemimpinan Joko Widodo di mata rakyat secara terbuka.

Elite politik dan sebagian besar umat Islam (grassroots/akar rumput) memahami kedekatan Jokowi dengan Cina dalam persepsi negatif. Pada era Jokowi juga hadir eksekutif etnis Cina di Indonesia seperti politisi Nasdem Enggartiasto Lukito (Menteri Perdagangan) yang banyak menangani masalah ekonomi UKM (Usaha Kecil dan Menengah), seperti beras, gula, garam, dan lain-lain.

Berikutnya, Thomas Lembong (Kepala BKPM/Badan Koordinasi Penanaman Modal), yang juga mantan Menteri Perdagangan Kabinet Kerja I. Lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, yang juga mantan Menteri Perhubungan periode Kabinet Kerja I.

Pada posisi Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden) ada Jan Darmadi (Jan Darmadi Corp/Nasdem), Rusdi Kirana (pemilik Lion Air/PKB). Di Legislatif, ada Setya Novanto (Ketua DPR RI).

Pada level Gubernur dan Kepala Daerah Tingkat I dan II sudah cukup banyak etnis Cina di beberapa daerah, semenjak Ahok menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta bersama Jokowi.

Tegasnya, peluang Jokowi karena belum ada calon lain yang lebih kuat. Hanya saja, jika masih mengandalkan media sosial untuk berkampanye pada Pilpres 2019 tidak akan kuat lagi pengaruhnya karena pengguna media sosial sudah mempunyai rekam jejak Presiden RI tahun 2014 hingga sekarang, yang tidak jelek tapi juga tidak begitu berhasil.

Persepsi netizen juga terdegradasi soal kedaulatan negara, karena Jokowi sangat berlebihan dalam pembangunan infrastruktur yang identik dengan investasi Cina. Janji kemandirian melalui Nawacita dan Trisakti hanya pepesan kosong, karena sudah terseret oleh arus kekuasaan oligarki, dimana rakyat tahu bahwa sesungguhnya bukan dia sebagai decision maker (pembuat keputusan).

Mewaspadai keberadaan Gatot Nurmantyo

Popularitas Gatot Nurmantyo (GN) melalui sahabat GN adalah antitesa dari figur Jokowi yang dinilai terlalu “dekat” dengan Cina. Rasa kebangsaan dan nasionalisme yang sering disampaikan GN dalam berbagai kesempatan, viral di media sosial. Saat ini memang langka tokoh nasional yang sangat tinggi nasionalismenya terhadap NKRI. Salah satunya yang masih ada adalah TNI yang diharapkan rakyat bisa memegang amanah tersebut dan sesuai konstitusi.

Saat ini, GN tampil sebagai figur alternatif bagi rakyat Indonesia, khususnya anak muda dan kalangan pesantren.

GN dipersepsikan sama oleh rakyat, persis saat kebutuhan terhadap antitesa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tahun 2014 silam, yakni Jokowi yang berasal dari rakyat jelata. Kerinduan pemimpin yang tegas, lugas dan berkomitmen terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta bertanggung jawab terhadap NKRI diwakili oleh TNI, dan “dimanfaatkan” oleh GN, sehingga dapat dikatakan, dia merupakan salah satu kandidat di Pilpres 2019.

Diyakini, jika Joko Widodo atau Prabowo menjadikan GN sebagai calon wakil presidennya, dapat dipastikan bakal memenangkan Pilpres 2019. Namun, politik dapat saja berubah secara eskalatif, mengingat masih ada waktu dua tahun lagi. Apa pun masih akan bisa terjadi.[nn]












Subscribe to receive free email updates: