Haryono Umar: Membentak Saja Dilarang, Jadi Tidak Mungkin Penyidik KPK Cuci Otak Saksi
[tajuk-indonesia.com] - Bekas Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini mengakui memang di era kepemimpinannya di KPK dulu, tak ada penggunaan safe house untuk melindungi para saksi. Namun kalau pun kini praktik penggunaan safe house itu ada, dia meyakini penyidik KPK dalam menjalankan tugas pemeriksaannya di rumah perlindungan tak akan melakukan tindak intimidasi kepada saksi atau melakukan tindakan lainnya yang melanggar hukum. Berikut penuturan eks Wakil Ketua KPK Haryono Umar kepada Rakyat Merdeka
Dulu saat Anda menjadi pimpinan KPK apakah praktik perlindungan saksi dengan mengungsikan saksi ke safe house itu sudah ada?
Waktu di zaman saya sih belum ada. Saya juga kaget kalau ada seperti itu. Di masa kita enggak ada yang begitu-gitu.
Lantas apa kebijakan pimpinan KPK dulu untuk memberikan perlindungan saksi?
Ketika masa Pak (Taufiequrachman) Ruki itu sempat ada, waktu itu saksi itu memang terancam keselamatannya, maka di masa itu dilindungi, itu zamannya Pak Ruki. Tapi setelah zamannya saya tidak ada.
Kenapa di zaman Anda tidak memberikan perlindungan saksi melalui safe house itu?
Ya karena di masa itu tidak ada pentingnya. Memang tidak ada yang meminta perlindungan, paling yang meminta perlindungan itu kan yang mengadukan atau melaporkan sebuah kasus korupsi. Nah perlindungan yang kami lakukan itu dengan jalan tidak memberi tahu kepada siapa pun, siapa pelapor kasus tersebut. Jadi perlindungan secara hukum ya seperti itu yang kami lakukan, tapi untuk perlindungan badan tidak pernah kami lakukan.
Apa ketika itu pimpinan KPK tidak bekerja sama dengan LPSK?
Kalau hubungan baik iya, ya seperti kita berkunjung ke LPSK atau sebaliknya mereka datang ke KPK. Tapi yang betul-betul meminta perlindungan kepada saksi itu memang belum pernah. Karena tidak ada yang diperlukan untuk dilakukan perlindungan pada zaman saya itu.
Nah, kalau saat ini penyidik KPK menggunakan safe house untuk melindungi saksi menurut Anda diperlukan enggak sih?
Saya tidak tahu itu, mungkin yang bersangkutan itu memang meminta perlindungan kepada KPK. Saya nggak tahu persisnya. Kalau di zaman saya kan memang nggak ada anggarannya untuk berikan perlindungan seperti itu, tapi kan kalau untuk era KPK sekarang kan memang ada anggarannya. Dan mungkin saja KPK saat ini menilai memang sudah mendesak untuk memberikan perlindungan melalui safe house. Saya nggak tahu persisnya. Tapi memang lebih baik kalau untuk perlindungan saksi itu dikoordinasikan dengan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) juga. Karena kan sekarang memang ada lembaganya yang mengurusi perlindungan saksi. Di zaman saya kan LPSK itu baru terbentuk. Nah pada zaman Pak Ruki itu LPSK belum terbentuk, jadi memang terancam sekali, sehingga diberikanlah perlindungan itu.
Saksi kasus korupsi bekas Ketua MK Akil Mochtar, Niko Panji Tirtayasa mengungkapkan, salah satu safe house KPK dibiayai oleh pemodal bukan KPK. Beberapa kalangan juga menilai safe house berpotensi menjadi tempat intimidasi. Bagaimana Anda menilai dugaan itu?
Sejauh ini yang saya tahu teman-teman di KPK itu tidak pernah mengintimidasi, jangankan mengintimidasi, membentak saja mereka sudah dilarang. Tidak ada itu. Mereka kan juga sudah mengerti KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), SOP (Standar Operasional Prosedur) penyelidikan. Kalau melihat penyidik kita di KPK, kayaknya mereka tidak mungkin melakukan intimidasi atau mencuci otak dari para saksi yang dilindungi. Kalau terjadi itu, maka kesaksian itu kan enggak ada gunanya, karena akan gugur kesaksiannya, maka mereka menjaga itu. Mereka tetap menjaga professional, dan saya juga melihatnya selama ini proses penyelidikan di KPK itu sangat profesional.
Kalau ada orang yang sakit harus diantarkan, kayak waktu itu ada yang sakit, setiap minggu harus diantarkan, nah itu dibiayai oleh KPK. Ada juga yang katanya lapar diberikan makan, yang mau salat yang kita persilakan untuk salat. Setahu saya seperti itu.
Soal lain. Anda melihat kasus Novel Baswedan yang belum terungkap hingga saat ini seperti apa?
Ya kalau polisi kan mengungkapkan sudah mengerjakan, sudah memeriksa sekian CCTV, bahkan yang menjual bahan kimianya juga diperiksa, tapi kan memang polisi belum menemukan fakta selain itu. Apakah dari Novel kah, atau dari mana lagi, itu yang belum, jadi itulah sumber informasi utamanya. Kalau sudah dapat informasi itu saya rasa bisa diungkap itu.
Pekan lalu sempat beredar wacana pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus Novel. Bagaimana pandangan Anda terkait wacana itu?
Kalau itu begini, tetap saja yang akan melakukan penindakan itu Polri, karena ini tindak pidana umum. Kalau memang KPK dilibatkan di situ, itu hanya sekadar memberikan informasi dan mendampingi. Misalnya Polri ingin meminta keterangan dari Novel, maka KPK wajib mendampingi. Kemudian misalnya Polri perlu mengungkapkan apa saja yang dirasakan oleh KPK, apakah ada ancaman dan sebagainya maka KPK bisa memberikan informasi itu. Sebatas itu saja. Tapi kalau untuk menganilisis kasus itu tetap harus Polri karena ini kan kasus pidana umum. Lagipula kalau KPK terlibat langsung justru akan menjadi pertanyaan banyak orang, ini apa kewenang KPK melakukan itu? Bahkan tim itu akan menjadi persoalan baru. Itu kan harus penyidik tindak pidana umum, sedangkan KPK kan tindak pidana khusus.[rmol]