Peran Netizen Muslim Profetik
[tajuk-indonesia.com] - "KITA berada dalam semesta yang begitu melimpah informasi, tetapi begitu hampa makna". (Jean Baudrillard).
Saya percaya peran netizen muslim di jagat maya ini begitu besar. Beragam gerakan, kontra wacana dan pencerahan banyak dilakukan. Masalahnya sekarang, apakah semua itu benar-benar mengarah kepada perubahan yang terukur? Atau sekadar aktivisme belaka? Merasa banyak melakukan peran, tapi sejatinya hanya mengulang-ulang apa yang telah dilakukan tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada inovasi, hasilnya bukan gerakan yang progresif, tapi sekadar gegap gempita euforia.
Tanpa mengurangi rasa hormat dengan peran netizen muslim di kancah maya, terutama sosial media, saya di sini hanya sekadar mengajak siapapun untuk menengok ulang peran kita dengan basis teori pergerakan yang jelas, landasan filosofis yang memadai, agar peran dan gerakan netizen muslim menjadi lebih bermakna, bukan sekadar gegap gempita. Saya menyebut komunitas ini dengan netizen muslim profetik.
Soal peran netizen sendiri, sebuah studi menarik telah dilakukan. Dr. Fayakhun Andriadi (2016) telah menerbitkan disertasinya menjadi buku yang berjudul "Demokrasi di Tangan Netizen". Di dalam buku tersebut, diketengahkan bagaimana peran netizen yang begitu besar sehingga mengantarkan Obama menjadi Presiden AS dan kemudian menjadi bukti awal akan datangnya demokrasi digital di sana. "Solidaritas Koin Prita", "Aksi Dukungan 1 Juta Facebooker untuk Bibit-Chandra" juga merupakan indikasi kuat dimulainya era baru demokrasi digital di Indonesia. Sebagai tambahan, saya kira "Aksi Bela Islam 212" juga menjadi bagian penting sejarah peran netizen muslim di Tanah Air.
Saya kira, beragam motivasi yang menggerakkan mereka. Nah, untuk memperkaya khazanah agar ruh gerakan di era sosial media semakin punya makna, saya ingin kembali mengangkat konsep penting yang saat ini perlu dihadirkan kembali karena masih relevan digunakan sebagai basis gerakan. Tak lain tak bukan dimensi profetik netizen muslim.
Istilah profetik (berbasis kenabian) sendiri, dalam gerakan sosial pernah dirumuskan secara matang oleh (Alm) Prof. Kuntowijoyo. Salah satu buku menarik yang menyoal topik itu bisa dibaca dalam buku karangannya yang berjudul "Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi" (1991). Kuntowijoyo menyebut gagasan Islam profetik sebagai jawaban atas kebuntuan misalnya gagasan Islam Transformatif ala Moeslim Abdurrahman. Dalam Islam transformatif, memang menjelaskan fenomena sosial dan berupaya mentransformasikannya. Tapi timbul persoalan, ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa? Sampai di sini, ilmu-ilmu sosial transformatif tidak memberi jawaban jelas.
Saya sendiri, dalam pencarian basis
gerakan sempat tertarik dengan gagasan Islam progresif ala Islam
bergerak atau Indoprogres. Saya tertarik dengan keberpihakannya kepada
orang-orang marjinal dan terpinggirkan. Tapi, tidak memberikan jawaban
atas dimensi spiritual sebagai basis gerakan. Kenapa? Belakangan saya
berkesimpulan, gerakan ini lebih banyak membebek marxisme daripada
berkiblat kepada khazanah pemikiran Islam itu sendiri sebagai basis
gerakan, maka wajar dimensi spiritual gerakan tidak akan pernah kita
dapatkan.
Sampai akhirnya, saya lebih percaya dengan gagasan profetik ala Kuntowijoyo. Di sinilah, peran netizen muslim profetik menemukan peran dan maknanya di kancah jagat maya. Lantas, apa dimensi wahyu yang mendasarinya?
"Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, mengajak kepada yang makruf, mencegah kepada yang mungkar dan beriman kepada Allah". (QS Ali-Imran ayat 110).
Dalam dimensi wahyu itu, setidaknya berisi tigal hal yaitu amar makruf (Menyuruh kebaikan/humanisasi), Nahi Munkar (Mencegah kemungkaran/liberasi) dan Tukminunabillah (Beriman kepada Allah/Transendensi). Dalam wacana gerakan, kita sering temukan, liberalisme akan memilih humanisasi. Marxisme liberasi dan kebanyakan agama transendensi, tapi seorang muslim dan netizen profetik berkepentingan atas ketiganya.
Dalam pemahaman singkat di atas, saya mencoba mengurai sedikit bagaimana peran netizen muslim profetik bisa ikut ambil bagian di zaman sosial media yang saat ini masih menjadi bagian dari kehidupan keseharian kita.
Humanisasi. Seorang netizen muslim profetik tentu saja akan menolak segala bentuk dehumanisasi. Hidup harus berdasar akal sehat, nilai dan norma. Dengan demikian menolak misalnya penggusuran atas nama pembangunan, menolak laku gerak, termasuk pilihan politik dengan mengabaikan nilai dan norma agama yang dianutnya. Menolak abnormalitas, termasuk korupsi. Untuk kemudian kembali menjadi muslim profetik rasional yang memanusiakan manusia seutuhnya. Pesan-pesan kemanusian mesti kita gelorakan di jagat maya.
Liberasi. Pembebasan (liberasi) seperti apa yang perlu digelorakan netizen muslim profetik? Dalam politik, kesewenang-wenangan penguasa atas warganya yang lemah, termasuk menolak pemiskinan sistematis yang dilakukan penguasa (negara). Pembebasan dari penindasan umat secara politik, penindasan ekonomi, semuanya itu untuk mendorong keadilan di segala bidang. Pesan perlawanan terhadap segala bentuk kezaliman dan penindasan serta penolakan atas kemungkaran yang terang benderang di depan mata perlu terus disuarakan..
Transendensi. Dalam arti punya kesadaran keTuhanan. Apa yang dilakukan, proses amar makruf (humanisasi) dan nahi munkar (Liberasi) itu bukan hanya didasari oleh dimensi kemanusiaan, tetapi kesadaran untuk menggapai ridhonya, semakin mendekatkan diri padaNya. Dengan demikian, bukan soal menang atau kalah dalam pertempuran amar makruf nahi munkar, tapi sebuah kesadaran telah menunaikan laku kebaikan di jalan kebenaran yang diyakininya.
Memang, setiap muslim profetik berkepentingan atas ketiganya. Tapi, manusia tentu punya keterbatasan. Sehingga, yang sering muncul di tubuh umat, masing-masing menonjol dalam satu seginya. Contoh Aa Gym lebih bercorak amar makruf, Habieb Rizieq lebi bercorak nahi munkar. Semua melengkapi. Sedangkan muslim yang kurang berdaya dan tidak punya kompetensi apapun sehingga hanya bisa berdoa saja, itupun juga berguna. Itu sebabnya diperlukan sebuah komunitas atau jamaah yang solid untuk menjadikannya semuanya itu utuh. Tidak berjalan dan berjuang sendirian.
Inilah basis konsep pergerakan di era sosial media. Dalam praktiknya, tentu saya kira kreativitas bermedia dan bersosial media perlu dimainkan. Setidaknya, tidak diam ketika ada netizen yang jelas-jelas menyuarakan kemungkaran. Juga, perlu terus memberikan pencerahan wacana yang benar dalam setiap persoalan (isu) yang muncul. Sambil tak lupa terus mengevaluasi pergerakan dengan memohon petunjuk dengan doa, karena doa juga berperan sebagai senjata. Begitulah. Jadi, selamat berperan menjadi netizen muslim profetik. Selamat berjuang karena tanpa perjuangan, hidup pastilah tak menggairahkan. [***]
Yons Achmad
Penulias adalah pengamat media dan Founder KanetIndonesia [rmol]
Sampai akhirnya, saya lebih percaya dengan gagasan profetik ala Kuntowijoyo. Di sinilah, peran netizen muslim profetik menemukan peran dan maknanya di kancah jagat maya. Lantas, apa dimensi wahyu yang mendasarinya?
"Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, mengajak kepada yang makruf, mencegah kepada yang mungkar dan beriman kepada Allah". (QS Ali-Imran ayat 110).
Dalam dimensi wahyu itu, setidaknya berisi tigal hal yaitu amar makruf (Menyuruh kebaikan/humanisasi), Nahi Munkar (Mencegah kemungkaran/liberasi) dan Tukminunabillah (Beriman kepada Allah/Transendensi). Dalam wacana gerakan, kita sering temukan, liberalisme akan memilih humanisasi. Marxisme liberasi dan kebanyakan agama transendensi, tapi seorang muslim dan netizen profetik berkepentingan atas ketiganya.
Dalam pemahaman singkat di atas, saya mencoba mengurai sedikit bagaimana peran netizen muslim profetik bisa ikut ambil bagian di zaman sosial media yang saat ini masih menjadi bagian dari kehidupan keseharian kita.
Humanisasi. Seorang netizen muslim profetik tentu saja akan menolak segala bentuk dehumanisasi. Hidup harus berdasar akal sehat, nilai dan norma. Dengan demikian menolak misalnya penggusuran atas nama pembangunan, menolak laku gerak, termasuk pilihan politik dengan mengabaikan nilai dan norma agama yang dianutnya. Menolak abnormalitas, termasuk korupsi. Untuk kemudian kembali menjadi muslim profetik rasional yang memanusiakan manusia seutuhnya. Pesan-pesan kemanusian mesti kita gelorakan di jagat maya.
Liberasi. Pembebasan (liberasi) seperti apa yang perlu digelorakan netizen muslim profetik? Dalam politik, kesewenang-wenangan penguasa atas warganya yang lemah, termasuk menolak pemiskinan sistematis yang dilakukan penguasa (negara). Pembebasan dari penindasan umat secara politik, penindasan ekonomi, semuanya itu untuk mendorong keadilan di segala bidang. Pesan perlawanan terhadap segala bentuk kezaliman dan penindasan serta penolakan atas kemungkaran yang terang benderang di depan mata perlu terus disuarakan..
Transendensi. Dalam arti punya kesadaran keTuhanan. Apa yang dilakukan, proses amar makruf (humanisasi) dan nahi munkar (Liberasi) itu bukan hanya didasari oleh dimensi kemanusiaan, tetapi kesadaran untuk menggapai ridhonya, semakin mendekatkan diri padaNya. Dengan demikian, bukan soal menang atau kalah dalam pertempuran amar makruf nahi munkar, tapi sebuah kesadaran telah menunaikan laku kebaikan di jalan kebenaran yang diyakininya.
Memang, setiap muslim profetik berkepentingan atas ketiganya. Tapi, manusia tentu punya keterbatasan. Sehingga, yang sering muncul di tubuh umat, masing-masing menonjol dalam satu seginya. Contoh Aa Gym lebih bercorak amar makruf, Habieb Rizieq lebi bercorak nahi munkar. Semua melengkapi. Sedangkan muslim yang kurang berdaya dan tidak punya kompetensi apapun sehingga hanya bisa berdoa saja, itupun juga berguna. Itu sebabnya diperlukan sebuah komunitas atau jamaah yang solid untuk menjadikannya semuanya itu utuh. Tidak berjalan dan berjuang sendirian.
Inilah basis konsep pergerakan di era sosial media. Dalam praktiknya, tentu saya kira kreativitas bermedia dan bersosial media perlu dimainkan. Setidaknya, tidak diam ketika ada netizen yang jelas-jelas menyuarakan kemungkaran. Juga, perlu terus memberikan pencerahan wacana yang benar dalam setiap persoalan (isu) yang muncul. Sambil tak lupa terus mengevaluasi pergerakan dengan memohon petunjuk dengan doa, karena doa juga berperan sebagai senjata. Begitulah. Jadi, selamat berperan menjadi netizen muslim profetik. Selamat berjuang karena tanpa perjuangan, hidup pastilah tak menggairahkan. [***]
Yons Achmad
Penulias adalah pengamat media dan Founder KanetIndonesia [rmol]