Jokowi - Habibie Bertemu, SBY Tersinggung?
[tajukindonesia.net] JIKA perang kata-kata di media sosial - Facebook dan
atau WhatsApp (WA) yang jadi ukuran, maka perang kata-kata itu bisa memunculkan
persepsi bahwa Perang Saudara di Indonesia sudah di ambang pintu.
Dan pecahnya Perang Saudara, tidak dalam hitungan bulan
apalagi tahun. Bisa meledak dalam hitungan minggu atau hari. Bagaimana tidak?
Berbagai ungkapan kebencian - mulai dari yang
bersifat satire, rada sopan dan menyerang tidak langsung, sampai dengan yang
vulgar, sudah menjadi hal yang normal dan wajar. Simbol yang sakral, menjadi
hal yang tidak ditabukan lagi.
Layar media sosial yang ada dalam genggaman setiap
netizen, menjadi panggung baru untuk melampiaskan segala ketidak sukaan
kebencian terhadap teman, bekas teman dan teman baru.
Ketika media sosial baru hadir di Indonesia, layar
gadget, dibanjiri oleh ungkapan-ungkapan filosofis, cinta, romantisme dan
wawasan. Kini semua yang indah-indah itu sudah hilang.
Postingan yang seperti itu, sudah menjadi sesuatu
yang kuno alias ketinggalan zaman.
Muncul komunitas baru yang dalam waktu singkat
berubah menjadi sebuah komunitas global -citizen journalist. Dimana setiap
pemilik PIN komputer dan HP tiba-tiba saja menjadi journalist atau wartawan.
Dan kalau di media mainstream, media lama,
pekerjaan wartawan masih dibagi dalam beberapa tingkatan, kali ini tidak
demikian.
Seorang citizen journalist yang menjelma sebagai
reporter junior, tanpa jam terbang dan pengalaman memadai, bisa langsung
merangkap berbagai jabatan. Yaitu Reporter, Fotografer, Asisten Redaktur,
Redaktur, Wakil Redaktur Pelaksana, Redaktur Pelaksana, Wakil Pemimpin Redaksi,
Pemimpin Redaksi.
Di tangan seorang reporter junior jebolan
Institute of Citizen Journalist tersebut, juga melekat jabatan tertinggi,
sebagai pemilik, pendiri dan pemegang saham satu-satunya. Sepuluh jabatan
berada dalam genggamannya. Ten in One.
Wartawan benaran, yang belajar menulis dari awal,
memperhatikan psikologi massa, pribadi dan yang dididik harus punya rasa
tanggung jawab jika menyiarkan sebuah berita, tenggelam oleh banyaknya Citizen
journalist.
Alhasil, tidak jarang media sosial melahirkan
berita dan informasi yang masuk kategori hoax, pelintiran dan provokasi.
Framing, Formating dan Ploting sudah menjadi hal
yang biasa dalam postingan untuk menyerang atau bertahan.
Sebuah berita yang diterbitkan 4 tahun sebelumnya,
misalnya �" sebelum WA menjadi bagian dari media sosial, bisa didaur ulang
menjadi Breaking News. Tujuannya tidak lain sekedar menyebarkan kebohongan demi
sebuah kebenaran”.
Ketika provokasi itu masuk ke soal perbedaan agama
dan keyakinan, tidak ada yang bisa mengingatkan apalagi mengerem. Bahwa hal itu
berbahaya, berpotensi merusakan bingkai NKRI.
Boro-boro mengingatkan -siapa yang berani
mengingatkan? Bisa dituding sebagai anti kebebasan berekspresi. Anti demokrasi
dan anti perbedaan.
Ya, keadaan ini cukup memprihatinkan. Terutama
karena topik yang jadi sumber perdebatan adalah soal yang sensitif. Yaitu soal
SARA.
Masalah SARA di era pemerintahan Orde Baru, sangat
dilarang oleh rezim untuk diperdebatkan. Kebijakan mana ternyata bukan hanya
cocok untuk rezim otoriter tapi juga bagi rezim yang tidak berpengalaman
mengelola negara.
Pada tahun 1996, seorang cendekiawan Amerika,
Samuel P. Hutington mengingatkan bahaya baru. Yaitu terjadinya benturan
peradaban atau Clash of Civilizations.
Buku tersebut merupakan sebuah kesimpulan
akademisi, setelah selama kurang lebih 4 tahun, Hutington melakukan evaluasi
atas berakhirnya Perang Dingin di tahun 1990.
Buku ini memang nyaris tidak pernah dibahas di
Indonesia.
Pertama mungkin karena ketika buku tersebut
diterbitkan, euforia keberhasilan rezim Orde Baru masih sangat membahana.
Kedua setelah rezim Orde Baru berakhir, para
intelektual kita sibuk dengan dirinya sendiri. Demikian pula dengan penguasa,
pengganti rezim Orde Baru. Para individu yang tiba-tiba berada di panggung
kekuasaan.
Ketiga mungkin karena bangsa kita memang tidak
suka membaca. Kita merupakan bangsa yang Non-Reading Society.
Padahal dalam buku Hutington tersebut, khusus
Indonesia, juga disinggung. Bahwa yang akan menjadi pusat konflik adalah soal
agama.
Tentu saja Hutington, tidak saja menyoroti
Indonesia secara khusus. Melainkan secara global.
Peta dunia, dia beri warna yang berbeda untuk
menunjukkan negara mana dan topik apa yang akan jadi sumber benturan peradaban.
Sehingga sangat jelas, keadaan yang terjadi di
Indonesia saat ini, sudah diprediksi sejak 20 tahun lalu.
Kalau boleh berpikir waras, sebetulnya elit yang
ada di negara kita, semestinya sadar akan apa yang jadi sorotan Hutington. Dan
kalau sadar, semestinya, mereka bisa ikut meredakan suasana, menurunkan tensi
pertentangan.
Sayangnya, situasinya tidak demikian. Para elit,
maaf harus saya katakan, sudah menjadi sotoy” atau bahkan sontoloyo”.
Sungguh memprihatinkan. Sebab perdebatan semakin
mengerucut yaitu hanya terbatas pada soal perbedaan agama -khususnya Islam dan
Kristen.
Sebagai seorang yang beragama tapi tidak ahli, saya
perhatikan, ketika berdebat, tak jarang yang terlibat dalam perdebatan
merupakan ‘orang awam’ di agama masing-masing. Artinya tidak semua ahli. Atau
kalaupun mereka mengklaim paling tahu, mereka adalah netizen yang tiba-tiba
menjadi BP dan PB (Baru Pintar dan Pintar Baru).
Kalaupun ada ahli agama (Islam) yang muncul, itu
hanya terbatas pada Habib Rizieq. Habib-habib lainnya seperti yang satu
pandangan dengan almarhum Gus Dur, pada sembunyi atau tak berani bersuara.
Terjadi polarisasi antara yang Pancasilais plus dan Pancasilais minus.
Terlepas siapa yang benar dan siapa yang memulai,
perdebatan ini tak ada yang bisa melerai apalagi mencoba menghentikan.
Kementerian Agama yang seharusnya bisa menjadi
mediator dan fasilitator, mengelak, buang badan atau tidak berbuat apa-apa.
Antara lain karena mungkin kementerian ini, tidak
pernah menyangka bahwa perdebatan soal beda agama, kelak berkembang demikian
panas di media sosial.
Atau kementerian ini memang terlanjur hanya
mengurus masalah rutin. Sementara pimpinannya, kalah wibawa secara karismatik
dengan umat yang dipimpinnya. Muncul pertanyaan, apakah Republik ini masih
butuh Kementerian Agama?
Sama halnya dengan Kementerian Informasi dan
Telematika. Kementerian yang merupakan penerus Departemen Penerangan ini,
terkesan, tidak punya pola. Apalagi konsep bagaimana membatasi perdebatan
tersebut secara teknik.
Selain keampuhan dan peran media sosial mungkin
tidak pernah diperhitungkan oleh Komando, atau karena kementerian ini sendiri,
tidak punya tenaga ahli yang benar-benar ahli.
Maka berlanjutlah perdebatan panas dalam soal
perbedaan keyakinan di antara sesama bangsa Indonesia, tanpa ada yang bisa
memastikan kapan berhentinya.
Di tengah suasana yang semakin memanas tersebut,
saya mendapat postingan dari Spanyol, Eropa Barat. Berhubung datangnya dari
anak sendiri yang selama ini saya tahu dia tidak begitu tertarik pada masalah
politik gaduh di dalam negeri, postingan itu saya abaikan.
Saya baru ngeh” ketika telepon WhatsSApp berdering
lalu bertanya.
Dad, ada apa dengan SBY?”
Setelah terjadi dialog, dia bertanya sebegitu
besarkah ketersinggungan SBY setelah melihat BJ Habibie, Presiden ke-3
Indonesia dan Presiden Jokowi bersahabat di Istana?
Saya masih belum ngeh”. Akhirnya putra saya yang
berprofesi juru masak makanan, bukan juru masak politik, minta saya
memperhatikan jam pada waktu tweet SBY diposting. Kejadiannya 19 Januari 2017.
Coba perhatikan tanggal, hari dan waktu Presiden
Jokowi menerima Presiden ke-3 RI, BJ Habibie, dengan twitter-nya SBY.
Adapun bunyi tweet SBY tersebut: Ya Allah. Tuhan
YME. Negara kok jadi begini. Juru fitnah & penyebar hoax” berkuasa dan
merajalela. Kapan rakyat & yang lemah menang?” Di bagian bawa tertulis
SBY”. Sementara di bagian atas terpampang foto SBY yang berpeci.
Saya tidak bisa berdebat ketika anak kelahiran
tahun 1982 ini, menilai, jika benar tweet itu berasal dari seorang bekas
Presiden maka semakin sulit bagi Indonesia keluar dari krisis.
Dan jika benar bekas Presiden itu memposting tweet
seperti itu, di mata dia, SBY telah melakukan hal yang sangat tidak pantas bagi
Indonesia, negeri yang pernah dia pimpin selama 10 tahun.
Kalimatnya di twitter, lebih mencerminkan
kepicikan rakyat yang tidak berpendidikan. Semoga tweet itu bukan dari SBY.
Tapi dari Adminnya”, kata Alvrie atau Derek Manangka junior.
Negara, demikian tambahnya, patut mengevaluasi
semua fasilitas yang diberikan kepada SBY. Sebab SBY tidak memerankan peran
seharusnya. Yaitu negarawan atau bapak bangsa. Sementara fasilitas negara yang
diberikan kepadanya merupakan simbol penghargaan negara kepada SBY sebagai
bekas Kepala Negara.
Saya lebih menghargai Prabowo Subianto. Dia
merupakan lawan tanding yang dikalahkan Jokowi di Pemilu 2014. Tapi sikapnya
lebih berkawan dengan bekas lawannya. Prabowo lebih patut dijuluki negarawan
ketimbang SBY. Saya akan senang kalau semua korupsi yang terjadi di era SBY
dibongkar oleh negara…….” [rm]