Catat, DPR Boleh Intervensi Kasus Hukum!
[tajukindonesia.net] Polemik terjadi di Senayan ketika bergulir wacana pembentukan
Pansus Hak Angket Kasus Makar. Di satu pihak berpendapat, sebagaimana pendapat
umum, kasus hukum tidak dapat diintervensi oleh siapapun ketika sudah ditangani
oleh Penyidik. Pelawannya berpendapat, Pansus boleh saja dibentuk untuk
menyelidiki kasus hukum apabila diperlukan sebagai pengawasan legislatif, yaitu
pelaksanaan UU. Yang benar seperti apa?
Setelah
polemik tadi, menyusul peristiwa hukum lagi. Sejumlah tokoh masyarakat yang
telah ditetapkan sebagai tersangka makar oleh Kepolisian mengadu ke DPR, di
antaranya Rachmawati Soekarnoputri, Kivlan Zein, Dhani Achmad, Hatta Taliwang,
dll. Mereka diterima Komisi III dan Wakil Ketua DPR, Fadli Zon yang membidangi
tupoksi hukum dan politik.
Saya
lihat di televisi , Fadli Zon menyampaikan aspirasi aktivis tersangka makar.
"Jika tak ada bukti kuat, di SP3 saja," saran Fadli Zon.
Muncul
pertanyaan, apakah DPR hanya berfungsi sebatas parle (bicara)? Apakah fungsi
pengawasan DPR berhenti oleh hukum acara, dalam hal ini KUHAP. Dua hari
kemudian, kepolisian menjawab di pers bahwa kasus hukum tadi tak boleh
diintervensi oleh siapapun. Maksudnya tak boleh ada extra judicial.
Untuk
fungsi DPR, larangan extra judicial itu tak berlaku. Tergantung caranya. Jika
dipandang penting suatu masalah harus diintervensi, boleh dan bisa, baik dalam
lingkup hukum acara maupun materi perkara karena ada undang-undangnya. Yaitu,
UU Nomor 6 Tahun 1954 tentang Hak Angket DPR. UU ini lex specialis. Artinya ia
berada di atas KUHAP dan KUHP.
Dalilnya
"lex specialis derogat legi generali" adalah azas penafsiran hukum
yang menyatakan hukum bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum
bersifat umum (lex generalis). Kasihan juga DPR, diserang pakai postulat extra
judicial lantas terdiam seribu basa. Padahal ia punya instrumen luar biasa
kuat.
Pintu
Masuk
Hak
Angket tercantum dalam UU MD3, dulu namanya UU Susduk. UU ini memuat hak dan
kewajiban anggota DPR, DPRD, dan DPD. Dua dari sejumlah hak anggota tersebut
lintas fraksi. Yaitu, Hak Interpelasi dan Hak Angket. Syarat mengusulkan Hak
Angket (penyelidikan), minimal diusulkan oleh 13 anggota. Pengusul itu tak
harus dari satu komisi, tapi lintas fraksi. Setelah ditandatangani oleh 13
pengusul, disampaikan dan dideklarasikan bersama Wakil Ketua DPR tupoksi hukum
dan politik. Hak Angket yang dimuat oleh MD3 hanya berfungsi pengantar, pintu
masuk. Eksekusi lanjut menggunakan UU Hak Angket DPR Nomor 6 tahun 1954 tadi.
UU
ini, memberikan kekuasaan kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman kepada Pansus
Hak Angket. Dengan demikian, UU ini adalah lex specialis. Hingga kini UU ini belum
pernah diamandemen sejak diterbitkan.
Contoh
UU lex specialis adalah UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. UU ini memuat
sekaligus hukum acaranya. Karena lex specialis UU KPK lebih tinggi kekuasaannya
daripada KUHAP dan KUHP generalinya, sehingga memunculkan sejumlah norma yang
berbeda dengan generalinya. Misalnya KPK tak memiliki SP3 yang dalam KUHAP dan
KUHP merupakan hak tersangka. Pada UU Hak Angket DPR tak ada hukum acaranya,
dan wajib dibuatkan oleh Pansus Hak Angket. Bagaimana bentuk dan dilaksanakan
kekuasaan kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, tergantung kehebatan hukum
acara yang dibuat Pansus Hak Angket.
Bagaimana
posisinya terhadap UU Nomor 2 tentang Kepolisian, UU Nomor 16 tentang
Kejaksaan, dan UU Nomor 5 tentang Kekuasaan Kehakiman? Tetap lex specialis,
sedang ketiga UU tadi generalinya. Jika tidak, menjadi nebis in idem dengan
resiko batal seluruhnya karena nebis adalah azas hukum. Untuk memenuhi
legalitasnya, hendaknya Hak Angket didaftarkan dalam Lembaran Berita Negara.
Pansus
Hak Angket membutuhkan perancang yang piawai Hukum Acara UU Nomor 6 Tahun 1954
agar mampu memaksimalkan kekuasaan kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman. Jadi
Pansus membetuk penyidik, penuntut, dan pengadilan adhoc.
Saya
berpendapat, UU Nomor 6 Tahun 1954 itu mampu membypass sejumlah UU. Antara
lain, jika arahnya ke impeachment, anggota Pansus memiliki legal standing untuk
mengajukan gugatan langsung ke Mahkamah Konstitusi, baik bersama-sama maupun
sendiri-sendiri tanpa harus memenuhi UU Tatib sekalipun tak diatur dalam hukum
acaranya. Jika arahnya ke pidana dan perbuatan melawan hukum, Pansus langsung
mengeksekusi.
Kesimpulannya,
DPR boleh dan bisa mengintervensi hukum tanpa extra judicial sepanjang dalam
jurisdiksi lex specialis UU Nomor 6 Tahun 1954. Saya kira Benny Kabur Harman
dan Trimedya Panjaitan sangat paham UU ini, sebab sempat kami bahas karena saya
dan Benny berbeda pendapat ketika saya mengajukan Hak Angket Skandal Korupsi
Bank Mandiri yang Rp 20,1 triliun karena Kejaksaan Agung mulai menyidik perkara
yang mengantar ECW Neloe ke penjara.
Anjuran
saya agar DPR lebih rajin menggunakan UU itu untuk menunaikan tugas
"menampung dan menindaklanjuti laporan masyarakat". Jangan cuma
diajak bicara doang masyarakat, ditindaklanjuti! DPR menurut saya harus mulai
membangun budaya hukum, jangan semua diselesaikan dengan lobi. Jika Pansus Hak
Angket meragukan penanganan makar oleh kepolisian, misalnya, diangket saja. Hak
Angket juga mampu mengawasi kepolisian, kejaksaan, kehakiman. Kalau tak
menggunakan UU Nomor 6 itu, ya mustahil untuk mengawasi kepolisian.
Bagaimana
mengawasi orang bersenjata? Beda dengan di Amerika, kepolisian negara bagian
(polda), diawasi oleh FBI, polisi nasional. [trp]