Revisi UU ITE Berpotensi Kekang Kebebasan Ekpresi di Indonesia!
[tajukindonesia.com] - Proses pembahasan RUU Perubahan UU ITE menuai kekecewaan. Padahal, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dan LBH Pers telah berulang kali menyatakan keprihatinan mengenai arah perubahan setengah hati dari UU ITE tersebut.
DPR RI akan melakukan rapat paripurna pengesahan Revisi UU ITE yang telah dibahas Panja Komisi I DPR dengan Pemerintah. Setelah hampir 6 bulan, akhirnya Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU Revisi UU ITE), disetujui oleh 10 Fraksi di Komisi 1 DPR RI.
ICJR dan LBH Pers menilai, tidak ada satupun sidang–sidang pembahasan RUU Perubahan UU ITE yang dinyatakan terbuka oleh Pimpinan Komisi I dan Pimpinan Panja Komisi I.
"Hal ini merupakan kemunduran dan mencederai semangat dari para pimpinan DPR untuk membuat DPR yang modern, transparan, dan akuntabel," ujar Anggara, anggota ICJR, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (27/10)
ICJR dan LBH Pers menolak berbagai ketentuan yang ada dalam revisi tersebut. Pemerintah seharusnya mencabut ketentuan Pasal 27 ayat (3), bukan hanya mengurangi ancaman hukumannya.
Dalam hal ini, ICJR dan LBH Pers menilai argumen pemerintah lemah. Norma dan praktik perubahan tersebut masih tetap berpotensi mengancam kebebasan ekspresi.
"Problem yang terjadi adalah pasal-pasal pidana tersebut (Pasal 27 ayat (3) Jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE) terbukti masih bersifat karet, multi intrepretasi, dan gampang disalahgunakan," ungkap Anggara.
Kemudian, perubahan hukum acara pidana terkait UU ITE memberikan kewenangan diskresi aparat penegak hukum yang terlalu luas tanpa melalui pengadilan.
"Kami mengecam kemunduran proses 'fair trial' dalam ketentuan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam revusi UU ITE," tegas Asep Komaruddin, anggota LBH Pers.
Padahal sebelumnya, proses penangkapan dan penahanan dalam UU ITE yang lama masih memerlukan izin dari Ketua Pengadilan (Pasal 43 ayat 6). Dengan menghilangkan izin dari Ketua Pengadilan, maka upaya paksa akan menjadi diskresi aparat penegak hukum.
Lalu, terkait Pidana Cyber Bullying yang berpotensi lebih buruk dari pasal 27 ayat (3) UU ITE. Aksi merisak atau merundung di dunia siber (cyber bullying) ini disisipkan di Pasal 29. Menurut Asep, kebijakan kriminalisasi yang memasukkan Cyber Bullying ini juga berpotensi menimbulkan overkriminalisasi.
"Merumuskan tindak pidananya dalam pasal 29 UU ITE ini justru yang akan menjadi masalah serius. Banyak ahli pidana dan Negara-negara lain mengalami kesulitan dalam merumuskan pengertian perundungan. Lagi pula seluruh ketentuan cyber bullying sudah masuk dalam banyak ketentuan pidana UU ITE," terang Asep.
Kemudian soal Penapisan Konten dan Blocking Konten, Revisi UU ITE justru menambah kewenangan pemerintah tanpa mengatur mengenai kewajiban dan prosedur yang memadai.
"Prosedur pemutusan akses, yang minim ditambah dengan indikator yang tidak memadai terhadap konten 'muatan yang dilarang' akan mengakibatkan kewenangan yang eksesif, yang gampang disalahgunakan oleh pemerintah," kata Asep.
Dan yang terkahir, terkait ketentuan Pasal 26 yang mengatur soal pemberitaan negatif terhadap seseorang di masa lalu. Pasal ini dinilai akan menjadi problem baru.
Ketentuan ini berpotensi menjadi alat ganda pemerintah disamping adanya kewenangan penapisan konten. Ketentuan ini bisa berakibat negatif karena dapat menjadi alat baru untuk melakukan sensor atas berita, berita publikasi media dan jurnalis di masa lalu. [jtns]
Kemudian, perubahan hukum acara pidana terkait UU ITE memberikan kewenangan diskresi aparat penegak hukum yang terlalu luas tanpa melalui pengadilan.
"Kami mengecam kemunduran proses 'fair trial' dalam ketentuan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam revusi UU ITE," tegas Asep Komaruddin, anggota LBH Pers.
Padahal sebelumnya, proses penangkapan dan penahanan dalam UU ITE yang lama masih memerlukan izin dari Ketua Pengadilan (Pasal 43 ayat 6). Dengan menghilangkan izin dari Ketua Pengadilan, maka upaya paksa akan menjadi diskresi aparat penegak hukum.
Lalu, terkait Pidana Cyber Bullying yang berpotensi lebih buruk dari pasal 27 ayat (3) UU ITE. Aksi merisak atau merundung di dunia siber (cyber bullying) ini disisipkan di Pasal 29. Menurut Asep, kebijakan kriminalisasi yang memasukkan Cyber Bullying ini juga berpotensi menimbulkan overkriminalisasi.
"Merumuskan tindak pidananya dalam pasal 29 UU ITE ini justru yang akan menjadi masalah serius. Banyak ahli pidana dan Negara-negara lain mengalami kesulitan dalam merumuskan pengertian perundungan. Lagi pula seluruh ketentuan cyber bullying sudah masuk dalam banyak ketentuan pidana UU ITE," terang Asep.
Kemudian soal Penapisan Konten dan Blocking Konten, Revisi UU ITE justru menambah kewenangan pemerintah tanpa mengatur mengenai kewajiban dan prosedur yang memadai.
"Prosedur pemutusan akses, yang minim ditambah dengan indikator yang tidak memadai terhadap konten 'muatan yang dilarang' akan mengakibatkan kewenangan yang eksesif, yang gampang disalahgunakan oleh pemerintah," kata Asep.
Dan yang terkahir, terkait ketentuan Pasal 26 yang mengatur soal pemberitaan negatif terhadap seseorang di masa lalu. Pasal ini dinilai akan menjadi problem baru.
Ketentuan ini berpotensi menjadi alat ganda pemerintah disamping adanya kewenangan penapisan konten. Ketentuan ini bisa berakibat negatif karena dapat menjadi alat baru untuk melakukan sensor atas berita, berita publikasi media dan jurnalis di masa lalu. [jtns]