Pembebasan Irian Barat, DI/TII, dan Gejolak Politik 1960-an

Oleh: Alwi Shahab

Jakarta pada 1960-an atau sekitar setengah abad lalu penuh dengan pergolakan politik dan militer. Di Jawa Barat pada 1950-an, terjadi pemberontakan DI/TII pimpinan SM Kartosuwirjo, kawan seperjuangan Bung Karno ketika berguru pada HOS Tjokroaminoto.

Pemberontakan ini baru reda ketika Kartosuwirjo ditangkap dan kemudian dijatuhi hukuman mati. Sebelum dieksekusi pada September 1962, dia minta grasi, tapi ditolak Presiden Sukarno. Eksekusi dilakukan di Pulau Ubi, Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Tapi, di Pulau Onrust, salah satu pulau di Kepulauan Seribu, ada sebuah makam yang diyakini dan menurut nisannya merupakan makam tokoh DI/TII, tanpa menyebut Kartosuwirjo.

Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, memasuki 1960-an, kehidupan politik sangat menonjol. Bung Karno yang tidak sabar perundingan dengan Belanda soal Irian Barat (kini Papua) mencetuskan Tri Komando Rakyat (Trikora) 19 Desember 1961 dalam suatu rapat raksasa di Yogyakarta. Rakyat di seluruh Indonesia diminta untuk mendengarkan pidato Presiden. Lalu, dibentuklah Operasi Mandala di bawah pimpinan Pak Harto dan bermarkas di Makassar. 

Dalam perjuangan pembebasan Irian Barat, gugur Laksamana Jos Sudarso di Laut Arafuru. Pembebasan Irian Barat melibatkan PBB dan dunia internasional, termasuk JF Kennedy, Presiden AS yang jadi kawan Bung Karno. Dia mengutus adiknya, Jaksa Agung Robert Kennedy, menemui Bung Karno. Bergabungnya Papua ke Indonesia melalui perjuangan yang hebat melibatkan rakyat Indonesia yang tergabung dalam sukarelawan dan sukarelawati.

Baru saja selesai soal Irian Barat, pada 1963 terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia. Indonesia tidak mau mengakui Malaya menjadi Malaysia yang dikatakan sebagai proyek neokolonialisme dan imperialisme (nekolim). Maka, Bung Karno mencanangkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora). 

Hubungan diplomatik kedua negara putus dan terjadi beberapa kali demo besar-besaran, baik di Malaysia maupun di Jakarta. Karena Inggris berpihak dan pencetus terbentuknya Malaysia, pada 18 September 1963, terjadi demo besar-besaran di Kedubes Inggris di Jakarta. 

Kedubes yang terletak di pojok kanan Bundaran HI dibakar massa rakyat. Bendera dan lambang Inggris diturunkan massa yang marah. Akibat konfrontasi yang makin memanas, Amerika Serikat siap mengirimkan armada ketujuhnya. 

Menteri/KSAD Letnan Jenderal Ahmad Yani memberikan reaksi keras atas ancaman AS tersebut. Dia menyatakan, Indonesia siap untuk mengadang armada ketujuh AS itu bila memasuki perairan Indonesia. Konfrontasi baru berakhir setelah G-30-S. Dan, kekuasaan beralih ke Pak Harto.

Ganyang Setan Desa

Pada 1960-an, demo-demo antikorupsi dan menolak kenaikan harga seperti juga sekarang banyak terjadi. Ketika itu, mulai banyak para bos yang hidupnya sudah binnen atau the haves. Apalagi, dengan bermunculan perumahan-perumahan baru di Jakarta yang diisi oleh golongan the haves. Sementara, sebagian besar rakyat sangat melarat. Entah untuk mengejek maka muncullah istilah orang kaya baru (OKB). 

Di Jakarta, banyak terlihat spanduk dengan huruf-huruf besar berbunyi "Ganyang Koruptor". Ada poster-poster dan baliho di jalan-jalan berbunyi "Ganyang Setan Desa" atau "Setan Kota". Maksudnya, para bos yang tidak memihak rakyat kecil, terutama petani dan buruh.

Poster semacam ini terutama dipasang oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dekat dengan PKI. Ada istilah populer kala itu, yaitu 'kapbir', singkatan dari kapitalis birokrat, kelompok yang dianggap kontrarevolusi (kontrev). Cap "kontrev" dalam arti tidak mendukung program pemerintah dalam masa demokrasi terpimpin sangat ditakuti.

Para musikus, salah satunya Koes Ploes, yang dianggap kontrev telah dicekal dan dipenjara. Lagu-lagunya dianggap tidak revolusioner. Berupa musik ngak-ngik-ngok dan kontra revolusioner. 

Waktu itu, pertentangan antara pro dan antikomunis terjadi di mana-mana. Kelompok-kelompok yang antirevolusioner atau kontrev menjadi bulan-bulanan demo, termasuk HMI yang paling keras diserang. Tapi, upaya PKI dan kelompok kiri lainnya untuk membubarkan organisasi massa Islam ini tidak pernah berhasil. 

Jenderal Ahmad Yani termasuk pendukung HMI dan tidak membiarkan organisasi mahasiswa ini dibubarkan. Dia juga sangat keras menolak tuntutan kelompok kiri agar petani dan buruh dipersenjatai sebagai angkatan kelima.

Di bidang angkutan, becak merupakan raja jalanan ketika itu yang sekarang ini diambil sepeda motor. Masa itu, lalu lintas juga diramaikan sepeda. Para pekerja, pelajar, dan mahasiswa lebih menggandrungi naik sepeda. 

Di bioskop dan tempat hiburan, tersedia tempat parkir untuk sepeda. Kala itu, belum banyak sepeda motor yang berseliweran di Jakarta. Sepeda motor paling banyak buatan Eropa dan Amerika Serikat. Masih sedikit sekali buatan Jepang dan yang pertama masuk dari Negeri Sakura adalah Honda. 

Seingat saya, kala itu tidak dan bahkan tidak pernah terjadi pencurian sepeda motor. Dalam jumlah tidak banyak, hanya sepedalah sering menjadi sasaran pencurian hingga pemiliknya harus memiliki kunci sepeda.

Karena belum ada mal, pertokoan, dan arena hiburan seperti sekarang maka yang menjadi sasaran hiburan adalah bioskop. Tapi, akibat politik antinekolim, bioskop tidak lepas dari politik. Begitu hebatnya, politik anti-Barat hingga film-film Amerika Serikat dan dari negara-negara Eropa Barat menjelang G-30-S diganyang dan kemudian dilarang beredar di Indonesia.

Lalu, digantikan film-film revolusioner dari Cina dan negara-negara Eropa Timur yang menyanyikan film-film propagada yang tidak disukai sebagian besar masyarakat. Maka, sebagian besar bioskop berubah fungsi menjadi gudang, pertokoan, dan perumahan. (rp)











Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :