MK tak Setuju LGBT Dipidanakan, Pengamat: Moral Bangsa Dirusak di Era Rezim Jokowi
[tajukindonesia.id] - Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan perluasan pasal perzinahan di KUHP, bisa dikatakan turut mendorong semakin rusaknya moral bangsa. Perusakan moral bangsa ini terjadi di era Presiden Joko Widodo.
Kesimpulan itu disampaikan pnegamat politik Muslim Arbi kepada intelijen (15/12). Menurut Muslim Arbi, di era Pemerintahan Jokowi, “Revolusi Mental” menjadi patokan kebijakan hukum bahwa zina dan LGBT bisa masuk pasal pidana. “Harusnya dengan patokan Revolusi Mental, zina dan LGBT bisa masuk pidana," tegas Muslim.
Muslim mengingatkan, keputusan MK itu semakin menguatkan eksistensi kelompok liberal dan sekuler di Indonesia. "Selama ini kelompok sekuler dan liberal menginginkan perzinahan dan LGBT bukan masuk pidana. Kelompok ini merasa nyaman di bawah Rezim Jokowi," ungkap Muslim.
Untuk itu kata Muslim, keputusan MK itu harus menjadi perhatian seluruh rakyat Indonesia karena menentukan kehidupan berbangsa dan bernegara. "Nantinya setelah MK, pertarungan UU ada di DPR," papar Muslim.
Lebih lanjut Muslim berharap, partai-partai berbasis Islam akan berjuang memasukkan LGBT dan perzinahan sebagai tindak pidana ketika menyusun undang undang.
Sebelumnya, anggota Komisi III DPR Nasir Djamil menyesalkan putusan MK, yang menolak gugatan agar delik perzinahan dan hubungan sesama jenis atau LGBT tafsirannya diperluas. Menurutnya, keengganan mayoritas hakim konstitusi tersebut sebagai bentuk inkonsistensi dan ancaman yang berbahaya bagi Indonesia sebagai negara berketuhanan berdasarkan Pancasila.
"Ada hal berbahaya yang muncul dari putusan MK tersebut, yakni seolah-olah LGBT, kumpul kebo dan delik perzinahan dinyatakan konstitusional. Jelas ini berbahaya, karena tidak sesuai dengan konteks negara Indonesia yang berketuhanan berdasarkan Pancasila. Khususnya jika tidak membaca secara utuh dan menyeluruh dari Putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016. Di sinilah 5 hakim konstitusi yang menyatakan menolak permohonan ini tidak sensitif," kata Nasir dalam siaran pers (14/12). [ito]
Untuk itu kata Muslim, keputusan MK itu harus menjadi perhatian seluruh rakyat Indonesia karena menentukan kehidupan berbangsa dan bernegara. "Nantinya setelah MK, pertarungan UU ada di DPR," papar Muslim.
Lebih lanjut Muslim berharap, partai-partai berbasis Islam akan berjuang memasukkan LGBT dan perzinahan sebagai tindak pidana ketika menyusun undang undang.
Sebelumnya, anggota Komisi III DPR Nasir Djamil menyesalkan putusan MK, yang menolak gugatan agar delik perzinahan dan hubungan sesama jenis atau LGBT tafsirannya diperluas. Menurutnya, keengganan mayoritas hakim konstitusi tersebut sebagai bentuk inkonsistensi dan ancaman yang berbahaya bagi Indonesia sebagai negara berketuhanan berdasarkan Pancasila.
"Ada hal berbahaya yang muncul dari putusan MK tersebut, yakni seolah-olah LGBT, kumpul kebo dan delik perzinahan dinyatakan konstitusional. Jelas ini berbahaya, karena tidak sesuai dengan konteks negara Indonesia yang berketuhanan berdasarkan Pancasila. Khususnya jika tidak membaca secara utuh dan menyeluruh dari Putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016. Di sinilah 5 hakim konstitusi yang menyatakan menolak permohonan ini tidak sensitif," kata Nasir dalam siaran pers (14/12). [ito]