Fenomena di Balik Kinerja Sektor Ritel


[tajuk-indonesia.com]

Fenomena di Balik Kinerja Sektor Ritel

Oleh: Sunarsip
Pekan lalu saya menghadiri diskusi yang diselenggarakan Kantor Sekretariat Wakil Presiden RI. Topiknya membahas perkembangan kinerja sektor ritel di tengah pesatnya perkembangan perdagangan melalui daring.

Diskusi tersebut bertujuan untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi di balik perkembangan kinerja sektor ritel (perdagangan ritel) saat ini. Pemahaman yang lengkap tentang kinerja sektor ritel ini penting diketahui karena perdagangan ritel merupakan indikator penting untuk mengukur kinerja perekonomian.

Tulisan saya ini tentunya bukan konklusi dari diskusi tersebut. Ini mengingat dalam diskusi itu juga bermunculan berbagai perspektif yang relevan. Tulisan ini merupakan pandangan saya untuk melengkapi berbagai perspektif yang ada sebagai bahan bagi para pengambil kebijakan dalam menyikapi situasi perekonomian saat ini.

Sebagaimana telah diberitakan, kinerja sektor ritel (perdagangan ritel di toko-toko fisik) mengalami penurunan kinerja. Penurunan kinerja ini dikonfirmasi oleh data dari lembaga riset Nielsen yang memperlihatkan bahwa kinerja sektor ritel, khususnya yang memperdagangkan barang-barang //fast moving consumer goods// (FMCG) mengalami penurunan dari sisi pertumbuhannya.

Riset Nielsen menyebutkan, penjualan FMCG hingga September 2017 hanya tumbuh 2,7 persen, sedangkan rata-rata pertumbuhan normal tahunan mencapai 11 persen.

Satu hal yang menarik dari data Nielsen bahwa perlambatan pertumbuhan FMCG pada tahun ini tidak semata-mata dipengaruhi bertumbuhnya e-commerce di Indonesia. Ini mengingat untuk produk-produk utama dari FMCG, pangsa e-commerce hanya sekitar 1 persen dibandingkan penjualan offline secara total.

Sebagai informasi, nilai penjualan FCMG 2016-2017 mencapai sekitar Rp 450 triliun. Bila rata-rata pertumbuhan per tahun mencapai 11 persen, nilai pertumbuhan tersebut mencapai Rp 49 triliun.

Sementara itu, hingga September 2017 hanya tumbuh 2,7 persen atau setara Rp 12 triliun. Itu artinya telah terjadi kerugian penjualan sebesar Rp 37 triliun. Angka kerugian penjualan Rp 37 triliun ini tidak sebanding dengan nilai penjualan FMCG melalui daring yang hanya sekitar Rp 1,5 triliun.

Berdasarkan riset Nielsen disebutkan bahwa kelompok masyarakat menengah bawah  merupakan pemegang porsi besar pihak yang mengalami perlambatan karena, antara lain, menurunnya total penghasilan yang dapat dibawa pulang, kenaikan harga utilitas yang berdampak pada pengurangan konsumsi, serta menahan pembelian produk-produk yang bersifat impulsive dan menurunkan ukuran barang yang dibeli.

Adapun kelompok masyarakat menengah atas masih bertindak wait and see, tetapi ada indikasi pengeluaran di segmen gaya hidup cenderung masih terus bertumbuh.

Riset Nielsen ini relatif konsisten dengan data pertumbuhan ekonomi Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pengeluaran konsumsi rumah tangga selama semester I 2017 tumbuh 4,94 persen atau melemah dibanding periode yang sama pada 2016 yang tumbuh 5,02 persen.

Perlambatan pertumbuhan ini terutama terjadi pada (i) pengeluaran makanan dan minuman, selain restoran, (ii) pengeluaran untuk transportasi dan komunikasi, dan (iii) pengeluaran untuk perumahan dan perlengkapan rumah tangga.
Data kinerja segmen-segmen pengeluaran konsumsi rumah tangga yang pertumbuhannya melambat, khususnya pengeluaran makanan dan minuman selain restoran, konsisten dengan perlambatan pertumbuhan penjualan barang-barang FCMG yang dirilis Nielsen.

Lebih jauh tentang kinerja pertumbuhan konsumsi rumah tangga, tidak semua segmen pengeluaran rumah tangga mengalami perlambatan pertumbuhan. Beberapa segmen, seperti pengeluaran untuk (i) restoran dan hotel, (ii) pakaian, alas kaki, dan jasa perawatan, serta (iii) kesehatan dan pendidikan mengalami kenaikan pertumbuhan.

Pada semester I 2017, pengeluaran konsumsi untuk restoran dan hotel tumbuh 5,65 persen lebih tinggi dibanding periode yang sama pada 2016 yang tumbuh 5,49 persen.

Pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk pakaian, alas kaki, dan jasa perawatan pada semester I 2017 tumbuh 3,38 persen, sedikit lebih tinggi dibanding periode yang sama pada 2016 yang tumbuh 3,27 persen. Sedangkan, pengeluaran konsumsi untuk kesehatan dan pendidikan tumbuh 5,72 persen pada semester I 2017, lebih tinggi dibanding periode yang sama pada 2016 yang tumbuh 5,42 persen.

Pengeluaran konsumsi rumah tangga yang terkait lifestyle yang masih tumbuh ini sejalan dengan sisi produksi industrinya. Namun, mengacu pada data produksinya, sepertinya pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang terkait gaya hidup ini juga masih terbatas.

Indeks produksi industri tekstil dan pakaian jadi serta industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki terlihat bervariasi. Indeks produksi kelompok industri kecil dan mikro (IKM) terlihat masih relatif tinggi (di atas 100). Namun, indeks produksi untuk kelompok industri besar dan sedang (IBS) cenderung turun (di bawah 100).

Beberapa pihak menyebutkan, melemahnya kinerja pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk (i) pengeluaran makanan dan minuman selain restoran, (ii) transportasi dan komunikasi, serta (iii) perumahan dan perlengkapan rumah tangga disebabkan adanya shifting konsumsi akibat perubahan gaya hidup.

Perubahan gaya hidup menyebabkan pola konsumsi berubah dari pemenuhan kebutuhan dasar (makan dan minum) ke konsumsi yang sifatnya leisure, seperti pariwisata dan sejenisnya. Data pertumbuhan yang terkait dengan pengeluaran konsumsi leisure memang membaik.

Saya berpendapat bahwa kesimpulan tersebut terlalu dini. Ini mengingat pangsa pasar segmen pengeluaran konsumsi rumah tangga yang terkait gaya hidup leisure masih sangat kecil sehingga kalaupun segmen ini mengalami pertumbuhan, tidak cukup menggantikan kerugian yang dialami oleh segmen-segmen yang mengalami penurunan pertumbuhan.

Sebagai informasi, pangsa pengeluaran konsumsi untuk (i) pakaian, alas kaki dan jasa perawatannya, serta (ii) restoran dan hotel pada Juni 2017 masing-masing hanya 3,56 persen dan 9,83 persen dari total pengeluaran konsumsi rumah tangga.

Konsumsi rumah tangga yang terkait leisure memang tetap tumbuh karena daya beli kelompok masyarakat menengah atas masih cukup untuk memenuhi kebutuhannya sampai dengan kebutuhan leisure. Namun, pengeluaran di atas leisure, seperti untuk membeli kendaraan dan properti sebagaimana dilakukan di era booming komoditas (awal 2000-an hingga 2014), sudah tidak mampu dilakukan.

Ini terlihat dari pertumbuhan kredit perbankan yang menurun dan kualitas kredit yang mengalami pemburukan, seperti yang terjadi pada segmen properti premium.

Saya berpendapat relatif terjaganya pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga terutama ditopang oleh pengeluaran kelompok kelas menengah yang jumlahnya sekitar 40 persen. Kelompok masyarakat atas kini tidak lagi mampu berbelanja seperti di era booming komoditas.

Di sisi lain, kelompok masyarakat bawah terimbas oleh dampak akumulasi kenaikan harga dan menurunnya penghasilan riil. Dalam situasi seperti ini, saya kira hal yang paling urgen dilakukan pemerintah adalah menjaga agar daya beli lapisan masyarakat kelompok bawah (sekitar 20 persen) tetap terjaga.   [rci]

















Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :