MPR: Jangan Mau Terjebak Seperti DN Aidit
[tajuk-indonesia.com] - Pimpinan Badan Sosialisasi MPR Bachtiar Aly menegaskan mengubah dasar negara Indonesia sudah tidak mungkin. Pasalnya komitmen kebangsaan Indonesia sudah selesai dan sudah diatur sedemikian rupa Indonesia akan terus bersikukuh dengan Pancasila sebagai dasar negara.
“Jadi, untuk mengubah kita punya dasar negara sudah sangat tidak mungkin. Muskil sekali,” kata pria asal Aceh yang juga menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Nasdem MPR RI di depan 100 peserta Sosialisasi Empat Pilar dengan metode Outbound di Hotel Grand Zuri, Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu (16/9).
Menurut Bachtiar Aly, Pancasila bukan hanya sekedar sebagai alat pemersatu.
“Kalau kita pakai Pancasila hanya sebagai alat pemersatu maka akan terjebak seperti keinginan DN Aidit, Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI). Aidit mengatakan, kalau kita sudah bersatu, kenapa pula kita pakai Pancasila,” ungkap Bachtiar.
Ketika menyampaikan materi tentang “Hak dan Kewajiban Warga Negara Dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara,” Bachtiar menguraikan bagaimana para pendiri bangsa menyiapkan Indonesia sebagai sebuah negara merdeka dan bersatu.
“Jadi, kita punya visi, kita punya prinsip. Karena itu anda boleh berbangga bahwa negara ini bukan negara asal-asalan,” pungkas Bachtiar.
Bayangkan, menurut Bachtiar, mana ada negara di dunia ini, sebelum eksis sebagai negara, pemuda-pemudi didalamnya sudah bermimpi untuk memiliki satu bahasa, yaitu bahasa Indonesia.
“Mereka ini bermimpi suatu waktu negeri ini merdeka maka kita akan mempunyai bahasa satu. Apa yang terjadi? Bahasa Indonesia itu bukan diambil dari bahasa mayoritas masyarakat Jawa, tapi yang dipilih bahasa Melayu. Ki Hadjar Dewantara, seorang tokoh pendidikan dan orang Jawa, dengan jiwa besar mengatakan “Bahasa Melayu memang bahasa yang dikenal, bahasa perdagangan, bahasa pergaulan, jadi kita kukuhkan menjadi bahasa persatuan,” kata Bachtiar.
Jadi, menurut Bachtiar dari segi bahasa bangsa ini sudah selesai. Sementara banyak negara di dunia masih memperdebatkan soal bahasa persatuan.
"maka kita berbahagia bahwa dari Sabang hingga Merauke orang mengerti bahasa persatuannya, bahasa Indonesia. Kalau di sana sini masih ada dialeg yang tidak pas, itu ekses, tidak ada masalah. Karena itu sikap toleransi diperlukan,” ungkap Bachtiar.
Begitu pula saat para pendiri bangsa akan merumuskan Pancasila. Rumusan Pancasila itu, menurut Bachtiar diadopsi dari Piagam Jakarta, 22 Juni 1945. Tapi melalui tim kecil beranggotakan para negarawan yang dibentuk oleh Soekarno-Hatta maka muncullah kesepakatan untuk menghilangkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, dan diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.
"Dengan demikian komitmen kebangsaan kita juga sudah selesai. Maka jangan bermimpi untuk mengubah kita punya dasar Negara. Itu sudah sangat tidak mungkin,” demikian Bachtiar. [rmol]
“Jadi, kita punya visi, kita punya prinsip. Karena itu anda boleh berbangga bahwa negara ini bukan negara asal-asalan,” pungkas Bachtiar.
Bayangkan, menurut Bachtiar, mana ada negara di dunia ini, sebelum eksis sebagai negara, pemuda-pemudi didalamnya sudah bermimpi untuk memiliki satu bahasa, yaitu bahasa Indonesia.
“Mereka ini bermimpi suatu waktu negeri ini merdeka maka kita akan mempunyai bahasa satu. Apa yang terjadi? Bahasa Indonesia itu bukan diambil dari bahasa mayoritas masyarakat Jawa, tapi yang dipilih bahasa Melayu. Ki Hadjar Dewantara, seorang tokoh pendidikan dan orang Jawa, dengan jiwa besar mengatakan “Bahasa Melayu memang bahasa yang dikenal, bahasa perdagangan, bahasa pergaulan, jadi kita kukuhkan menjadi bahasa persatuan,” kata Bachtiar.
Jadi, menurut Bachtiar dari segi bahasa bangsa ini sudah selesai. Sementara banyak negara di dunia masih memperdebatkan soal bahasa persatuan.
"maka kita berbahagia bahwa dari Sabang hingga Merauke orang mengerti bahasa persatuannya, bahasa Indonesia. Kalau di sana sini masih ada dialeg yang tidak pas, itu ekses, tidak ada masalah. Karena itu sikap toleransi diperlukan,” ungkap Bachtiar.
Begitu pula saat para pendiri bangsa akan merumuskan Pancasila. Rumusan Pancasila itu, menurut Bachtiar diadopsi dari Piagam Jakarta, 22 Juni 1945. Tapi melalui tim kecil beranggotakan para negarawan yang dibentuk oleh Soekarno-Hatta maka muncullah kesepakatan untuk menghilangkan tujuh kata dalam Piagam Jakarta, dan diganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.
"Dengan demikian komitmen kebangsaan kita juga sudah selesai. Maka jangan bermimpi untuk mengubah kita punya dasar Negara. Itu sudah sangat tidak mungkin,” demikian Bachtiar. [rmol]