Proyek Infrastruktur Jokowi: Jika Berhasil Jadi Sarana Neo Kolonialisme, Bila Gagal Maka Negara Jadi Sandra


[tajuk-indonesia.com]         -         Suka atau tidak suka, pertumbuhan ekonomi nasional ditopang daya beli masyarakat. Jadi, jangan harap ekonomi di era Joko Widodo bisa berkilau kalau daya beli masih seperti sekarang.

Sejak 1960, atau lebih dari lima dekade, sumber pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah konsumsi rumah tangga, baru diikuti investasi.

Ya, perekonomian nasional bergantung belanja dari para ibu rumah tangga. Nah, anggaran belanja para ibu-ibu kita, sangat bergantung penghasilan para suami. Jadi, kalau pendapatan suami naik maka belanja bisa lebih 'boros'. Demikian pula sebaliknya.

Hanya saja, kondisi yang terjadi saat ini adalah yang sebaliknya itu tadi. Di mana, perekonomian lesu, berdampak kepada pendapatan yang tak naik-naik. Sementara harga-harga barang terus naik.

Iya betul, investasi menentukan lantaran wujud atau efeknya bisa macam-macam. Khususnya investasi sektor industri, bisa menyerap tenaga kerja, menambah penghasilan yang kemudian menumbuhkan perekonomian.

Ekonom Anton Hendranata dari Bank Danamon Indonesi, menyampaikan, investasi merupakan sumber alternatif dalam memacu ekonomi domestik. Selanjutnya diikuti kenaikan konsumsi secara signifikan.

Pengalaman perekonomian Indonesia ketika tumbuh 6% pada 2011-2012, peranan investasi dalam pertumbuhan ekonomi lumayan tinggi, yakni sekitar 2,7%-2,9%. Namun, sayangnya, empat tahun terakhir (2013-2016) saat pertumbuhan ekonomi menurun, kontribusi investasi anjlok ke 1,5 persen. Untuk itu, perlu upaya mendorong investasi yang melempem," ungkap Anton di Jakarta, pekan lalu.

"Solusinya adalah memperbaiki infrastruktur secara masif dan konsisten. Jangan mimpi investasi akan naik signifikan ketika fasilitas infrastruktur Indonesia kurang memadai atau seadanya dibandingkan dengan negara-negara di kawasan regional, lanjut Anton.

Ditilik dari angka investasi asing langsung (FDI), sangat jelas Indonesia kalah jauh ketimbang negara jiran di Asia. Rata-rata FDI ke Indonesia hanya US$26,6 miliar selama 2011-2016. Angka ini lebih cekak ketimbang Vietnam (US$29,6 miliar), Malaysia (US$33,6 miliar), India (US$34,0 miliar).

Anton melihat, pemerintahan Jokowi-JK memiliki kepekaan serta menyadari bahwa infrastruktur harus diperbaiki dengan cepat. Sudah tidak bisa ditunda lagi. Hal ini terlihat dari begitu banyaknya proyek-proyek infrastruktur yang sudah berhasil berjalan dan ditargetkan oleh pemerintah.
Anggaran Infrastruktur Naik 336%

Tiga tahun terakhir (2015-2017), pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur naik signifikan Rp305 triliun dibandingkan pemerintahan sebelumnya. Hingga berakhirnya era Jokowi di 2019, pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur bisa Rp1.871 triliun, melonjak dari Rp 656 triliun pada pemerintahan periode SBY (2009-2014). Ya, pengeluaran infrastruktur naik sangat fantastis, sekitar Rp 1.215 triliun (336%).

Jelas sekali, perlu dana super jumbo guna memoles infrastruktur di tanah air. Di tengah seretnya penerimaan negara, bisa jadi pemerintah bakal menambah utang. Atau, memanfaatkan potensi dana masyarakat. Salah satunya dana haji yang kini cukup hinggar bingar. Idealnya, pembiayaan pembangunan infrastruktur berasal kekuatan domestik, bukan dari utang luar negeri (ULN) pemerintah.

Selain itu ada satu hal lagi yang perlu dicermati adalah proyek infrastruktur selalu rawan korupsi. Belum tentu menguntungkan rakyat sebab diduga, banyak proyek infrastruktur mengalami distorsi, rawan korupsi.

Nah, kalau dibiayai dari utang, bisa menjadi momok perekonomian bangsa kita, apalagi jika hanya untuk kepentingan konglomerat yang paling bisa ambil manfaat.

Salamudin Daeng, ekonom muda AEPI mencatat daya rusak mega Proyek Infrstruktur jauh lebih dalam. Merusak tatanan ekonomi, politik, sosial budaya dan ketahananan negara, serta mengancam kelestarian lingkungan dan keselamatan rakyat.

Bagaimana bisa demikian? Ada beberapa fakta yang dikaji dan disampaikan Salamudin, yakni: Pertama, mega proyek infrastruktur pemerintahan Jokowi dibiayai dengan utang yang sangat besar. Utang proyek MRT Jakarta, misalnya, akan menjadi beban utang negara dan rakyat Indonesia selama 40 tahun. Sebagai mana kontrak utang yang telah ditetapkan.

Kedua, Proyek yang didanai utang luar negeri tersebut sepenuhnya menggunakan barang barang impor dan jasa jasa yang dikerjakan oleh asing. Akibatnya mega proyek infrastruktur Jokowi menjadi pasar bagi produk produk impor. Industri nasional sama sekali tidak mendapatkan manfaat. Tenaga kerja nasional tidak mendapatkan maanfaat.

Ketiga, mega proyek infrastrukrur Jokowi dibiayai dengan menggadaikan BUMN kepada swasta dan asing. Bumn dipaksa mengambil utang yang besar untuk mendanai mega proyek infrastruktur. Sebagaimana yang terjadi dalam proyek LRT. Proyek ini terancam mangkrak dan BUMN yang melaksanakannya bangkrut.
 
Keempat, mega proyek infrastruktur dibiayai dengan penyertaan modal negara (PMN) kepada BUMN ratusan triliun. Sementara perusahaan BUMN menjalankan bisnis untuk mencari keuntungan sesuai perintah penguasa. Akibatnya dana subsidi PMN tersebut diubah oleh BUMN menjadi keuntungan untuk menggaji besar para petinggi BUMN.

Kelima, mega proyek infrastrukrur Jokowi akan menyandera APBN selam berpuluh puluh tahun untuk membayar utang kepada investor. Akibatnya APBN akan disandera asing. Seluruh kebijakan yang dibuat dalam APBN akan ditentukan oleh maunya asing.

Keenam, mega proyek infrastruktur Jokowi nantinya sepenuhnya akan dikelola untuk mengejar laba. Akibatnya rakyat akan dibebani tarif sangat tinggi untuk mengejar laba. Apa yang terjadi dengan kenaikan tarif listrik secara bertubi-tubi dalam era Pemerintahan Jokowi menunjukkan bahwa pemerintahan ini akan menghisab rakyat untuk mencapai ambisinya.

Ketujuh, Pemerintahan Jokowi membangun infrastruktur dengan mengabaikan sama sekali industri nasional. Infrastrukrur diimpor secara gelondongan dari luar negeri. MRT diimpor secara gelondongan dari Jepang baik barang modal maun keretanya.

Sebanyak 50% besi baja diimpor, produk petrokimia juga impor. Cara membangun yang tidak terjadi di negara manapun di Seluruh dunia.

Kedelapan, belanja infrastrukrur dari APBN dan APBD digunakan untuk belanja barang barang impor. Ribuan Bus transjakarta diimpor. Padahal negara negara lain sedang menggalakkan beli produk nasional. Amerika Serikat menjalankan Buy American Product sejak era Obama.

Artiya APBN AS harus dibelanjakan untuk pembelian produk AS. Demikian juga dengan Eropa memberlakukan buy erupean act. Dalam krisis sekarang ini tidak ada negara di dunia yang bertindak bodoh membeli barang impor ugal ugalan dengan pajak rakyat.

Kesembilan, mega proyek infastuktur Jokowi telah mengabaikan masalah masalah lingkungan dan sosial. Keselamatan rakyat terancam akibat proyek yang ugal-ugalan tanpa studi analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) yang memadai.

Cara oligarki pemerintah Jokowi memburu proyek sebagaimana yang digambarkan di atas, telah menciptakan daya rusak baik secara ekonomi, politik, sosial budaya dan ketahanan nasional. Ekonom FEUI Faisal Basri sudah memperingatkan agar program insfrastruktur dikerjakan secara bertahap agar tidak mengalami distorsi dan tidak merusak pertumbuhan ekonomi.

Pun demikian, mega proyek infrastruktur Jokowi apabila berhasil berpotensi menjadi sarana neo kolonialisme dan imperialisme. Apabila gagal maka negara menjadi sandera, negara akan di potong potong untuk dijual oleh investor ke pasar internasional.

Jadi sah-sah saja Salamudin sebagai pengamat memberikan pandangan kritis atas proyek Jokowi yang begitu berharga bagi rakyat Indonesia. Pemerintah perlu mawas diri, tidak gegabah dan mau mendengar terkait realisasi pembangunan infrastruktur. [inc]
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :