PDIP Menjauhi Jokowi, Pilpres 2019 Bakal Seru


[tajuk-indonesia.com]         -          Ulasan ini agak panjang, tapi perlu kita cermati. Sebab, ini akan menyangkut konstelasi politik nasional menuju Pilpres 2019.

Pertama, apakah Anda perhatikan mengapa PDIP tidak mau ikut-ikutan mencapreskan Jokowi untuk Pilpres 2019? Kedua, apakah Anda berkesempatakan menganyam berbagai pernyataan, komentar, dan body language (bahasa tubuh) para petinggi PDIP belakangan ini?

Saya menduga, Anda tak sempat. Semuanya dibiarkan berlalu begitu saja karena banyak hal penting yang perlu diprioritaskan. Padahal, ketika dikumpulkan dan dirakit dengan rapi, komentar dan pernyataan yang sporadis itu membentuk satu narasi bahwa PDIP mulai “menjauhi” Jokowi. Bahwa Jokowi dan PDIP kini retak. Bahwa PDIP mengisyaratkan “selamat tinggal” untuk Jokowi.

Rangkaian peristiwa politik dalam dua minggu ini, mengindikasikan kesimpulan di atas. Yang paling menarik adalah ketika Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) datang menemui Jokowi di Istana, hampir sepekan yang lalu (10 Agustus 2018).

Pertemuan ini adalah salah satu pertanda yang semakin jelas tentang keretakan Jokowi dan PDIP. Kelihatan biasa saja, namun ada tafsiran yang tidak bisa ditarik ke mana-mana kecuali ke arah “keretakan” itu. Kalau dicermati proses pertemuan ini, tampak bahwa Jokowi sedang menyiapkan Plan-B (skenario lain) untuk mengantisipasi kemungkinan PDIP tidak mencalonkan dia di pilpres 2019.

Pertemuan AHY dengan Jokowi semula disebut sebagai kesempatan mengantarkan undangan kepada Presiden untuk hadir dalam peresmian The Yudhoyono Institute. Kemudian terungkap bahwa “antar undangan” itu malah sifatnya ecek-ecek.

Pertemuan ini tertutup. Selepas itu muncul bocoran tentang detail percakapan telefon antara mantan menko polhukam kabinet SBY, Djoko Suyanto, dan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) kabinet Jokowi, Sidarto Danusubroto.

Singkatnya, Sidarto ingin bertemu dengan SBY. Dikatakan bahwa AHY ditawari kursi menteri kalau Partai Demokrat mau sejalan dengan Jokowi. Setelah itu, berlangsunglah pertemuan tertutup “antar undangan”.

Mengapa Jokowi ajak Demokrat? Karena PDIP pelan-pelan menunjukkan bahwa tidak ada jaminan Partai Banteng akan mencapreskan Jokowi di pilpres 2019. Pada hari Minggu (13 Agustus 2018), Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, mengisyaratkan “tidak ada jaminan” itu. Dia mengatakan, PDIP akan mengusung “capres yang sesuai kehendak rakyat”. Dia melanjutkan, partainya tidak mau ikut-ikutan mendeklarasikan capres seperti partai-partai lain.

Seperti diketahui, Golkar, PPP, Nasdem dan Hanura sudah mendeklarasikan pencapresan Jokowi untuk pilpres 2019. Pemandangan ini sangat aneh. Seumpama Anda bertamu ke rumah Bu Mega, Anda langsung menyantap hidangan di rumah beliau tanpa dipersilakan, dan beliau sendiri tidak ikut makan bersama Anda.

Very strange, sangat ganjil. Di mana pun di dunia ini, sebuah partai yang kadernya sedang memegang kekuasaan tertinggi, pasti mendukungnya untuk masa jabatan kedua. Kecuali ada sesuatu yang sangat luar biasa.

Jokowi pantas “gelisah” melihat gelagat yang ditunjukkan oleh PDIP. Apalagi, sekitar awal tahun 2017 ini, Hasto mengeluarkan komentar tentang pencapresan Prabowo Subianto oleh Gerindra. Dia mengatakan, “Di dalam kontes yang masih akan berlangsung pada 2019 yang akan datang, diperlukan sebuah tampilan, diperlukan sebuah opsi kepada rakyat.”

Perhatikan ungkapan “…diperlukan sebuah tampilan, diperlukan opsi kepada rakyat.” Ini bermakna sangat khusus dan ada pesan berkode (coded message) yang membuat Jokowi resah.

Komentar ini sangat valid diartikan sebagai “like” a-la Facebook dari PDIP untuk Prabowo. Sekaligus bernada “mejauhi” Jokowi.

Kalau benar PDIP sedang “menjauhi” Jokowi, mengapa itu sampai terjadi? Tidak lain karena Bu Megawati merasa Jokowi tak sepenuh hati berada di kandang Banteng. Bu Mega melihat Jokowi punya “panutan lain” yang lebih dipercaya dan diikutinya ketimbang PDIP dalam pengambilan keputusan penting dan penjabaran kebijakan-kebijakan pemerintah.

Bu Mega merasa Jokowi lebih banyak mendengarkan Luhut Binsar Panjaitan atau LBP (Menko Kemaritiman, mantan Menko Polhukam). Sehingga, dalam sejumlah tindakannya, Jokowi dilihat tidak berpihak kepada rakyat. Misalnya, LBP habis-habisan mendukung reklamasi sementara PDIP menganggap proyek itu tidak sesuai dengan perjuangan “wong cilik” Partai Banteng. Ketika Menko Kemaritiman Rizal Ramli menghentikan reklamasi, Jokowi memecatnya.

Sebetulnya, sejak awal pengaruh besar LBP atas Jokowi membuat Bu Mega tidak nyaman. Sebab, LBP menunjukkan dominasinya di semua lini pemerintahan Jokowi. Boleh dikatakan LBP-lah yang “menyusun” kabinet Jokowi. Dia yang menyiapkan personel Kantor Staf Presiden (KSP) yang sangat krusial dalam pelaksanaan pemerintahan Jokowi.

Bu Mega memang piawai menyembunyikan ketersinggungannya. Tetapi, one way or the other, Jokowi bisa juga menangkap itu.

Insiden besar yang membuat Bu Mega dan PDIP sangat dongkol adalah ketika Jokowi (diduga berat atas saran LBP) memaksakan agar Archandra Tahar tetap duduk di kabinet setelah dia ketahuan memiliki kewarganegaraan ganda. Archandra memiliki paspor Amerika Serikat, selain parpor Indonesia.

Kasus ini sangat memukul prinsip nasionalisme PDIP. Lihat saja waktu itu semua komentar politisi PDIP bernada menentang pengangkatan Arcandra. Tetapi, Jokowi tidak menghiraukannya.

Pansus hak angket KPK adalah satu lagi isyarat “no more” Jokowi yang ditunjukkan PDIP. Partai Banteng merasa Jokowi “menggunakan” KPK untuk menyikat tiga kader senior PDIP yang terseret skandal e-KTP, yaitu Yosanna Laoly (Menkumham), Ganjar Pranowo (gubernur Jateng), dan Olly Dondokambey (gubernur Sulut).

Sekarang, yang sangat vokal di Pansus KPK adalah anggoat DPR dari PDIP. Padahal, mereka semula enggan mendukung Pansus ini karena tak mau dicap akan melemahkan KPK. Tapi, karena melihat Jokowi bagaikan “tak balas jasa”, akhirnya PDIP-lah yang sangat gempita untuk menelanjangi KPK.

Dan, coba perhatikan ketika Gerindra keluar dari Pansus Hak Angket KPK, Partai Demokrat langsung memberikan pujian. Kemudian, perhatikan tautan antara Jokowi dan “Demokrat yang tak ikut Pansus”. Jokowi akhirnya “mengajak” AHY masuk kabinet. Tentu tidak sebatas itu, Jokowi sangat mengharapkan gerbong pilpres 2019 yang telah diisi oleh Golkar, PPP, Nasdem dan Hanura, akan dimeriahkan oleh Demokrat.

Tapi penting diingat bahwa semua parpol yang ikut di Pansus KPK belum tentu memiliki misi yang sama. Yang jelas adalah bahwa orang-orang yang saat ini berada di sekitar Jokowi, tidak ingin melihat KPK dikerdilkan. Mereka sangat didengarkan oleh Jokowi seperti Teten Maduksi dan Johan Budi.

Kembali ke komentar Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, yang mengatakan bahwa PDIP akan mencalonkan orang yang disukai rakyat. Kalau ini patokannya, PDIP seharusnya tidak menangguhkan pencapresan Jokowi untuk pilpres 2019. Sebab, menurut semua survei yang ada, tingkat elektabilitas (keterpilihan) Jokowi masih jauh di atas figur-figur lain.

Pilpres 2019 akan sangat seru, khususnya menjelang Oktober 2018, pada saat PDIP akan mengumumkan capresnya. Kita tak perlu kaget ketika nanti PDIP malah mengusung Prabowo, atau orang lain, di 2019. Paling tidak Bu Mega melihat Prabowo sebagai orang yang berkarakter kuat. Tidak mudah dipengaruhi orang (seagaimana Jokowi dipengaruhi oleh LBP). Wallahu a’lam.

Sebagai penutup, bagaimana sekarang Anda sebaiknya bersikap setelah melihat keretakan antara PDIP dan Jokowi? Sederhana saja: dunia politik itu sama dengan cuaca. Setiap hari berubah. Yang kita bahas di halaman ini, bisa saja tak teraplikasi di lapangan. Hari ini menjauhi seseorang, esok-lusa bercinta lagi.

“Politics have no relation to morals,” kata Niccolo Machiavelli yang dijuluki Bapak Ilmu Politik Modern. “Politik tidak ada kaitannya denga moral.”[gm]













Subscribe to receive free email updates: