Demo Peringati Penandatanganan Perjanjian New York soal Papua Berakhir Ricuh


[tajuk-indonesia.com]         -          Dua hari menjelang peringatan ulang tahun ke-72 kemerdekaan Indonesia, puluhan aktivis pendukung gerakan Papua merdeka pada Selasa (15/8) berunjuk rasa di sekitar Patung Kuda, kurang lebih setengah kilometer dari Istana Negara. Mereka tadinya berencana berdemonstrasi di depan Istana, namun polisi menghalangi mereka untuk menuju ke sana.

Protes ini memperingati 55 tahun Perjanjian New York yang ditandatangani pada 15 Agustus 1962 di kota New York, Amerika Serikat. Kesepakatan mengenai wilayah sengketa Papua Barat ini diteken oleh tiga negara, yakni Indonesia, Belanda, dan Amerika sebagai penengah.

Para pengunjuk rasa yang berasal dari Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP) dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) itu membawa beragam spanduk dan bendera Bintang Kejora yang terbuat dari kertas karton. Dua spanduk antara lain bertulisan "Indonesia No, Papua Yes" dan "Hari kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, hari kemerdekaan Papua 1 Desember 1961.

Seorang pengunjuk rasa, Frans Nawipa dalam orasinya mengatakan Perjanjian New York tersebut mengatur tiga hal yang harus dijalankan oleh pemerintah Indonesia, termasuk penentuan nasib sendiri. Namun dia menilai pelaksanaan penentuan pendapat rakyat (Pepera) pada 1969 tidak berdasarkan kesepakatan dalam Perjanjian New York, yakni satu orang satu suara.

"Kesepakatan New York itu sendiri adalah sebuah kesepakatan ilegal yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan pihak Belanda serta Amerika Serikat. Kenapa kita anggap ini ilegal? Karena di dalam Perjanjian New York itu tidak bicara tentang masa depan hajat hidup masyarakat dan bangsa Papua. Apalagi orang Papua tidak dilibatkan dalam proses perjanjian itu," tukas Frans.

Dalam siaran pers yang dibagikan kepada wartawan, FRI-WP cdan AMP menuding pemerintah Indonesia tidak melaksanakan isi Perjanjian New York mengenai penentuan nasib sendiri bangsa Papua, setelah pemindahan administrasi kekuasaan pada 1 Mei 1963. Menurut mereka, Indonesia malah mengkondisikan wilayah Papua melalui berbagai operasi militer dan penumpasan gerakan pro kemerdekaan rakyat Papua.

Demonstran pro-Papua merdeka ini ngotot ingin berunjuk rasa di depan Istana Negara, seperti surat pemberitahuan kepada polisi yang mereka ajukan. Namun, dengan alasan persiapan menjelang peringatan 17 Agustus, polisi menghadang mereka di depan gedung Indosat.

Sekitar 20 pengunjuk rasa Papua menuntut agar diberi jalan menuju depan Istana Negara. Mereka berusaha meyakinkan polisi demonstrasi mereka akan berlangsung damai dan aman. Namun, polisi tetap menolak membuka blokade.

Hingga akhirnya terjadi aksi saling dorong antara pengunjuk rasa dengan polisi. Setelah hampir sejam adu mulut dan saling dorong, unjuk rasa itu berakhir ricuh. Polisi memaksa 20 pemuda Papua itu menaiki mobil tahanan untuk diangkut ke Markas Kepolisian Daerah Metro Jakarta Raya.

Marten Go dari lembaga Papua Itu Kita menilai aparat keamanan terlalu brutal menghadapi para pemuda Papua yang berunjuk rasa tanpa bersenjata apapun. Dia mengatakan demonstrasi memperingati 55 tahun Perjanjian New York amat wajar karena menyangkut nasib dan masa depan rakyat Papua.

Marten mengaku kecewa dengan Presiden Joko Widodo yang tidak menepati janjinya untuk memperbaiki nasib rakyat Papua.

"Dari dulu sampai sekarang sama saja. Kalau kita lihatnya karena keberadaan negara itu terkesan menjadikan Papua itu daerah koloni. Kita tahu aja lah upaya penjajah terhadap daerah koloni dengan upaya-upaya kekerasan. Jokowi yang janji-janji aja nggak jelas," papar Marten.

Marten bahkan menilai pernyataan Presiden Joko Widodo Juli lalu merupakan penghinaan terhadap martabat orang Papua. Ketika itu Jokowi mengatakan akan mengutamakan pembangunan infrastruktur ketimbang penegakan hak asasi manusia di Papua.


Marten menyebutkan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur merupakan contoh pemimpin Indonesia yang baik, karena mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan. Akademisi dari Universitas Cendrawasih, Papua, Marianus Yaung mengatakan dialog menyeluruh antara Jakarta-Papua yang terus diwacanakan harus segera direalisasikan.

Dia menyayangkan adanya sikap curiga apabila dialog damai Jakarta dan Papua dilakukan. Pemerintah lanjutnya juga harus menyelesaikan masalah dan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Papua sehingga menambah kepercayaan warga tentang peningkatan kesejahteraan yang dijanjikan.

"Dialog damai Jakarta-Papua selalu dicurigai oleh negara. Mereka mencurigai bahwa dialog ujungnya merdeka, dan opini itu terus dibangun bahwa dialog itu ujungnya merdeka," keluh Marianus.

Hal yang sama juga diungkapkan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Natalius Pigai. Menurutnya dialog Jakarta-Papua penting dilakukan untuk menyelesaikan masalah Papua secara menyeluruh. Apalagi Presiden Jokowi lanjutnya telah datang ke Papua dan setidaknya melihat kondisi yang ada.

Dialog Jakarta-Papua kata Pigai harus melibatkan berbagai pihak di wilayah itu termasuk Organisasi Papua Merdeka. Komnas HAM juga mendesak Presiden mempercepat pelaksanaan pembangunan yang berwawasan HAM bagi pemenuhan hak-hak mendasar bagi masyarakat Papua.

Dalam beberapa kesempatan, Presiden Jokowi berjanji ingin membangun tanah Papua menjadi tanah damai dan juga mensejahterakan masyarakat Papua. Jokowi juga berniat mempercepat sejumlah infrastruktur di Papua misalnya membangun rel kereta api, membangun jalan tembus Papua dan Papua Barat dan sejumlah infrastruktur lainnya.

Presiden Jokowi telah berjanji akan memprioritaskan pembangunan di Papua, khususnya, pembangunan sumber daya manusia (SDM).

"Saya ingin menunjukkan betapa sangat pentingnya Papua bagi Indonesia," demikian pesan Presiden Joko Widodo.[pm]












Subscribe to receive free email updates: