Panas, Kejagung Bakal Terbitkan Sprindik Dua Tersangka
[tajuk-indonesia.com] - Kejaksaan Agung bakal menerbitkan surat perintah (sprindik) khusus kasus faktur pajak fiktif Mobile 8 Rp 80 miliar. Di sprindik itu bakal mencantumkan nama tersangka kasus ini.
Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Arminsyah membenarkan tak lama lagi pihaknya bakal menerbitkan sprindik khusus. "Karena ini kan sudah pernah diambil keterangannya," katanya.
Apakah Anthony Chandra Kartawiria dan Hary Djaja bakal kembali ditetapkan tersangka? "Kemungkinan, karena merekamemang terlibat," sebut Arminsyah.
Sebelumnya, Kejagung pernah menetapkan Anthony Chandra Kartawiria (bekas Direktur PT Mobile 8 Telecom) dan Hary Djaja (Direktur PT Djaya Nusantara Komunikasi) sebagai tersangka kasus ini. Namun putusan praperadilan menggugurkan penetapan tersangka keduanya.
Februari lalu, Kejagung kembali menerbitkan sprindik umum kasus ini dan memanggil saksi-saksi. Salah satunya, bekas komisaris PT Mobile 8 Telecom Hary Tanoesoedibjo.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung M Rum menyampaikan Anthony dan Hary Djaja bisa ditetapkan sebagai tersangka lagi.
"Penyidik melanjutkan pemeriksaan yang pernah dilakukan sebelumnya," katanya.
Anthony dan Hary Djaja pernah mengajukan gugatan praperadilan terhadap Arminsyah terkait penetapan mereka sebagai tersangka.
Penetapan tersangka terhadap Anthony dicantumkan dalam sprindik nomor Print 25/F.2/ Fd.1/2016 dan surat nomor Print 129/F.2/Fd.1/10/2016 tanggal 19 Oktober 2016.
Dalam surat itu, Anthony menjadi tersangka pelanggaran Pasal 2 ayat 1 junto Pasal 3 UU 31/1999 junto UU 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi junto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Menurut kuasa hukum Anthony dan Hary, Hotman Paris Hutapea, penyidik kasus pajak bukan domain Kejaksaan. Tapi wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Ditjen Pajak.
Lantaran itu, dalam gugatan praperadilan ini, Hotman meminta Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan penyidikan yang dilakukan Kejaksaan Agung tidak sah dan harus dihentikan.
Ia juga meminta pengadilan menyatakan surat penetapan tersangka kliennya tidak memiliki kekuatan hukum dan dibatalkan. Gugatan ini dikabulkan.
Kasus yang menjerat Anthony terjadi ketika dia menjadi Direktur sekaligus Chief Financial Officer (CFO) PT Mobile 8 Telecom.
Penyidik gedung bundar Kejaksaan Agung menemukan adanya transaksi fiktif antara PT Mobile 8 Telecom dengan PT Djaja Nusantara Komunikasi (DNK) kurun 2007-2009 yang mencapai Rp 80 miliar.
PT DNK adalah salah satu distributor Mobile 8. Perusahaan yang berdomisili di Surabaya itu seolah-olah melakukan pemesanan voucher pulsa kepada Mobile 8.
Guna kelengkapan administrasi, Mobile 8 mentransfer uang Rp 80 miliar ke rekening PT DNK. Uang itu ditransfer, Desember 2007 dalam dua tahap, Rp 50 miliar dan Rp 30 miliar.
Uang itu mengesankan PT DNK punya modal untuk melakukan pembelian sehingga bisa melakukan transaksi perdagangan antar kedua perusahaan.
Lalu, Mobile 8 membuat invoice atau faktur fiktif, yang seolah-olah terdapat pemesanan voucher pulsa dari PT DNK. Padahal, PT DNK tak pernah menerimanya.
Pertengahan 2008, PT DNK kembali menerima faktur pajak dari PT Mobile 8 dengan total nilai Rp 114.986.400.000. Sama seperti sebelumnya, PT DNK tak bertransaksi dan menerima voucher pulsa dari Mobile 8.
Faktur-faktur fiktif yang diterbitkan oleh Mobile 8 itu lalu digunakan untuk mengajukan mengajukan kelebihan pembayaran pajak (restitusi) kepada Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa Jakarta.
Tahun 2009, Mobile 8 menerima pembayaran restitusi sebesar Rp10.748.156.345. Perusahaan ini seharusnya tak berhak menerimarestitusi, sehingga negara dirugikan.
Kilas Balik
Dapat SMS Dari Hary Tanoe, Ketua Tim Penyidik Kejagung Lapor Polisi
Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel pribadi Kepala Sub Direktorat Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Agung, Yulianto, pada 5 Januari 2016. Pesan singkat itu masuk pada pukul 16.30 WIB.
Berikut isi pesan singkat seperti yang ditunjukkan Yulianto kepada wartawan: "Mas Yulianto, kita buktikan siapa yang salah dan siapa yang benar. Siapa yang profesional dan siapa yang preman. Anda harus ingat kekuasaan itu tidak akan langgeng. Saya masuk ke politik antara lain salah satu penyebabnya mau memberantas oknum-oknum penegak hukum yang semena-mena, yang transaksional yang suka abuse of power. Catat kata-kata saya di sini, saya pasti jadi pimpinan negeri ini. Di situlah saatnya Indonesia dibersihkan."
Awalnya, Yulianto tidak mau menanggapi pesan tersebut. "Penyidik dapat ancaman itu biasa," kata Yulianto.
Namun, pada 7 Januari dan 9 Januari 2016, dia kembali mendapatkan pesan singkat melalui aplikasi WhatsApp dari nomor yang sama.
Pesan yang diterima pada 7 Januari isinya sama seperti yang diterimanya pertama kali. Hanya, di bagian bawah ada penambahan kata-kata, yakni "Kasihan rakyat yang miskin makin banyak, sementara negara lain berkembang dan semakin maju."
Setelah melihat foto profil pengirim, Yulianto mengetahui siapa yang mengancam dirinya. Yulianto yakin bahwa pesan singkat itu dikirim oleh pemilik MNC Group, Hary Tanoesoedibjo.
Saat itu, tim yang dipimpin Yulianto sedang menyidik kasus faktur pajak fiktif dan restitusi fiktif PT Mobile 8 Telecom. Perusahaan telekomunikasi itu dulu milik Hary Tanoe sebelum dijual.
Yulianto kemudian melaporkan ke Siaga Bareskrim Polri, Kamis 27 Januari 2016. Ia melaporkan Hary Tanoe atas dugaan melanggar Pasal 29 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE). Laporan Polisi (LP) Yulianto teregister denganNomor LP/100/I/2016/ Bareskrim.
Adapun bukti laporan polisi tersebut teregister denganNomor TBL/69/I/2016/Bareskrim. Dalam kolom terlapor, ditulis nama "Sdr Hary Tanooesoedibjo (pemilik no HP 0815106680801)."
Pemilik MNC Group Hary Tanoesoedibjo akhirnya mengakuimengirim pesan singkatkepada jaksa di Kejaksaan Agung, Yulianto.
Pengakuan Hary diwakili oleh kuasa hukumnya, Hotman Paris Hutapea. "Pesan singkat itu benar berasal dari HT (Hary Tanoe)," kata Hotman.
Meskipun mengakui bahwa pesan singkat itu benar-benar berasal dari Hary Tanoe, Hotman menegaskan itu bukanlah ancaman. Hotman menilai pesan semacam itu lumrah diungkapkan oleh seorang politisi dalam masa kampanye pemilihan.
"Kata-kata dalam pesan singkat yang dikirimkan HT itu diucapkan juga oleh ribuan politisi lain, itu artinya politisi bisa dipenjara karena setiap kampanye melakukan itu," katanya.
Sebelum Yulianto melaporkan ke Bareskrim, Jaksa Agung M Prasetyo sempat membacakan pesan singkat (SMS) itu saat rapat kerja dengan Komisi III DPR.
Politisi Senayan pun heboh. Beberapa anggota Komisi III langsung mencurigai ada masalah pribadi antara Hary dan Prasetyo. [rmol]
Pertengahan 2008, PT DNK kembali menerima faktur pajak dari PT Mobile 8 dengan total nilai Rp 114.986.400.000. Sama seperti sebelumnya, PT DNK tak bertransaksi dan menerima voucher pulsa dari Mobile 8.
Faktur-faktur fiktif yang diterbitkan oleh Mobile 8 itu lalu digunakan untuk mengajukan mengajukan kelebihan pembayaran pajak (restitusi) kepada Kantor Pelayanan Pajak Perusahaan Masuk Bursa Jakarta.
Tahun 2009, Mobile 8 menerima pembayaran restitusi sebesar Rp10.748.156.345. Perusahaan ini seharusnya tak berhak menerimarestitusi, sehingga negara dirugikan.
Kilas Balik
Dapat SMS Dari Hary Tanoe, Ketua Tim Penyidik Kejagung Lapor Polisi
Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel pribadi Kepala Sub Direktorat Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Kejaksaan Agung, Yulianto, pada 5 Januari 2016. Pesan singkat itu masuk pada pukul 16.30 WIB.
Berikut isi pesan singkat seperti yang ditunjukkan Yulianto kepada wartawan: "Mas Yulianto, kita buktikan siapa yang salah dan siapa yang benar. Siapa yang profesional dan siapa yang preman. Anda harus ingat kekuasaan itu tidak akan langgeng. Saya masuk ke politik antara lain salah satu penyebabnya mau memberantas oknum-oknum penegak hukum yang semena-mena, yang transaksional yang suka abuse of power. Catat kata-kata saya di sini, saya pasti jadi pimpinan negeri ini. Di situlah saatnya Indonesia dibersihkan."
Awalnya, Yulianto tidak mau menanggapi pesan tersebut. "Penyidik dapat ancaman itu biasa," kata Yulianto.
Namun, pada 7 Januari dan 9 Januari 2016, dia kembali mendapatkan pesan singkat melalui aplikasi WhatsApp dari nomor yang sama.
Pesan yang diterima pada 7 Januari isinya sama seperti yang diterimanya pertama kali. Hanya, di bagian bawah ada penambahan kata-kata, yakni "Kasihan rakyat yang miskin makin banyak, sementara negara lain berkembang dan semakin maju."
Setelah melihat foto profil pengirim, Yulianto mengetahui siapa yang mengancam dirinya. Yulianto yakin bahwa pesan singkat itu dikirim oleh pemilik MNC Group, Hary Tanoesoedibjo.
Saat itu, tim yang dipimpin Yulianto sedang menyidik kasus faktur pajak fiktif dan restitusi fiktif PT Mobile 8 Telecom. Perusahaan telekomunikasi itu dulu milik Hary Tanoe sebelum dijual.
Yulianto kemudian melaporkan ke Siaga Bareskrim Polri, Kamis 27 Januari 2016. Ia melaporkan Hary Tanoe atas dugaan melanggar Pasal 29 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE). Laporan Polisi (LP) Yulianto teregister denganNomor LP/100/I/2016/ Bareskrim.
Adapun bukti laporan polisi tersebut teregister denganNomor TBL/69/I/2016/Bareskrim. Dalam kolom terlapor, ditulis nama "Sdr Hary Tanooesoedibjo (pemilik no HP 0815106680801)."
Pemilik MNC Group Hary Tanoesoedibjo akhirnya mengakuimengirim pesan singkatkepada jaksa di Kejaksaan Agung, Yulianto.
Pengakuan Hary diwakili oleh kuasa hukumnya, Hotman Paris Hutapea. "Pesan singkat itu benar berasal dari HT (Hary Tanoe)," kata Hotman.
Meskipun mengakui bahwa pesan singkat itu benar-benar berasal dari Hary Tanoe, Hotman menegaskan itu bukanlah ancaman. Hotman menilai pesan semacam itu lumrah diungkapkan oleh seorang politisi dalam masa kampanye pemilihan.
"Kata-kata dalam pesan singkat yang dikirimkan HT itu diucapkan juga oleh ribuan politisi lain, itu artinya politisi bisa dipenjara karena setiap kampanye melakukan itu," katanya.
Sebelum Yulianto melaporkan ke Bareskrim, Jaksa Agung M Prasetyo sempat membacakan pesan singkat (SMS) itu saat rapat kerja dengan Komisi III DPR.
Politisi Senayan pun heboh. Beberapa anggota Komisi III langsung mencurigai ada masalah pribadi antara Hary dan Prasetyo. [rmol]