Mungkinkah Jokowi cabut Perppu Ormas?
[tajuk-indonesia.com] - Desakan menuntut pembatalan Perppu Ormas tampak bakal semakin terorganisir usai aksi 287 yang diinisiasi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) pada Jumat siang lalu.
Menurut kelompok ini, Perppu Ormas yang diterbitkan pemerintah tidak tepat sebab dapat setiap saat dimanfaatkan otoritas untuk membatasi hak warga negara dalam berkumpul dan berserikat, yang dijamin UUD 45.
GNPF-MUI pernah sukses menggalang sejumlah aksi dan ternyata berhasil dengan kekalahan Ahok di Pilkada DKI sekaligus memenjarakannya atas tuduhan penistaan agama. Oleh karena itu, potensi memanaskan suasana negara selalu terbuka.
Sampai saat ini, Presiden Joko Widodo kukuh dengan Perppu 2/2017 tersebut, yang menurutnya diterbitkan semata-mata demi menjamin keamanan negara saat ini dan masa mendatang. Jokowi menyarankan kepada mereka yang menolak untuk menempuh jalur yang telah diatur dalam mekanisme hukum. Akan tetapi, tidak ada yang bisa menjamin tidak ada aksi jalanan.
Kekuatiran mereka yang menolak pantas dimaklumi karena Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan tersebut dalam beberapa pasal berpotensi memberangus kebebasan berorganisasi, ditambah lagi dengan ketidakjelasan definisi ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Dengan aturan tersebut, Ormas apa pun yang kritis kepada pemerintah rawan setiap saat dibubarkan dengan alasan yang dicari-cari, terlebih penerapan asas contrarius actus yang memberikan kewenangan Mendagri dan Menkumham mencabut status badan hukum ormas secara sepihak tanpa proses pengadilan.
Aturan-aturan seperti itu menjadi sorotan banyak pihak. Pakar hukum tata negara yang juga pengacara HTI Yusril Ihza Mahendra, misalnya, menyebut bahwa beberapa pasal dalam Perppu tersebut bersifat karet, tumpang tindih dengan peraturan hukum lain dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
Dia mencontohkan pasal 59 ayat (4) sebagai salah satu pasal karet. Pada bagian penjelasan Pasal 59 Ayat (4) Huruf c menyebutkan, "ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila antara lain ajaran ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, atau paham lain yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945."
Namun, lanjut Yusril, Perppu tersebut tidak menjelaskan secara detil mengenai penafsiran paham yang bertentangan dengan Pancasila tersebut. Di sisi lain, penafsiran sebuah paham tanpa melalui pengadilan akan memunculkan tafsir tunggal dari pemerintah. Menurutnya, penafsiran sebuah ajaran harus melalui pengadilan. Sebab, Tafsir anti-Pancasila bisa berbeda antara satu rezim dengan rezim yang lain. Pemerintah bisa semaunya menafsirkan berdasar pada kepentingan politik mereka.
Yusril juga menyoroti pasal 59 ayat (4) huruf a mengenai larangan ormas melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras atau golongan. Dia menegaskan ketentuan dalam pasal tersebut juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan sanksi hukum yang berbeda. Dengan begitu, kata Yusril, tumpang tindih peraturan akan menimbulkan ketidakpastian hukum, pasal mana nantinya yang akan dipakai.
Selain itu, Yusril juga mengkritik mengenai penerapan ketentuan pidana dalam pasal 82A. Pasal itu menyatakan bahwa anggota atau pengurus ormas bisa dipidana penjara jika melanggar ketentuan Perppu. Menurutnya, hal ini tak jelas, sebab di pasal 59 mengatur hal-hal yang dilarang dilakukan oleh organisasi, tapi di pasal 82A mengatur pidana yang menghukum orang. Pendapat Yusril banyak diafirmasi oleh mereka yang menolak Perppu tersebut.
Oleh karena itu, melalui Mahkamah Konstitusi, Yusril, secara materiil, meminta, majelis hakim konstitusi membatalkan beberapa pasal, seperti pasal 59 ayat 4 huruf c, pasal 61 ayat 3, pasal 62, pasal 80 dan pasal 82 a. Menurut Yusril, pasal itu absurd dan dapat merugikan banyak ormas yang sudah ada di Indonesia.
Ada sejumlah situasi yang tidak akan mengungtungkan bagi pemerintah, seperti aksi tersebut akan terus berlanjut dan kembali menjadi sorotan dunia lalu berimbas pada tingkat kepercayaan terhadap Indonesia, pemerintah kalah dalam gugatan di PTUN atau MK, menyulut konflik horisontal antara pendukung dan penolak Perppu, serta polarisasi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri yang mendukung pemerintah dan TNI. Di tingkat masyarakat, terutama di tubuh umat Islam, mulai muncul polarisasi antara pendukung dan penolak.
Beberapa ormas Islam tampak sangat berkepentingan karena mereka tidak mendukung Jokowi pada Pilpres 2014 lalu. Mereka kuatir pemerintah akan bertindak sewenang-wenang kepada mereka.
Menyikapi ini, pemerintah harus jernih melihat potensi-potensi tersebut. Pemerintahan Jokowi harus cermat menimbang manfaat dan mudarat, apakah akan tetap melanjutkan pelaksanaan Perppu atau mencabutnya, atau DPR yang membatalkannya.[rm]