Nah Lho... Benarkah Jokowi Mengkhianati Ahok?


[tajuk-indonesia.com]       -         Jokowi dan Basuki Tjahaya Purnama itu 11-12. Ungkapan ini bukan untuk menyatakan bahwa keduanya amat mirip, melainkan keduanya amat dekat. Kedekatan ini sudah terjalin kuat saat mereka menjadi paslon Pilgub DKI Jakarta 2012, dan kemudian memintah di ibukota Indonesia. Mereka juga seperti saling melengkapi. Ibaratnya Jokowi yang mengelus-elus (persuasif-dominasi) dan Ahok yang bagian marah-marahnya (provokatif-dominasi).

Pada posisi Pilkada DKI Jakarta 2017, Jokowi juga telah menuai stigma sebagai pendukung Ahok nomor wahid. Gelombang-gelombang unjukrasa Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF MUI) contohnya, merupakan ekspresi kekecewaan publik yang kental nuansa stigma ini.

Begitu kuatnya stigma ini, hingga mencuatnya rumor: ada satu rahasia besar yang dipegang Ahok, sehingga Jokowi mau tak mau terpaksa mendukungnya. Terlepas benar salahnya, publik sudah bisa menakar bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah termasuk instrument-instrumentnya memang cenderung mendukung Ahok.

Herannya, belakangan ini publik juga bisa melihat perubahan sikap Presiden dalam menyikapi perkara Ahok: Jokowi seperti menghindar. Sinyal ini kentara dari pelbagai rentetan kejadian.

Pertama, Ahok divonis bersalah. Vonis hakim ini tergolong mengejutkan. Pasalnya, bahkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkesan berat sebelah ketika menyusun tuntutan yang sanksinya “akal-akalan” itu. Bahkan ketika Ahok membatalkan banding, mulanya kejaksaan masih ngotot untuk mengajukan banding, sampai suatu ketika, secara mendadak pula rencana banding itu digugurkan.

Pertanyaannya: apakah ini murni inisiatif dari masing-masing pihak? Atau mungkinkah ada tekanan maha hebat yang menuntut agar kasus Ahok dicukupkan sampai di sini? Ingat, Ahok dan Jaksa Agung Prasetyo terkenal berwatak keras, lantas mengapa mendadak keduanya melembek?
Kedua, diangkatnya Ketua MUI K.H. Ma’ruf Amin sebagai anggota pengarah Unit Kerja Pancasila (UKP). Ini menarik, sebab Ahoker cenderung menuding Ma’ruf sebagian biang keladi skenario pemenangan Ahok dalam Pilgub DKI Jakarta.

Di bawah kepemimpinan Mar’ruf-lah, fatwa MUI bahwa Ahok telah melakukan penodaan terhadap agama Islam diterbitkan. Kendatipun mekanisme penerbitan fatwa MUI ini sudah diulanh-ulang berkali-kali, Ahoker menudingnya sebagai pesanan.

Dalam perkembangannya, fatwa ini pula yang menjadi bahan bakar bagi aksi-aksi GNPF MUI. Dan ketika kedua kelompok ini saling sikut –pro Ahok dan kontra Ahok—pergesekan sosial politik di tanah air pun menjadi-jadi.

Sehingga banyak pihak yang bicara perkara disintegrasi dan terancamanya NKRI dan Pancasila. Saking khawatirnya sampai Jokowi melantangkan kampanye yang kontroversial itu: Saya Pancasila! Saya Indonesia.

Pengangkatan Ma’ruf merupakan sinyal pandangan Jokowi bahwa tudingan kaum Ahoker itu salah. Ma’ruf adalah seorang pancasilais, sehingga apapun laku perbuatannya, termasuk yang berdampak negatif terhadap Ahok, selalu berada dalam koridor pancasila.

Ketiga, pertemuan Jokowi dan tim tujuh GNPF MUI. Padahal  GNPF MUI adalah kelompok aksi yang getol mendorong sanksi hukum untuk Ahok dan sekaligus pengkritik keras Jokowi. Kekecewaan atas pertemuan ini bisa dibaca dalam percakapan di medsos –di mana ahoker bahkan pendukung Jokowi menyatakan kegelisahan, sindiran bahkan penolakan.

Betapapun dibungkus dengan nuansa lebaran, tak ada jaminan bahwa pertemuan ini suci dari kesepakatan politik. Minimal dari sini, terlihat sinyal Jokowi dan GNPF MUI mulai menemukan kemufakatan untuk melakukan proses take and give.

Jika benar, lantas apa yang didapatkan oleh GNPF-MUI? Secara luas, tentu akses untuk bicara dengan Presiden –yang menurut rumor sengaja diputus oleh elit istana sendiri sehingga mereka harus melakukan gerakan “jalanan”. Tetapi secara khusus, kemungkinan besar adalah abolisi terhadap pihak-pihak oposisi yang dinilai ramai dikriminalisasi belakangan ini.

Apa yang didapat atau akan didapat oleh pemerintah? Jawabnya jaminan GNPF-MUI akan berhenti  menggaduh pemerintah. Seperti apa yang diklaim oleh Mensekneg Praktikno: Mereka sepenuhnya mendukung pembangunan bangsa ini dan mereka mengapresiasi apa yang dilakukan oleh Pak Presiden.

Kedua, adalah citra, bahwa Jokowi tidak seburuk stigma yang selama ini melekat di kalangan pendukung GNPF-MUI garis keras itu. Dan apa lagi orientasi jangka panjangnya selain perihal Pilpres 2019.

Berpijak pada rentetan laku tadi, Jokowi hendak memperbaiki stigma sebagai pembela Ahok nomor wahid. Pasalnya, stigma ini lebih banyak mudharatnya, baik bagi Jokowi maupun bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Karenanya, Jokowi secara cepat mencoba melepaskan diri dari stigma ini. Tetapi, bukankah ini ibarat Jokowi mengangkangi aspirasi para pendukung Ahok, bahkan mungkin Ahok sendiri. [ptc]








Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :