Mengungkap Kasus Chatting Firza Husain dan Habib Rizieq Sihab
[tajuk-indonesia.com] - Akhir-akhir ini publik disuguhi pernyataan polisi yang ditayangkan berulang-ulang di sejumlah televisi nasional bahwa foto Firza Husain (FH) adalah asli. Sudah dianalisis oleh pakar bukan foto rekayasa.
Pernyataan tersebut terkait dengan Kasus chat WhatsApp (masih harus dibuktikan) yang dianggap mengandung konten pornografi.
Bagaimana Sebenarnya Konstruksi Hukum Kasus Ini?
Pada UU 44/2008 tentang Pornografi, ditegaskan dalam Pasal 4 ayat 1 bahwa membuat pornografi untuk diri dan kepentingan sendiri tidaklah melanggar hukum. Sementara secara pidana, sangat jelas bahwa menyebarkan konten pornografi merupakan pelanggaran UU ITE Pasal 27 ayat 1.
Jadi, hukum terkait konten pornografi adalah pada perbuatan menyebarkan atau mempublikasikannya, bukan perbuatan membuatnya. Apalagi jika memang konten pornografi tersebut memang tidak dimaksudkan untuk disebarluaskan atau sekedar menjadi konsumsi pribadi.
Oleh karena itu, menjadi sangat janggal apabila orang yang ada di dalam foto yang mengandung unsur pornografi ditetapkan menjadi tersangka sebelum ada pembuktian penyebarannya. Bahkan, belum diketahui siapa yang menyebarkan. Sehingga belum bisa dibuktikan bahwa foto itu sengaja disebarkan oleh pemiliknya atau ada orang lain yang secara sengaja menyebarkan untuk tujuan tertentu.
Dalam hal ini harus diperhatikan bahwa gadget yang berisi foto tersebut sudah sejak sebelum aksi 212 tanggal 2 Desember 2016 atau bersamaan dengan ditangkapnya pemiliknya karena kasus dugaan makar, disita oleh polisi. Artinya, ada waktu yang cukup lama gadget tersebut berada diluar kontrol si pemilik.
Seharusnya untuk kasus ini polisi terlebih dulu mencari orang pertama yang menebar atau membuat situs baladacintarizieq.com. Kalau sudah tertangkap, konfirmasi dan konfrontasikan kebenarannya. Siapa orangnya, apa motifnya, dimana uploadnya, mengapa melakukan. Dan jika dari pemeriksaan itu ditemukan bukti adanya keterkaitan antara orang yang ada di foto itu dengan tindak pidana pornografi, barulah polisi dapat menetapkan orang yang ada di foto itu sebagai tersangka.
Hal itulah yang dilakukan oleh Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri dan Intelkam Polres Bengkalis saat menangkap pengunggah gambar hoax yang berisi percakapan yang diduga rekayasa antara Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian dan Kapolda Jawa Barat Inspektur Jenderal Anton Charliyan, seperti diberitakan sejumlah media massa pada awal Maret 2017 lalu.
Namun, mengapa hal itu tidak dilakukan untuk kasus FH ini? Alasan polisi adalah karena penyebarnya tidak diketahui, anonymous dan sulit dilacak. Ada indikasi polisi terburu-buru atau tidak sabar dalam penetapan tersangka dalam kasus ini.
Apa Hubungannya Dengan Habib Rizieq Sihab?
Habib Rizieq Sihab (HRS) perlu dimintai keterangan sebagai saksi karena dikatakan bahwa konten pornografi atau foto itu ada di dalam chat WhatsApp antara FH dengan HRS. Namun, apakah polisi sudah melakukan pemeriksaan, analisis dan pembuktian tentang keaslian chat tersebut?
Dari beberapa pemberitaan disebutkan, ahli telematika hanya diminta menganalisis foto telanjang FH dan bukan keaslian percakapannya. Hal yang sama kepada ahli antropometri yang juga hanya berkisar pada tubuh telanjang FH. Berbeda dengan opini yang terbentuk kemudian di masyarakat luas soal chatting.
Opini tersebut bisa jadi terbentuk akibat kesimpangsiuran pemberitaan media. Dalam berbagai pemberitaan yang ada sampai saat ini, selain menyampaikan tentang keaslian foto, polisi tidak pernah dengan jelas dan tegas mengatakan tentang keaslian chat tersebut.
Menyangkut dugaan keterlibatan HRS, seharusnya sebelum upaya konfirmasi dengan pihak-pihak terkait chat tersebut dilakukan, polisi sudah harus mengantongi bukti keaslian chat dan menangkap pihak yang mempublikasikan. Sebab, jika tidak demikian maka polisi dengan mudah dituduh melanggar hak privat warga negara sebagaimana telah dirumuskan dalam pasal 12 Deklarasi HAM PBB.
WhatsApp Palsu Atau Rekayasa?
Secara teknis, membuat sebuah rekaman atau bahkan melakukan percakapan rekayasa melalui aplikasi chat seperti WhatsApp bukanlah hal yang mustahil. Menurut Moch. Almazaki, Praktisi dan Ahli IT Developer dan Telecom Consulting serta penggiat Jaringan Teknisi Ponsel Indonesia dari ITB Bandung kepada kanigoro.com, ada beberapa modus yang bisa dilakukan oleh pihak tertentu untuk menjatuhkan, mengangkat atau menggiring opini via percakapan aplikasi chat.
Pertama, melalui manipulasi grafis. Caranya dengan membuat percakapan di aplikasi chat dan nomor yang dihubungi diganti dengan nama seseorang. Cara ini yang paling mudah dan paling banyak digunakan orang untuk membuat percakapan hoax.
Kedua, lebih tinggi dari level pertama yaitu membuat fake aplikasi dengan tampilan yang sama persis dengan server lokal yang bisa didownload di smartphone sendiri dengan mengidentitaskan si A, B atau C untuk membuat percakapan hoax, cara ini tanpa menggunakan authorisasi nomor, email atau akun tertentu untuk melakukannya. Kemudian di ambil gambarnya atau direkam yang selanjutnya disebarkan lewat jejaring sosial.
Ketiga, level dengan kelas yang lebih tinggi yang dilakukan profesional untuk maksud tertentu terhadap orang penting atau publik figur yaitu dengan cara mapping number dan membuat server khusus yang bisa menjerat dan membuat nomor target tanpa sepengetahuannya. Dengan cara ini, pelaku bebas melakukan chatting, SMS khusus dengan orang lain tanpa diketahui yang punya nomor.
Keempat, dengan memasang aplikasi tertentu pada smartphone target sehingga dapat dipantau dan dikendalikan dari perangkat lain untuk mendapatkan berbagai informasi atau data yang dibutuhkan.
Pakar IT Abimanyu Wachjoehidajat dalam acara dialog di I-News TV mengatakan, untuk kasus ‘chatting’ antara FH dengan HRS ini ditemukan banyak kejanggalan. Di antaranya, dikatakan bahwa ini adalah kerjaan hacker. Kalau ini adalah kerjaan hacker maka posisi hacker tersebut bisa megakses dan mengendalikan gadget salah satu pihak. Dalam hal ini gadget milik FH melakukan chatting dengan lawan chatnya. Lalu suara yang ada bukan merupakan percakapan antara pemilik whatsApp dengan HRS tapi semacam suara curhat pemilik whatsApp kepada seseorang yang disebut Kak Emma.
Ukuran gambar dalam chatting juga dipertanyakan. Dalam chatting whatsApp tampilan gambar dalam bentuk thumbnail, gambar dalam bingkai kotak yang agak kecil. Akhirnya Abimanyu menyimpulkan, kemungkinannya ada dua, chat itu rekayasa atau penggandaan dari data whatsApp pemilik gadget, bukan pekerjaan hacker.
Untuk Keseimbangan Politik?
Dari penelusuran di atas, kemudian dikaitkan dengan beberapa pemberitaan seperti, bantahan Emma (Fatimah Husein Asegaf MA) terhadap berita Detik.com soal dirinya yang disebut polisi mengakui bahwa salah satu orang yang bercakap di chat audio tersebut adalah dirinya. Lantas siapa yang berbohong, Detik atau polisi?
Lalu pemberitaan Indowarta.com soal pengakuan FH yang dipaksa mengaku untuk mengakui sosok dalam WhatsApp HRS adalah dirinya.
Untuk menyebut beberapa contoh. Memunculkan kecurigaan dan tuduhan bahwa kasus ini sarat dengan rekayasa, untuk tujuan tertentu, yang salah satunya tidak lain adalah pembunuhan karakter HRS.
Benarkah demikian? Sulit untuk menghindari dugaan bahwa kasus ini tidak terlepas dari peran-peran politik yang telah dimainkan HRS dalam aksi-aksi Bela Islam untuk menuntut Basuki Tjahaja Poernama alias Ahok dihukum penjara karena telah menistakan agama islam. Dan gerakan jangan memilih pemimpin non muslim dalam Pilkada DKI yang ditujukan kepada Ahok. Maka, muncul tudingan bahwa dalam kasus ini kental aroma balas dendam politik terkait dengan kekalahan Ahok dalam Pilkada DKI dan dijatuhkannya hukuman dua tahun kepadanya atas kasus penodaan agama.
HRS merupakan tokoh paling frontal dan dianggap paling bertanggungjawab terhadap kekalahan Ahok dalam Pilkada DKI. HRS juga dianggap sebagai salah satu tokoh yang bertanggungjawab bagi tuduhan penodaan agama yang berujung pada hukuman dua tahun penjara bagi Ahok.
Dari situlah kemudian muncul analisis bahwa kasus ini sengaja dimunculkan untuk menciptakan keseimbangan politik. Ini ibarat skor pada pertandingan sepakbola, dimana salah satu kesebelasan sudah tertinggal 1-2 gol. Karena ingin meredam berbagai gejolak akibat ketidakpuasan suporter, maka skor perlu diatur sehingga seluruh pengunjung stadion bisa pulang dengan damai tanpa gejolak.
Begitu pula kasus ini muncul. Harapannya, semua suporter bisa menerima hasil pertandingan sehingga gejolak bisa dihindari dan suhu politik yang meninggi bisa diredakan. Wallahua’lam.
[Oleh: Nazaruddin – Pengamat Hukum & Politik].[akt]