Pakar Hukum Pidana Sebut Hakim Bisa Memvonis di Atas Tuntutan Jaksa
[tajuk-indonesia.com] - Pakar hukum pidana asal Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Prof Mudzakir mengkritisi tuntutan ringan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada terdakwa penista agama Islam, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Meski demikian, menurut Mudzakir, hakim memiliki kewenangan untuk memvonis di atas tuntutan jaksa.
Mudzakir menilai, jika jaksa konsisten dengan dakwaannya sebagaimana pasal 156 dan 156a KUHP, mestinya ada dua tindak pidana yang terbukti di persidangan.
"Kalau menggunakan dua pasal itu, mestinya hukumannya digabung. Yaitu penghinaan golongan dan penodaan agama," kata Mudzakir saat dihubungi, Senin (24/4/2017).
Hal itu, menurut Mudzakir, secara otomatis menjadi bagian yang memberatkan dalam tuntutan. "Namun, dengan jaksa hanya menuntut satu tahun dan percobaan dua tahun, berarti jaksa tidak mempertimbangkan status terdakwa menyesali perbuatannya atau tidak," katanya.
"Jika terdakwa mengaku dan menyesali perbuatannya, jaksa bisa mempertimbangkan faktor yang meringankan dakwaan. Kalau dia tidak menyesali, itu berarti faktor yang memberatkan dalam menyusun penuntutan," terang dia.
Mudzakir mengingatkan, dilihat dari proses hukum yang berjalan, jaksa secara gamblang menyatakan yang bersangkutan terbukti melakukan penistaan Agama.
"Nah, harusnya dipertimbangkan yang memberatkan dan meringankan. Sedangkan kalau dilihat dari historisnya, begitu perkara ini dipersoalkan, dia (Ahok) sampai sekarang yakin tidak berbuat penodaan agama atau golongan," ungkap Mudzakir.
Kedua, lanjut dia, pada saat kasus tersebut mulai ramai disorot, Ahok minta maaf. Hanya saja, konten permintaan maafnya bukan atas perbuatan yang didakwakan. Dia minta maaf karena mengganggu ketentraman masyarakat.
"(Permintaan maaf Ahok) bukan atas perbuatan yang diperbuat. Berarti dia meyakini bahwa perbuatan yang dituduhkan seperti penghinaan bukan suatu yang bersalah. Artinya, terdakwa tidak menyesali dan mengakui tuntutan itu. Kalau itu dilakukan, itu jadi faktor yang memberatkan," ujar Mudzakir.
Selain itu, dia menambahkan, seharusnya juga perlu dimonitor, apakah selama proses persidangan dari penyidikan sampai akhir, seorang terdakwa atau tersangka itu melakukan perbuatan pengulangan.
"Kalau dilihat, terdakwa melakukan pencemaran penodaan agama lagi. Atau dengan kata lain, yang bersangkutan melakukan perbuatan memenuhi unsur yang sama terhadap penodaan kitab suci agama Islam. Tapi, jaksa tidak mempertimbangkan ini," ucapnya.
Terakhir, Mudzakir mengingatkan, dalam tindak pidana penghinaan bukan ukuran fisik, tapi psikis. "Jadi, bukan kerugian materil, tapi imateril. Sehingga, kewenangan hakim tidak harus berpatokan ke (tuntutan) jaksa. Hakim bisa memutus di atas dari tuntutan jaksa," tandasnya. [tsc]
Mudzakir mengingatkan, dilihat dari proses hukum yang berjalan, jaksa secara gamblang menyatakan yang bersangkutan terbukti melakukan penistaan Agama.
"Nah, harusnya dipertimbangkan yang memberatkan dan meringankan. Sedangkan kalau dilihat dari historisnya, begitu perkara ini dipersoalkan, dia (Ahok) sampai sekarang yakin tidak berbuat penodaan agama atau golongan," ungkap Mudzakir.
Kedua, lanjut dia, pada saat kasus tersebut mulai ramai disorot, Ahok minta maaf. Hanya saja, konten permintaan maafnya bukan atas perbuatan yang didakwakan. Dia minta maaf karena mengganggu ketentraman masyarakat.
"(Permintaan maaf Ahok) bukan atas perbuatan yang diperbuat. Berarti dia meyakini bahwa perbuatan yang dituduhkan seperti penghinaan bukan suatu yang bersalah. Artinya, terdakwa tidak menyesali dan mengakui tuntutan itu. Kalau itu dilakukan, itu jadi faktor yang memberatkan," ujar Mudzakir.
Selain itu, dia menambahkan, seharusnya juga perlu dimonitor, apakah selama proses persidangan dari penyidikan sampai akhir, seorang terdakwa atau tersangka itu melakukan perbuatan pengulangan.
"Kalau dilihat, terdakwa melakukan pencemaran penodaan agama lagi. Atau dengan kata lain, yang bersangkutan melakukan perbuatan memenuhi unsur yang sama terhadap penodaan kitab suci agama Islam. Tapi, jaksa tidak mempertimbangkan ini," ucapnya.
Terakhir, Mudzakir mengingatkan, dalam tindak pidana penghinaan bukan ukuran fisik, tapi psikis. "Jadi, bukan kerugian materil, tapi imateril. Sehingga, kewenangan hakim tidak harus berpatokan ke (tuntutan) jaksa. Hakim bisa memutus di atas dari tuntutan jaksa," tandasnya. [tsc]