Pak Ahok, “Iconic Project” yang Sangat Berbahaya
[tajuk-indonesia.com] - Ibu Megawati Soekarnoputri beserta jajaran seniornya di PDIP, plus para pejuang persamaan hak dan para pemikir liberalisme, dan sejumlah investor oportunis ingin menjadikan Pak Ahok sebagai “iconic project” (proyek unggulan) mereka untuk menguji kadar toleransi di masyarakat Indonesia. Pengujian itu dilakukan dengan “memaksakan” agar Pak Ahok terpilih menjadi gubernur DKI pada pilkada putaran kedua, 19 April nanti.
Membuat
proyek politik seperti ini tentu boleh-boleh saja dilakukan. Tetapi,
kita bertanya apakah Bu Mega dan timnya sudah membuat hitungan cermat
dari segala sisi ketika mau meluncurkan proyek? Pertanyaan ini bisa jadi
kedengaran “bodoh” dengan alasan, misalnya, sekarang ini semua warga
negara berhak dan bisa menjadi apa saja. Betul, tidak salah!
Tetapi,
sebuah proyek politik berskala besar tentu akan bersentuhan dengan
banyak hal. Misalnya, apakah sudah diperhitungkan “gangguan lingkungan”
yang bakal ditimbulkannya; sudahkah para “tetangga” megaproyek politik
ini menyatakan keikhlasan mereka untuk menerima kehadiran “pabrik
politik” yang selama ini belum pernah ada di lingkungan mereka?
Kita
khawatir, Bu Mega dan kawan-kawan yang mendukung proyek ini ibarat
penguasa zaman otoriter dulu yang bisa sesuka hati membebaskan lahan
untuk sebuah proyek dan kemudian proyek itu dilaksanakan tanpa
feasibility study, tanpa izin bangunan, tanpa Amdal, dan tanpa
konsultasi dengan warga sekitar. Pokoknya harus jadi, tidak peduli ada
keberatan dari siapa pun.
Kalau
di era otoriter tempohari, besar kemungkinan sebuah proyek yang tidak
disukai masyarakat tetap bisa dipaksakan karena, waktu itu, rakyat
Indonesia memang “mudah digertak” oleh penguasa. Sekarang tampaknya
situasi sosial-politik kita sudah banyak berubah. Orang atau kelompok
orang tidak bisa lagi dipaksa menerima kehendak penguasa.
Tidak
yakin rasanya kalau Bu Mega tidak bisa menangkap pesan-pesan tersirat
(coded message) dari warga Indonesia yang menunjukkan keberatan yang
sangat dalam terhadap proyek unggulan Ibu ini. Proyek politik Bu Mega
ini sangat sarat masalah. Ibu dan kawan-kawan memaksa rakyat untuk
“memakan hidangan” yang menunya tidak merekai sukai, atau bahkan ada
yang menganggapnya haram.
Tidakkah
terpikirkan bagaimana situasi yang akan terjadi kalau kita memaksa
orang lain menelan makanan yang bagi mereka hukumnya haram? Sempatkah
aspek ini dicermati, ataukah pemaksaan itu sengaja dilakukan untuk
mengukur reaksi orang yang dipaksa?
Bu
Mega tampaknya hanyut oleh masukan-masukan dari para investor dan para
perancang proyek besar ini. Terasa Bu Mega begitu mudah terpesona oleh
rancang bangun proyek yang begitu indah dilihat tetapi tanpa hitungan
biaya yang sangat mahal.
Para
investor, perancang, dan konsultan proyek politik ini tidak transparan
mengenai cost yang akan dipikul oleh bangsa dan negara. Mereka sangat
gegabah dan terkesan sengaja ingin menantang warga yang dipaksa menerima
proyek itu.
Tidakkah
terpikirkan bahwa para investor, perancang, dan konsultan proyek
politik besar ini bisa dengan mudah kabur dari lokasi proyek bila
akhirnya warga sekitar menyerbu? Mereka sudah menyiapkan cara dan jalan
untuk melarikan diri. Mereka dengan mudah meninggalkan Bu Mega dan massa
pendukung Ibu yang akhirnya akan menghadapi situasi yang serba
berantakan.
Miskalkulasi dan anggap enteng (underestimate) dalam perancangan dan pengelolaan proyek unggulan ini, bisa fatal akibatnya.
Proyek
pemaksaan Pak Ahok menjadi gubernur DKI ini merupakan hal yang
mempermalukan orang lain. Sangat wajar dipikirkan bahwa orang yang
dipermalukan biasanya akan menunjukkan dua opsi saja: (1) diam sambil
bersedih, atau (2) nekat menebus kehormatan yang mereka rasa tercoreng.
Mungkin saja semua sisi proyek unggulan ini sudah diperhitungkan oleh Bu Mega dan tim kepercayaan beliau. Semoga saja demikian.
Kalau
pun ada yang terlupakan, kita berharap semoga tulisan ini masih bisa
berkontribusi untuk merumuskan “pembatalan” proyek besar yang sangat
toxic itu. [tsc]