Karangan Bunga Sebagai Perlawanan Terakhir Ahok


[tajuk-indonesia.com]         -          Perhelatan Pilkada DKI 2017 memang yang paling mengesankan sepanjang sejarah pemilihan kepala daerah. Di samping suhu panas kontestasi, yang bahkan beresonansi ke daerah sekitar, ada saja hal-hal menarik yang tak terduga sebelumnya.

Salah satunya adalah banjir karangan bunga di Balai Kota menyusul kekalahan petahana Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dalam hitung cepat dengan selisih yang jauh melebihi simpang kesalahan dalam metodologi survei.

Dari pantauan di lapangan hingga kemarin sore, karangan bunga mencapai seribu lebih, dan masih terus berdatangan. Ruang terbuka di Balai Kota DKI Jakarta pun sudah tidak cukup lagi untuk menampung karangan bunga itu. Akhirnya, beberapa karangan bunga diletakan di sepanjang trotoar di depan Balai Kota DKI Jakarta.

Baru kali ini, Balai Kota kebanjiran karangan bunga usai gelaran Pilkada. Karangan bunga berukuran sedang hingga besar berisi berbagai pesan untuk Ahok-Djarot. Isi karangan bunga pun sangat beragam. Akan tetapi, ungkapan kesedihan karena pasangan Ahok dan Djarot gagal pada Pilkada DKI 2017 dan terima kasih dari para pengirim mendominasi teks pada karangan bunga warna-warni tersebut.
Bagi pendukung, yang oleh lawan disebut gagal move on, karangan bunga tersebut disebarkan di media sosial sebagai bukti kecintaan warga kepada Ahok-Djarot. Mereka pun berpendapat bahwa kekalahan telak Ahok disebabkan karena bekas bupati Belitung Timur itu dizalimi lewat rekayasa kasus, terutama penistaan agama.

Oleh para pendukung, karangan bunga menjadi “perlawanan” terakhir sebelum KPU DKI mengumumkan secara resmi pemenang Pilkada beberapa hari ke depan. Dalam banyak budaya, bunga adalah bahasa yang dapat dipakai untuk mengungkapkan perasaan: gembira, cinta, duka, sekaligus perlawanan.

Di pihak lain, pengerahan bunga secara besar-besaran dinilai sekadar rekayasa atau dramatisasi dari para pendukung Ahok untuk mengobati perihnya luka kekalahan. Pada mulanya mereka menuding tim Ahok-Djarot memesan karangan bunga dalam jumlah banyak dengan nama yang berbeda-beda untuk memicu aksi serupa, semacam mimikri sosial. Dengan cara ini, mereka hendak membuat kesan bahwa Ahok-Djarot adalah gubernur yang dicintai, sekaligus ingin menunjukkan bahwa warga DKI telah memilih pasangan pemimpin yang salah.

Kedua, ada dugaan bahwa tim Ahok tadinya memesan karangan bunga untuk pesta ucapan selamat telah memenangkan Pilkada. Apa lacur, Ahok ternyata kalah dan bunga sudah dipesan. Akhirnya, ucapan selamat diganti dengan rupa-rupa ucapan dukungan dan terimakasih, serta memuji kinerja Ahok selama ini.

Dengan cara mengelu-elukan Ahok lewat kiriman paket bunga yang didisain indah dan diviralkan lewat media sosial, mereka ada kebanggan menyonsong pengumuman kekalahan dalam kurang dari sepuluh hari ke depan.

Dalam situasi ini, para pendukung Ahok-Djarot ingin memberikan kesan, setidaknya mereka hanya kalah dalam angka-angka tetapi tidak kalah dalam keharuman nama, yang derepresentasikan dengan bunga. Atau, setidaknya Ahok-Djarot kalah dengan indah.

Di luar itu, penulis yakin, kubu Anies-Sandi tidak akan tinggal diam untuk menghadapi “perang bunga” ini. Mereka akan membalasnya saat Anies-Sandi mulai berkantor di tempat yang kini masih dikuasai Ahok-Djarot sampai enam bulan ke depan. Perang karangan tentu tidak masalah, asal jangan sampai terjadi seperti pada "Perang Mawar" (Wars of the Roses), perang saudara di kerajaan Inggris pada abad ke-15 silam itu.  [rima]












Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :