Dulu Otoriter, Sekarang Tirani Bersampul Demokrasi
[tajuk-indonesia.com] - Kata banyak orang, tidak mencolok perbedaan antara suasana di zaman otoriter Orde Baru dengan suasana pemerintahan yang saat ini dikendalikan oleh kekuatan tirani yang bersampul demokrasi. Itulah kesan yang diungkapkan oleh beberapa politisi yang mengaku bahwa blok politik besar yang sedang mengendalikan kekuasaan eksekutif, kini terjebak mempraktikkan gaya tirani.
Cukup mengherankan, tirani itu lahir dari proses demokrasi yang boleh dikatakan bersih dan terhormat. Sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin institusi kekuasaan yang lahir dari proses demokrasi bisa berubah menjadi tirani?
Inilah yang diuraikan oleh seorang politisi senior yang masih aktif di DPR. Dia mengatakan, tirani yang disebutkannya itu memang bukan tirani model “iron man” (tangan besi) seperti yang dilakonkan oleh rezim Orde Baru tempohari. Dulu, diciptakan sistem jamak partai pura-pura (Golkar, PPP, dan PDI), di mana Golkar dijadikan kendaraan untuk menerapkan kekuasaan otoriter.
Sekarang, demokrasi Indonesia adalah demokrasi yang paling murni di dunia. Jumlah parpol sangat banyak. Semua orang bisa mendirikan partai. Kebebasan tidak terbatas.
Tetapi, entah bagaimana, suasana politik akhir-akhir ini bermutasi menjadi tirani yang berpusat di blok politik besar di parlemen. Tirani itu membuat partai-partai (kecil) yang ada di parlemen menjadi “anak perusahaan” dari partai besar yang mengendalikan kekuasaan eksekutif yang dipimpin oleh Presiden Joko Widodo.
Politisi senior itu tidak malu-malu menjadikan partainya sendiri, yaitu PPP, sebagai contoh korban tirani blok politik “pengendali” kekuasaan eksekutif. Dia mengatakan, pimpinan partainya ditodong dalam arti kata yang sesungguhnya untuk mendukung Ahok dalam pilkada Jakarta.
Beliau berkisah, ketika PPP tempohari akan memberikan dukungan kepada Agus-Silvy di putaran pertama pilkada DKI, Muhammad Romahurmuziy (Romi) harus bertanya dulu berkali-kali ke pusat kekuasaan blok besar tentang boleh-tidaknya PPP mendukung anak SBY itu. Begitu kuat tirani itu, seorang Menko saja sudah cukup untuk mengatakan “iya” atau “tidak”. Begitu rendahnya PPP di mata blok yang berkuasa!
Sang Tiran di dalam tirani blok politik itu, sekarang berhasil menggiring partai-partai kecil supaya mengikuti kehendak blok politik besar itu. Partai-partai kecil, kata narasumber, bisa dengan mudah dikendalikan karena mereka punya dua masalah: pertama, para pemimpinnya menyimpan banyak borok; dan kedua, karena partai-partai itu sendiri memang tidak lagi memiliki jatidiri.
Tidak memiliki jatidiri maksudnya adalah tidak punya prinsip yang hendak diperjuangkan. Partai-parti itu kehilangan arah dan tidak mengerti mau berbuat apa. Situasi seperti ini membuat para ketua partai semisal Romi di PPP, Muhaimin Iskandar di PKB, Wiranto di Hanura, Surya Paloh di NasDem, hanya berperan sebagai “penyedia jasa suara”. Artinya, kalau ada blok politik besar yang perlu dukungan mereka untuk melegitimasikan atau memperkuat sebuah rezim, mereka siap diajak tawar-menawar dengan imbalan kursi-kursi kecil plus "uang jajan".
Selain tak punya identitas, ada pula diantara partai-partai itu yang pemimpinnya punya masalah. Kembali ke Pak Romi PPP sebagai contoh. Dia perlu kekuasaan eksekutif untuk mensahkan kepengurusannya. Dan, kabarnya, ada sejumlah politisi PPP yang bisa sewaktu-waktu diborgol ke KPK kalau Pak Romi tidak menyerahkan lehernya kepada tirani yang mengendalikan percaturan politik saat ini.
Contoh lain, ada kabar bahwa politisi senior PKB terjerat masalah korupsi. Sang Tiran pemegang blok besar politik yang menopang Jokowi dan Ahok, memainkan “pekung” yang menempel di badan pak politisi senior PKB itu.
Lagi-lagi, seorang Menko saja sudah cukup menjadi penyambung lidah Tiran untuk “mengancam” ketua-ketua partai agar tidak keluar dari barisan blok politik besar yang berkuasa. Sangat terhina harga diri partai-partai kecil itu.
Begitulah kisah yang diceritakan oleh politisi senior PPP tadi. Dia mengatakan, orang-orang lain yang merapat ke Sang Tiran punya alasan macam-macam. Ada yang menghamba, sekaligus mengemis, karena pragmatisme “daripada menganggur lebih baik menjadi menteri atau menko”. Tidak ada prinsip, tidak ada martabat. Hanya ingin menjadi selebriti politik.
Sekarang, tirani blok politik itu memasang tekad untuk merebut kursi eksekutif tingkat daerah di seluruh Indonesia, termausk kursi gubernur DKI. Intimidasi dan janji kecil adalah cara yang lumrah. Sang Tiran menggunakan proses demokrasi sebagai “casing” ketiraniannya. [tsc]