Tanggung Jawab Sosial Pemberhentian Ahok


[tajuk-indonesia.com]         -        Pemberhentian Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai kepala daerah-- murni harus didasarkan pada perspektif hukum dan tidak dalam perspektif politik. Inilah konsekuensi dari pilihan negara hukum yang kita anut. Adanya intervensi politik terhadap hukum akan mendegradasi kedudukan negara hukum (nomocracy) dan berpotensi menyebabkan kerusuhan sosial (mobocracy) yang akan menuai perpecahan bangsa dan negara.

Kontroversi pemberhentian gubernur DKI Jakarta yang dijabat oleh Ahok menimbulkan persoalan karena presiden dan menteri dalam negeri belum juga mengambil tindakan hukum atas keadaan yang terjadi. Masa cuti kampanye yang memiliki konsekuensi status non aktif kepala daerah yang dijabat oleh Ahok telah berakhir pada tanggal 11 Februari 2017, konsekuensinya Ahok sudah dapat aktif kembali sebagai Gubernur pada tanggal 12 Februari 2017. 

Namun demikian, di sisi lain, Ahok telah menyandang status sebagai terdakwa dalam kasus hukum pidana penodaan agama yang sedang berlangsung di PN Jakarta Utara.

Ada tiga ketentuan hukum terkait  dalam kasus ini yaitu, Undang-undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, dan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) terkait Pemilihan Kepala Daerah. Berkenaan dengan hal tersebut, timbul pertanyaan hukum:

(1) Apakah presiden dan mendagri dapat memperpanjang masa cuti Ahok sebagai gubernur nonaktif,

(2) Apakah presiden dan mendagri harus menunggu tuntutan jaksa penuntut umum atau usulan dari DPRD untuk menonaktifkan Ahok dari jabatan gubernur DKI Jakarta,

(3) Apakah presiden sebagai kepala pemerintahan boleh mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dengan alasan subyektif tertentu.

(4) Apakah langkah untuk tidak menonaktifkan kepala daerah tersebut merupakan tindakan maladministrasi dalam perspektif ombudsman,

(5) Adakah implikasi hukum serius apabila presiden tidak menonaktifkan Ahok dalam konteks politik hukum? 

Lima hal inilah yang akan dijawab dalam tulisan ini. Penjelasan dan penafsiran hukum atas ketentuan hukum positif yang berlaku menjadi pegangan dalam analisis hukum tentang pemberhentian gubernur ini. Tentu saja hal ini tidak dapat dilepaskan dari nuansa politik dan tafsir kepentingan kekuasaan yang ada dibalik kontestasi hukum positif yang ada. Hal inilah yang menuntut pentingnya analisis politik hukum dalam kasus ini.

Norma Hukum


Setiap pejabat publik termasuk kepala pemerintahan dalam hal ini presiden memikul tugas konstitusional untuk menjalankan hukum dan pemerintahan tanpa pengecualian.

Dalam konteks penegakan undang-undang pemilihan kepala daerah, dalam hal ini DPR, presiden, dan menteri dalam negeri merupakan pihak yang mengemban kewajiban konstitusional untuk menjalankan hukum dan undang-undang terkait kasus hukum jabatan gubernur DKI Jakarta yang sedang menjalani kasus pidana dalam status sebagai terdakwa kasus penistaan agama.

Status terdakwa ini membawa konsekuensi hukum pemberhentian jabatan Gubernur DKI yang disandang oleh Ahok yang harus ditegakkan oleh presiden sebagai kepala pemerintahan.

Tanggung jawab konstitusional pemberhentian gubernur ini merupakan suatu conditio sine qua non bagi Presiden, yaitu suatu kondisi yang mengharuskan presiden untuk ‘mau tidak mau’ melakukan pemberhentian Ahok dari jabatan gubernur sebagai penegakan dari hukum yang berlaku.

Pasal 83 ayat 1 UU No. 23 Tahun 2014 menegaskan norma hukum bahwa “Kepala Daerah dan/atau Wakil Kepala Daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Pada pasal ini pula dalam ayat tiga menunjukkan adanya kewajiban hukum dari presiden untuk memberhentikan Ahok sebagai kepala daerah DKI Jakarta. Pasal ini memiliki kekuatan konstitusional untuk dijalankan oleh seluruh lembaga dan aparat hukum terkait sepanjang undang-undang tersebut masih berlaku sebagai hukum positif dan tidak dicabut keberlakukannya oleh Mahkamah Konstitusi.

Artinya, pasal 83 memiliki konstitusionalitas yang harus dijalankan oleh pengemban amanah konstitusi yaitu presiden dan DPR. Secara yuridis beban konstitusional ada di tangan presiden, namun demikian secara politis ini berat bagi Jokowi karena Ahok adalah rekan seafiliasi yang dicalonkan oleh partainya, yaitu PDIP.

Namun demikian, dalam konteks menjalankan tugas kenegaraan, presiden sebagai negarawan harus dapat  mengesampingkan kepentingan politik guna menjalankan legal reasoning (argumentasi hukum) yang nyata ada. Hal ini berkaitan dengan sumpah jabatan presiden yang harus senantiasa menjunjung tinggi hukum dengan tanpa kecuali.

Terkait dengan persoalan, (1) Apakah presiden dan mendagri dapat memperpanjang masa cuti Ahok sebagai gubernur nonaktif, hal ini tentunya tidak relevan untuk dikontradiksikan.

Pertama, ketentuan masa cuti kampanye telah berakhir sesuai dengan Peraturan KPU.

Kedua, tidak ada lagi istilah perpanjangan masa cuti karena kampanye talah berakhir dan status non aktif sudah expired.

Ketiga, status nonaktif dalam alasan perpanjangan cuti tidak dapat dibenarkan secara hukum.

Keempat, status nonaktif dapat diberlakukan kembali, namun harus dengan legal basic yang berbeda yaitu, pasal 83 (1) UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemberhentian kepala daerah dengan status terdakwa.

Dua Rezim Berbeda


Sehingga, hal ini harus dipahami, bila tuntutan masyarakat untuk nonaktif bukan didasarkan atas UU Pilkada, melainkan berdasarkan UU Pemda, dua rezim hukum yang berbeda namun setara dalam keberlakukannya sebagai perangkat hukum.

Sehingga dapat dipastikan bahwa Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014 adalah norma hukum yang masih berlaku konstitusionalitasnya dapat dijadikan sebagai dasar hukum pemberhentian gubernur sebagai kepala daerah DKI Jakarta.

Persoalan ke (2), apakah presiden dan mendagri harus menunggu tuntutan Jaksa Penuntut Umum atau usulan dari DPRD untuk menonaktifkan Ahok dari jabatan gubernur DKI Jakarta, Pasal 83 ayat 1 membebankan kewajiban untuk memberhentikan itu kepada presiden, bukan kepada menteri dalam negeri.

Hal ini adalah kewajiban konstitusional presiden sebagai kepala pemerintahan, dan menteri dalam negeri dan Sekretariat Negara hanya menjalankan proses administratif  pemberhentian tersebut (administrative law process). Pemberhentian ini sudah ditegaskan oleh UU Pemda adalah sebagai pemberhentian sementara, bukan definitive (pemberhentian tetap).
Pemberhentian tetap oleh presiden sesuai ayat 4 Pasal 83 hanya dapat dilakukan setelah adanya Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dari pengadilan. Pemberhentian sementara oleh Presiden ini tidak perlu menunggu usulan dari DPRD DKI Jakarta sebagaimana secara langsung dapat dipahami dari Pasal 83 ayat 1.

Namun demikian baik DPR maupun DPRD dapat mengingatkan secara moril (memberikan aba-aba atau warning) kepada presiden bahwa kewajiban konstitusional ini harus dijalankan sesuai dengan ketentuan Undang-undang.

Pemberhentian ini juga tidak perlu menunggu pemberitahuan atau tuntutan dari jaksa agung atau jaksa penuntut umum karena beberapa hal.

Pertama, pasal 83 tidak menyebut dan tidak mensyaratkan adanya ‘tuntutan jaksa penuntut umum’ melainkan ‘kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun.’ Pasal pemberhentian tersebut tidak menunjukkan perlunya keterlibatan jaksa penuntut umum, melainkan besar ancaman yang tertera di dalam undang-undang terkait pasal yang didakwakan.

Hal ini adalah hal yang lazim dalam suatu kasus hukum lainnya, tidak ada yang pernah didasarkan atas berapa lama hukuman yang dituntut oleh jaksa. Menjadi janggal bila harus menunggu pembacaan tuntutan jaksa. Penafsiran hukum yang mengharuskan menunggu berapakah tuntutan hukum dari jaksa adalah penafsiran hukum yang mengada-ada dan menimbulkan pretensi hukum yang anomaly.

Apakah jaksa akan menuntut dibawah 5 tahun atau diatas 5 tahun, itu adalah persoalan lain yang sama sekali tidak menjadi syarat dari Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014.

Kedua, hal ini juga tidak perlu dikaitkan dengan apakah ada penahanan atau operasi tangkap tangan yang berhasil dilakukan oleh aparat hukum. Mengapa? Karena hal ini tidak dipersyaratkan secara normatif di dalam pasal 83 UU No. 23 Tahun 2014. Baik penahanan maupun OTT (Operasi Tangkap Tangan) tidak menjadi unsur norma hukum didalam pasal tentang pemberhentian kepala daerah tersebut. 

Ketiga, hal ini bukanlah tuntutan pidana lain dari kasus pidana yang sedang dijalankan, melainkan konskekuensi hukum administrasi terkait jabatan publik yang diemban oleh Ahok dalam status terdakwa. Sehingga hal ini merupakan hal yang lazim sebagaimana status terdakwa jabatan publik lainnya yang pernah diberhentikan, seperti kasus bupati Bogor, gubernur Sumatera Utara, gubernur Banten, dan lain-lain. Sama sekali tidak terkait dengan perlunya tuntutan jaksa penuntut umum, penahanan, atau OTT.

Persoalan ke (3), apakah presiden sebagai kepala pemerintahan boleh mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dengan alasan subyektif tertentu, berdasarkan pasal 22 ayat 1 UUD 1945. Alasan yuridis berdasarkan ilmu perundang-undangan bagi suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang/Perppu untuk dikeluarkan adalah adanya kegentingan memaksa.

Dalam constitutional law hal ini lazimnya disebut sebagai emergency law atau undang-undang dalam keadaan darurat. Dalam konteks ini sama sekali tidak ada keadaan yang dapat dinilai secara subyektif oleh Presiden sebagai sesuatu keadaan yang darurat.

Pasal 83 ayat 1-5  sudah menyebutkan secara cristal clear atau sangat jelas tentang unsur-unsur norma hukum pemberhentian seorang kepala daerah tanpa harus ditafsirkan lagi apalagi dikaitkan dengan keadaan darurat.

Namun jika hal ini juga terpaksa dilakukan oleh Presiden, rakyat akan dengan cepat menangkap gelagat politik untuk menyelamatkan Ahok yang jelas-jelas dalam status terdakwa. Maka ini jelas merupakan intervensi politik terhadap hukum, dan merupakan rangsangan bagi terjadinya suatu social mob yang terus berkelanjutan. Kasus hukum pidana harus terus berjalan apa adanya, sebagaimana proses hukum administrasi negara juga harus berjalan apa adanya (law as it is).

Persoalan ke (4), apakah langkah untuk tidak menonaktifkan Kepala Daerah tersebut merupakan tindakan maladministrasi dalam perspektif ombudsman, hal ini dapat dilihat dari perspektif UU Ombudsman dan UU Pelayanan Publik. Status terdakwa dari pejabat publik tentu akan mempengaruhi situasi pelayanan publik yang dijalankan oleh pejabat tersebut.

Hal ini dapat berimplikasi pada banyak hal dan akan terkait dengan budaya hukum yang akan ditegakkan oleh gubernur sebagai pelayanan publik. Apapun bentuk perbuatan melanggar hukum dan etika administrasi adalah tindak maladministras dalam pandangan ombudsman.

Ombudsman juga memiliki kewajiban hukum dan moral untuk mengingatkan lembaga-lembaga negara terkait untuk menegakkan hukum secara tegas dan non diskriminatif. Telah adanya beberapa kepala daerah yang terkena ketentuan hukum pemberhentian tersebut merupakan preseden yang harus dilaksanakan oleh lembaga negara terkait dalam hal ini presiden, dan menteri dalam negeri.

Penafsiran dan treatment yang berbeda dalam kasus ini adalah merupakan tindakan diskriminasi hukum yang dalam perspektif ombudsman adalah tindak maladministrasi. Sehingga dalam kasus ini, dapat ditengarai bila Pasal 83 tidak dilaksanakan oleh presiden dan menteri dalam negeri, hal ini masuk dalam lingkup maladministrasi atau penyimpangan hukum dan etika dalam menjalankan administrasi negara.

Impeachment dan Social Mob?

Persoalan ke (5), adakah implikasi hukum serius apabila Presiden tidak menonaktifkan Ahok dalam konteks politik hukum? 

Presiden adalah kepala negara dan juga nepala pemerintahan. Kedudukan ini adalah status kelembagaan dan bukan personal. Lembaga kepresidenan dalam ketentuan konstitusi memiliki kewenangan yang sangat besar dalam menjalankan hukum dan pemerintahan.

Demikian pula kedudukan semua warga negara adalah sama dihadapan hukum dan pemerintahan. Tentu seorang presiden harus menjunjung tinggi hukum dan perundang-undangan sebagaimana yang disebut dalam sumpah jabatannya.

Apabila presiden tidak mematuhi hukum atau memberlakukan hukum secara berbeda (discriminatory) dalam suatu kasus, maka hal ini merupakan pelanggaran sumpah jabatan dan akan berimplikasi yuridis serius dalam perspektif hukum tata negara.

Ringkasnya, apabila Presiden Jokowi tidak menjalankan perintah undang-undang untuk memberhentikan Ahok sebagai gubernur DKI Jkaarta, maka hanya ada dua kemungkinan yang dapat terjadi.

Pertama, proses impeachment akan bergulir sebagai proses hukum tata negara. Langkah ini bergantung dari konstelasi politik di DPR yang akan mengajukan usul pemberhentian presiden kepada MPR.

Tentunya langkah ini didahului permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa presiden telah melakukan pelanggaran hukum. Hal ini tentunya merupakan proses yang panjang dan berliku.

Kedua, terbukanya alasan politik untuk terjadinya gerakan sosial yang menuntut Presiden untuk mundur dari jabatan, atau softly movement  agar Presiden menegakkan hukum secara adil (fairness).

Kedua kemungkinan terabyte akan selalu memunculkan instabilitas politik dan memicu munculnya kerusuhan sosial yang luas (massive social mob). Kekuatan aparat hukum yang berpihak pada kekuasaan politik akan menimbulkan korban nyawa yang tidak sedikit di pihak grass root.

Situasi ini rentan untuk munculnya intervensi kekuatan asing yang akan memiliki kepentingan ideology and capital dalam menguasai dan mengkooptasi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hal inilah yang harus kita cegah melalui proses hukum yang adil dan beradab. Namun pertanyaan besarnya, mungkinkah?



Penulis: Dr. Hendra Nurtjahjo,SH. MHum
*Ombudsman Republik Indonesia 2011-2016, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Universitas Pancasila 

[rima]



















Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :