Pengamat Politik Sebut Reformasi jilid II hanya ilusi, Mengapa?
[tajukindonesia.net] - Seruan mahasiswa untuk menggulirkan reformasi jilid II hanyalah ilusi dan tidak akan terjadi, karena syarat untuk terjadinya reformasi seperti 1998 belum terpenuhi, kata pengamat Pengamat politik Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo.
"Situasi sosial dan ekonomi saat ini masih relatif normal," ujar Karyono dalam keterangannya, kemarin.
Seruan menggelorakan Reformasi Jilid II diteriakan Badan Eksekutif Mahasiswa se-Indonesia dalam aksi bela rakyat 121 memprotes kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat. Koordinator Pusat BEM Se-Indonesia Bagus Tito Wibisono mengatakan, jika pemerintah masih bercanda dalam mengelola negara maka reformasi jilid II harus menggelora.
Menurut Bagus, pemerintah sewenang-wenang dalam menetapkan kebijakan, serta saling lempar-melempar tanggung jawab, dan itu menunjukan prospek dan kualitas kerja pemerintah yang nyata memeras rakyatnya lewat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak, listrik dan biaya administrasi pengurusan surat kendaraan.
Karyono menuturkan, tidak ada dasar dan alasan yang kuat untuk menggerakan reformasi jilid II.
Dari sisi pertumbuhan ekonomi, Indonesia masih stabil di kisaran lima persen, dan berada di urutan ketiga setelah India dan Tiongkok. Bahkan nilai mata uang relatif stabil di kisaran 13.300 per dollar AS.
Jumlah penduduk miskin juga relatif berkurang jika dilihat dari Maret 2016 sampai September 2016. "Lalu apa yang dijadikan dasar? Kalaupun ada kenaikan harga beberapa komoditas seperti cabe, kenaikan tarif listrik, itu belum cukup karena fundamental ekonomi saat ini masih cenderung kuat," kata Karyono.
Kesenjangan sosial yang ada, menurut Karyono juga belum cukup menjadi pemicu gerakan reformasi. Jadi, katanya, kelompok menghimbau untuk melakukan gerakan reformasi jilid II tidak memahami anatomi gerakan.
Namun demikian, sambung Karyono, Indonesia sebagai negara hukum yang menganut sistem demokrasi memang menjamin hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat termasuk kritik terhadap jalannya pemerintahan. "Namun harus disertai solusi, bukan sekadar orasi yang memaki-maki," sesalnya.
Karyono memandang, pola dan paradigma gerakan mahasiswa sudah saatnya berubah. Pertama, kata dia, perlu memahami situasi dan kondisi dan permasalahan yang tengah dihadapi bangsa ini. Kedua, perlu mengenali siapa sejatinya musuh bangsa ini.
Ketiga, melakukan kritik berbasis data yang akurat, bukan berbasis rumor dan sinisme. Keempat, perlu mengedepankan model dialog dan memberikan konsep yang bisa ditawarkan sebagai solusi. "Kritik boleh saja disampaikan dalam bentuk aksi massa tetapi itu jalan terakhir apabila cara melalui dialog mengalami kebuntuan," ujar Karyono.
Mahasiswa, kata Karyono, hendaknya juga memahami makna massa aksi dan aksi massa.
"Massa aksi bukan sekadar kumpulan atau segerombolan orang yang melakukan demonstrasi turun ke jalan, amuk-amukan membabi buta,' katanya.
Tetapi, menurut dia, massa aksi terorganisir bergerak bersama-sama rakyat dan harus dilandasi oleh kesadaran kolektif dan terorganisir. "Serta memiliki tujuan yang sama untuk menjebol tatanan lama menggantikan yang baru yang lebih baik," kata dia. [rms]
Kesenjangan sosial yang ada, menurut Karyono juga belum cukup menjadi pemicu gerakan reformasi. Jadi, katanya, kelompok menghimbau untuk melakukan gerakan reformasi jilid II tidak memahami anatomi gerakan.
Namun demikian, sambung Karyono, Indonesia sebagai negara hukum yang menganut sistem demokrasi memang menjamin hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat termasuk kritik terhadap jalannya pemerintahan. "Namun harus disertai solusi, bukan sekadar orasi yang memaki-maki," sesalnya.
Karyono memandang, pola dan paradigma gerakan mahasiswa sudah saatnya berubah. Pertama, kata dia, perlu memahami situasi dan kondisi dan permasalahan yang tengah dihadapi bangsa ini. Kedua, perlu mengenali siapa sejatinya musuh bangsa ini.
Ketiga, melakukan kritik berbasis data yang akurat, bukan berbasis rumor dan sinisme. Keempat, perlu mengedepankan model dialog dan memberikan konsep yang bisa ditawarkan sebagai solusi. "Kritik boleh saja disampaikan dalam bentuk aksi massa tetapi itu jalan terakhir apabila cara melalui dialog mengalami kebuntuan," ujar Karyono.
Mahasiswa, kata Karyono, hendaknya juga memahami makna massa aksi dan aksi massa.
"Massa aksi bukan sekadar kumpulan atau segerombolan orang yang melakukan demonstrasi turun ke jalan, amuk-amukan membabi buta,' katanya.
Tetapi, menurut dia, massa aksi terorganisir bergerak bersama-sama rakyat dan harus dilandasi oleh kesadaran kolektif dan terorganisir. "Serta memiliki tujuan yang sama untuk menjebol tatanan lama menggantikan yang baru yang lebih baik," kata dia. [rms]