Bantah Tuduhan, KH Ma'ruf Amin: MUI Mengeluarkan Fatwa Bukan Untuk Menambah Polemik...


[tajukindonesia.net]       -      Cicit Syeikh Nawawi Al Bantani ini menampik spekulasi yang menyebutkan fatwa yang dikeluarkan lembaga pimpinan­nya kerap membenturkan hukum positif di Indonesia.

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin mengatakan, sebenarnya tidak ada benturan antara fatwa dengan hukum. Sebab posisi fatwa dan hukum jelas ber­beda. Kiai Ma'ruf menjelaskan, fatwa yang dikeluarkan MUI untuk dipatuhi dan sanksi bagi pelanggar sifatnya otonom (pribadi).

"Jadi harusnya tidak ada ben­turan antara keduanya," tambah Kiai Ma'ruf di Jakarta.

Pernyataan Kiai Ma'ruf ini menanggapi pernyataan Kapolri Jenderal Tito Karnavian yang menilai fatwa MUIbelakangan ini menimbulkan implikasi luas terhadap stabilitas keamanan, ketertiban nasional (kamtibnas). Berikut pernyataan lengkap Kiai Ma'ruf;

Tadi anda katakan fatwa MUI sanksinya hanya bersi­fat otonom, untuk apa MUI mengeluarkan fatwa yang kadang menambah polemik di masyarakat?

Kami mengeluarkan fatwa bu­kan untuk menambah polemik. Fatwa itu justru ada untuk men­jawab setiap problem umat Islam yang tidak tercantum dalam Al Quran ataupun hadis. Fatwa ada untuk menjawab keresahan di masyarakat, dan dibutuhkan oleh negara.

Tapi kenyataannya kan kerap menimbulkan polemik?
Kalau menimbulkan dampak negatif, iya. Tapi itu di luar kewenangan kami. Setiap men­geluarkan fatwa kami selalu me­nyertakan dua imbauan. Pertama jangan ada pihak - pihak yang mengatasnamakan fatwa tersebut untuk melakukan perbuatan me­langgar hukum, dan kedua me­nyerahkan pemberian sanksinya kepada aparat penegak hukum. Hanya pasti ada saja yang yang melanggar. Tapi kalau bicara dampak negatif, sebetulnya tidak hanya ditimbulkan oleh fatwa MUI, peraturan pemerintah juga sering kok disalahpahamkan.

Cara MUI membuat fatwa bagaimana sih, kok bisa sam­pai menimbulkan polemik?
MUI memiliki standard operating procedure (SOP) yang jelas, supaya fatwa bisa ber­fungsi membimbing umat Islam. Awal pembuatan fatwa, MUI melakukan kajian komprehensif terlebih dahulu. Kajian kompre­hensif dapat melalui pembuatan makalah dari ahli. Misalnya fatwa tentang makan kepit­ing, kita panggil ahli kepiting, misalnya.

Setelah itu?
Kemudian tim investigasi masalah fatwa akan membuat rumusan masalah, sampai ka­jian tentang dampak sosial yang akan timbul dari fatwa yang dibuat. Dengan menghadirkan berbagai ahli. Setelah itu men­coba menyatukan pendapat yang berbeda. Fatwa yang dibuat sebaiknya memiliki titik temu kesepakatan, untuk menghindari hal yang tidak diinginkan.

Kalau enggak mencapai titik temu bagaimana?
Kalau enggak berhasil, maka kami menggunakan metode perbandingan untuk menetapkan pendapat yang unggul. Setelah ada pendapat yang dianggap paling unggul, baru ambil kepu­tusan dan dikeluarkan fatwanya berdasakan hal itu.

Kalau dengan metode per­bandingan tidak ditemukan yang paling unggul bagaima­na?

Kalau seperti itu maka akan ada lebih dari satu fatwa, yang disertai dengan penjelasan dari tiap perbedaan. Seperti ini per­nah terjadi kok. Misalnya soal rokok itu tidak tercapai, maka ditampilkan apa adanya. Yang satu mengatakan haram, yang satu mengatakan makruh.

Tadi anda bilang ada fatwa yang sudah dimasukkan da­lam hukum positif, sehingga yang melanggar bisa dihukum. Fatwa tentang apa itu?
Fatwa yang merupakan hasil kerja sama MUI dengan pe­merintah, baik dalam bentuk kewenangan yang diberikan lewat undang-undang atau pun berdasarkan permintaan kemen­terian atau lembaga. Untuk fatwa yang dikeluarkan berdasarkan perintah undang-undang ini, maka fatwa itu mengikat se­cara syar’i dan tarjih. Apabila dilanggar, bisa dieksekusi oleh penegak hukum.

Contoh fatwanya?
Contohnya, fatwa untuk men­jamin kehalalan suatu produk. Berdasarkan undang-undang, MUI merupakan satu-satunya organisasi yang memiliki ke­wenangan untuk mengeluarkan fatwa untuk menjadi acuan pemerintah dalam penetapan kehalalan suatu produk.

Kemudian dalam prinsip perbankan syariah, undang-undang mengamanatkan MUI sebagai organisasi yang me­netapkan syariah dalam per­bankan untuk kemudian disusun dalam bentuk regulasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Keuangan, atau Bank Indonesia.

Anda sudah mengakui fatwa MUI bisa menimbulkan pole­mik. Ap yang bisa MUI laku­kan menyikapi hal itu?
Untuk mencegah efek negatif fatwa harus ada instrumen yang berperan sebagai eksekutor. Kami akan kerja sama dengan Polri guna mewujudkan hal itu. Sebab MUItidak punya instru­men itu.

Konsep kerjasamanya seperti apa?
Saya belum bisa ungkap karena kami belum membahas masalah itu dengan Polri. Itu baru wacana yang hampir pasti akan kami kerjakan. Sebab, seluruh umat beragama dengan masing-masing identitasnya harus mendapatkan perlindungan. Dan fatwa meru­pakan salah satu intrumen untuk melakukan itu. [rm]












Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :