Simak!! Inilah Peran Amerika Dalam Penjajahan Palestina
Simak!! Inilah Peran Amerika Dalam Penjajahan Palestina
[tajukindonesia.id] - Palestina memang selalu membara. Ya, selama bangsa keturunan babi dan kera masih bercokol di sana, gejolak akan selalu menggema. Terlebih setelah adanya statement dari Donald Trump tentang status Al-Aqsa sebagai ibu kota Israel. Pernyataan ini menyulut api yang telah lama berkobar.
Maka, terjadilah gelombang penolakan di seluruh penjuru dunia. Semua mata dunia tertuju pada Palestina, terkhusus Al-Aqsa. Tak terkecuali di Indonesia, kaum muslimin berkumpul di Monas pada 17/12 lalu untuk menggalang solidaritas bagi Al-Quds dan Palestina.
Namun, sebelum pernyataan dari presiden Amerika, Benjamin Netanyahu (Perdana Menteri Israel) pernah berujar,“Al-Quds adalah ibu kota abadi bagi Israel dan akan terus kekal di bawah naungan pemerintahan bangsa Yahudi dan tidak boleh dibagi-bagi dengan orang lain.” Keselarasan pernyataan ini bisa kita tarik kesimpulan bahwa antara Israel dan Amerika mempunyai hubungan dekat dan tak terpisahkan. Bagaikan Haman dan Fir’aun, dua negara ini seharusnya mendapatkan porsi perlawanan yang sama.
Kita tahu bahwa Haman adalah seorang pembesar Fir’aun dan hidup sezaman dengan nabi Musa. Ia bertugas membantu Fir’aun dalam melaksanakan segala perintahnya, seperti membuat bangunan yang tinggi. Dan Haman adalah sekutu Fir’aun. Maka, antara Israel dan Amerika adalah satu kesatuan. Jika kita bersuara lantang mengecam Israel, jangan lupa Israel itu ada dan berjaya karena Amerika dibelakangnya. Seperti apa hubungan kedua negara ini hingga diibaratkan seperti Haman dan Fir’aun?
Ikatan Mesra Antara Israel dan Amerika
Amerika memperlihatkan salah satu langkah memalukan saat Konferensi PBB di Durban, Afrika Selatan. Langkah ini memperlihatkan betapa loyalnya Amerika Serikat (AS) kepada Israel hingga bersedia melakukan apa saja demi kepentingan Israel. Saat itu delegasi AS dan Israel melakukan walk out bahkan sebelum konferensi yang dilaksanakan dari tanggal 29 Agustus hingga 1 September itu dimulai. Konferensi PBB itu bertemakan “Rasisme, Xenophobia dan Intoleransi.”
Awal hubungan orang Yahudi dengan Amerika sudah dimulai sejak pendaratan Christoper Columbus (1451-1506) di Waiting Island, Bahama pada tanggal 12 Oktober 1492. Tujuan perjalanan ini semula adalah untuk mencapai “kepulauan rempah-rempah” Maluku di Hindia Timur dengan mengambil rute ke arah barat yang belum pernah dijelajahi sebelumnya oleh pelaut mana pun. Semula Columbus mengajukan usul permohonan ini kepada raja Portugis, tetapi permohonannya ditolak.
Pada akhirnya orang Yahudi membantu Columbus dalam eskpedisinya. Mereka membujuk Ratu Isabella untuk membantu Columbus mengingat kekayaan kerajaan kian hari kian susut dan kemungkinan Columbus akan menemukan pulau emas. Bujukan itu berhasil hingga Sri Ratu bersedia menawarkan perhiasan-perhiasannya untuk digadaikan sebagai dana bagi pelayaran itu.
Columbus melakukan tiga kali lagi ekspedisi pelayaran ke “Benua Baru”. Setahun kemudian pada bulan Oktober 1493 ia berlayar meninggalkan Spanyol, kali ini dengan 17 buah kapal, dengan rencana membangun tempat-tempat perdagangan dan koloni, dengan membawa serta beratus-ratus kolonis, termasuk di antara mereka para “marano” (Yahudi Bawah Tanah). Ia membangun koloni pertama di pulau Hispaniola, dan menemukan lagi pulau-pulau Puerto Rico, Jamaika, kepulauan Virgin, dan Antilla. Dalam pelayarannya yang ketiga pada tahun 1498 ia mendarat di benua Amerika dan menemukan Trinidad. Nasib tragis menimpa Columbus karena dikhianati dan meninggal dalam keadaan miskin dan terhina pada 1506.
Seiring perjalanan waktu, kaum Yahudi mulai bermigrasi ke Nieuw Amsterdam (New York). Mereka sempat berpindah ke daerah Philadelphia ketika terjadi revolusi Amerika (1775-1783). Setelah Revolusi Amerika berakhir orang-orang Yahudi itu balik kembali ke New York dan menjadikannya sebagai negara bagian dengan konsentrasi terbesar masyarakat Yahudi di Amerika Serikat sampai saat ini. Orang-orang Yahudi menyebut kota New York sebagai “New Jerusalem” dan pegunungan Rocky oleh mereka diberi nama yang bernuansa agama, “Gunung Zion”.
Amerika oleh kaum Yahudi dipandang sebagai “Tanah yang Dijanjikan” yang sesungguhnya. Tidak mengherankan bila perkembangan komunitas Yahudi di Amerika Serikat melalui New York sangat pesat. Keberhasilan kaum Yahudi di Amerika Serikat dalam perdagangan, terutama di bidang pinjam-meminjamkan uang, sangat besar.
Orang-orang Yahudi berhasil menguasai industri perfilman, industri gula, industri rokok dan produk tembakau – lima-puluh persen dan mungkin lebih, pada industri pengepakan daging olahan – lebih dari enampuluh persen, pada industri alas-kaki, bagian terbesar dari bisnis musik, permata dan perhiasan, gandum dan produk pertanian lainnya, kapas, minyak dan gas bumi, industri besibaja, media-massa cetak, kantor berita, bisnis minuman keras, sekedar menyebut “beberapa” industri yang sayapnya menyapu usaha bisnis di dalam maupun di luar-pantai Amerika, semuanya ada di bawah kekuasaan modal Yahudi, baik secara berdiri-sendiri maupun berpatungan dengan usaha bisnis orang Yahudi di luar Amerika Serikat.
Rakyat Amerika akan ternganga bila mereka mengetahui barisan “pebisnis Amerika” yang memegang prestise komersial dengan label Amerika di luar-negeri pada umumnya adalah orang Yahudi. Kiranya hal ini memberikan sedikit pemahaman tentang”perilaku pebisnis Amerika” di sebagian besar dunia. Tatkala yang menjalankan bisnis atas nama “Amerika”, tetapi tidak menjalankannya sesuai dengan hukum setempat yang berlaku, tidaklah mengherankan bila ada orang-orang Amerika yang tidak mengakuinya.
Mungkin kita tahu bahwa Amerika sering disebut sebagai negeri Paman Sam. Penamaan ini pertama kali ditampilkan pada tahun 1812 oleh seorang karikaturis Amerika, Thomas Nast. Tokoh Paman Sam digambarkan seseorang dengan profil, pakaian,dan tutup-kepala khas Yahudi, yang diangkatnya dari tokoh Samuel Wilson (1766-1854), yang pada waktu itu menjabat sebagai inspektur perbekalan perang.
Paman Sam bukan hanya diambil dari nama Samuel Wilson, tetapi juga terkait dengan nama nabi kaum Yahudi di dalam Kitab Perjanjian Lama, seperti pada Kitab Samuel I dan Samuel II, juga dapat ditemukan pada Kitab Raja-Raja I dan II, dimana terdapat nama Samuel. Bahkan lambang mata uang dolar – $ – oleh para pedagang uang Yahudi pada waktu itu diambil dari huruf-awal S yang ada pada nama Haikal Sulaiman (Solomon Temple), yang berlaku hingga hari ini.
Dominasi Yahudi di Amerika juga berlaku di didalam pemerintahan AS. Peran lobi Yahudi di dalam pemerintahan Amerika Serikat terutama sekali sangat meningkat pada masa pemerintahan presiden Franklin Delano Roosevelt (1882-1945). Presiden Roosevelt telah membukakan jabatan-jabatan yang begitu luas kepada orang-orang Yahudi ke dalam birokrasi pemerintahan Amerika Serikat yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Hal itu juga berdampak dengan penguasaan mereka pada Departemen luar negeri AS. Dahulu departemen luar negeri Amerika Serikat adalah sebuah instansi WASP (White, Anglo-Saxon, Protestant – berkulit putih, keturunan Inggeris, dan beragama Kristen Protestan). Di bawah presiden Clinton lembaga penting itu berubah menjadi WJM (White, Jewish, Males – berkulit-putih, Yahudi, dan pria). Sejak menteri luar-negerinya Madeleine Albright yang Yahudi, ternyata semua calon pejabat untuk posisi puncak terdiri dari orang Yahudi, dan pria.
Dengan dikuasainya departemen luar-negeri Amerika Serikat selama di bawah menteri luar-negeri Madeleine Albright pada era pemerintahan Bill Clinton, yang bersama isterinya Hillary Rodham Clinton menjadi anggota Freemasonry dan pendukung Israel yang gigih, infiltrasi orang Yahudi ke Washington D.C. berlangsung dengan deras. Pada masa pemerintahan George W. Bush, Jr., seorang pengusaha minyak yang dekat dengan orang-orang Yahudi, infiltrasi itu makin menjadi-jadi.Ada lima-belas orang Yahudi yang “kebetulan” menduduki posisi-posisi puncak strategis di Washington, DC. dan Gedung Putih.
Dengan komposisi pejabat keturunan Yahudi yang menduduki posisi-posisi puncak strategis baik di departemen luar-negeri, departemen pertahanan, dewan keamanan nasional, departemen keuangan, serta Gedung Putih yang seperti itu, tidaklah mengherankan bila Amerika Serikat senantiasa mengambil sikap moralitas-ganda dalam setiap peristiwa yang berkaitan dengan Israel.
Salah satunya apa yang kami tulis di atas aksi walk out tanpa malu yang dilakukan AS pada konferensi PBB di Durban. Selain itu Resolusi PBB No. 3379-D/10/11/75 yang menyatakan bahwa “Zionism, a Movement on Racism” hanya mampu bertahan 15 tahun. Resolusi tersebut dicabut pada tahun 1991 atas desakan Amerika Serikat setelah berakhirnya Perang Teluk.
Contoh moralitas ganda itu tampak secara telanjang pada kasus agresi Israel terhadap Palestina pada 29 Maret 2002 yang lalu. Ketika dunia mengutuk serangan biadab negara Yahudi-Israel terhadap Palestina misalnya, Presiden Bush justru mendukung dan membenarkan tindakan Israel tersebut sebagai tindakan “bela diri” menghadapi ”terorisme bom bunuh diri” oleh pejuang-pejuang Palestina, dan menyatakan perdana menteri Ariel Sharon sebagai “tokoh perdamaian” yang bertentangan dengan pendapat umum internasional.
Contoh lain dalam masalah dukungan AS pada Israel untuk pengembangan kekuatan nuklir. Amerika Serikat tidak pernah mentoleransi negara manapun untuk mengembangkan dirinya menjadi kekuatan nuklir. Sikap politik ini tidak berlaku terhadap Israel. Amerika seolah menutup mata dengan apa yang dilakukan Israel soal pengembangan senjata nuklir walau negeri penjajah Palestina ini selalu mengelak fakta ini.
Membela Palestina Dengan Melawan Keduanya
Dengan melihat segala bentuk penguasaan Yahudi atas Amerika, tentu bukanlah hal yang mengagetkan jika Donald Trump membuat pernyataan kotroversial soal Al-Aqsa. Apa yang telah kami paparkan di atas hanyalah sebagian kecil dari bentuk penguasaan mereka pada negara “adidaya” Amerika yang telah dimulai sejak lama.
Maka, jika kita bersuara lantang menolak Israel yang digambarkan seperti Haman, maka jangan terlupa dengan sang Fir’aun yang berada di belakangnya. Inilah taktik yang selama ini dikelola dan diperagakan Al-Qaidah (AQ). AQ berperang melawan Barat dengan menganut filosofi dasar “menggetok“ atau menyerang kepala ular. Sedangkan kepala ular yang dimaksud adalah Amerika.
Oleh sebab itu, jika kita ingin membela Palestina, tidak salah jika kita menyuarakan untuk menolak segala apa yang datang dari Israel. Tapi jangan lupa Israel itu disokong penuh oleh Amerika. Maka, lebih ampuh jika kita ingin melumpuhkan seekor ular dengan menggetok kepalanya daripada hanya memotong ekornya. [kn]