Bacakan Eksepsi, Pengacara: Perkara Jonru harus batal demi hukum
[tajukindonesia.id] - Sidang perkara aktivis dakwah, Jon Riah Ukur Ginting alias Jonru Ginting mengagendakan pembacaan nota keberatan atau eksepsi. Dalam sidang tersebut, pengacara Jonru menilai pasal yang didakwakan Jaksa tidak tepat.
“Bahwa dengan diajukannya terdakwa Jonru Ginting di persidangan saat ini telah mengabaikan hak-hak konstitusi warga negara yang dilindungi dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang berbunyi ‘Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat’,” ujar salah satu pengacara Jonru, Dedi Suhardadi, di persidangan, Senin (15/1).
Dedi juga mengatakan, Negara Republik Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat) bukan negara kekuasaan belaka (machtsstaat). Artinya, persidangan perkara pidana tidak boleh melanggar hak asasi seseorang yakni dalam diri terdakwa sebagai warga negara Indonesia yang merdeka, termasuk kebebasan berpendapat di media sosial sebagai wujud perubahan zaman dan tekhnologi.
“Kami percaya, bahwa majelis hakim sangatlah arif dan bijaksana dalam menyikapi perkara ini, sehingga pada akhirnya dapat memberi keputusan yang berkeadilan,” tegas Dedi.
Lanjut Dedi, bahwa terdakwa Jonru tidak patut dihukum sebagai pelaku tindak pidana karena menjalankan hak-hak asasi manusianya sebagai warga negara Indonesia yang merdeka.
Terkait isi dakwaan JPU, Dedi menyebut bahwa suatu dakwaan harus jelas dan terinci serta memuat semua unsur tindak pidana yang didakwakan. Dan jika ketentuan tersebut tidak dipenuhi, mengakibatkan batalnya surat dakwaan.
“Surat dakwaan batal demi hukum karena dalam uraian Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum baik dakwaan Kesatu atau Kedua atau Ketiga terdapat penerapan hukum (juncto) Pasal 64 ayat (1) KUHP. Pasal tersebut berarti perbuatan berlanjut tidak saja diperlukan adanya perbuatan-perbuatan yang sama jenis yang telah dilakukan, disamping itu perbuatan-perbuatan tersebut harus mewujudkan keputusan perbuatan terlarang yang sama,” papar Dedi.
Selain itu, Dedi pun menjelaskan satu keputusan kehendak merupakan pengertian yuridis yang dikonstruksikan bahwa pelaku melakukan beberapa tindak pidana tersebut berasal dari satu niat.
Artinya, perbuatan pidana yang dituduhkan kepada Jonru tertuju pada satu objek tindak pidana. Tapi, hal itu tak ada dalam perkara Jonru.
“Perbuatan yang dituduhkan dalam diri terdakwa berbeda-beda dan tidak mempunyai hubungan satu sama lainnya. Sehingga penerapan hukum Pasal 64 ayat (1) di semua dakwaan dalam uraian Surat Dakwaan; baik Dakwaan Kesatu atau Dakwaan Kedua atau Dakwaan Ketiga adalah keliru dan atau tidak tepat,” ungkapnya.
Di akhir pengacara Jonru menegaskan penerapan pasal 64 ayat (1) KUHP dalam dakwaan kliennya tidak pada tempatnya.
“Dengan demikian, majelis hakim yang terhormat agar perkara ini dinyatakan batal demi hukum,” pungkas Dedi. [pic]
Lanjut Dedi, bahwa terdakwa Jonru tidak patut dihukum sebagai pelaku tindak pidana karena menjalankan hak-hak asasi manusianya sebagai warga negara Indonesia yang merdeka.
Terkait isi dakwaan JPU, Dedi menyebut bahwa suatu dakwaan harus jelas dan terinci serta memuat semua unsur tindak pidana yang didakwakan. Dan jika ketentuan tersebut tidak dipenuhi, mengakibatkan batalnya surat dakwaan.
“Surat dakwaan batal demi hukum karena dalam uraian Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum baik dakwaan Kesatu atau Kedua atau Ketiga terdapat penerapan hukum (juncto) Pasal 64 ayat (1) KUHP. Pasal tersebut berarti perbuatan berlanjut tidak saja diperlukan adanya perbuatan-perbuatan yang sama jenis yang telah dilakukan, disamping itu perbuatan-perbuatan tersebut harus mewujudkan keputusan perbuatan terlarang yang sama,” papar Dedi.
Selain itu, Dedi pun menjelaskan satu keputusan kehendak merupakan pengertian yuridis yang dikonstruksikan bahwa pelaku melakukan beberapa tindak pidana tersebut berasal dari satu niat.
Artinya, perbuatan pidana yang dituduhkan kepada Jonru tertuju pada satu objek tindak pidana. Tapi, hal itu tak ada dalam perkara Jonru.
“Perbuatan yang dituduhkan dalam diri terdakwa berbeda-beda dan tidak mempunyai hubungan satu sama lainnya. Sehingga penerapan hukum Pasal 64 ayat (1) di semua dakwaan dalam uraian Surat Dakwaan; baik Dakwaan Kesatu atau Dakwaan Kedua atau Dakwaan Ketiga adalah keliru dan atau tidak tepat,” ungkapnya.
Di akhir pengacara Jonru menegaskan penerapan pasal 64 ayat (1) KUHP dalam dakwaan kliennya tidak pada tempatnya.
“Dengan demikian, majelis hakim yang terhormat agar perkara ini dinyatakan batal demi hukum,” pungkas Dedi. [pic]