Membaca Gerakan Amanat Sejahtera dan Aktivitas di Media Sosial
[tajukindonesia.id] - Fenomena koalisi Gerindra, PAN dan PKS dalam Pilkada di DKI Jakarta dan Jawa Barat menyusul daerah lainnya, bagi saya merupakan koalisi ideologis religius nasionalis rasa baru zaman now. Hal ini menegaskan bahwa memang sejak lama genetika politik Indonesia tidak jauh-jauh dari darah nasionalis (biasanya plus sosialis) dan religius (biasanya tradisionalis).
Hal yang menarik dari koalisi ideologis religius nasionalis rasa baru zaman now ini adalah, bagaimana proses terbentuknya koalisi tersebut.
Koalisi ini sesungguhnya terbentuk 'dari bawah' karena berbagai tekanan kekuasaan yang dirasakan mayoritas umat Islam, seperti persekusi ulama dll (dari perspektif religius) dan kebijakan kekuasaan yang dinilai nir-nasionalism, seperti penjualan aset negara, dll (dari perspektif nasionalis). Koalisi ini tidak muncul dari kehendak elite politik, seperti koalisi politik sebelumnya.
Jika koalisi-- sebut saja koalisi Gerakan Amanat Sejahtera --tersebut merupakan bentuk politik, maka aksi 212 merupakan koalisi dalam bentuk sosial. Aksi fenomenal ini seperti rahim sosial yang melahirkan 3 anak kembar politik bernama Gerindra, PKS dan PAN. Masing-masing anak memiliki darah, karakter dan pesona yang berbeda.
Melalui proses tersebut, religiusitas dan nasionalisme benar-benar menjelma sebagai kekuatan politik yang kuat dan kokoh.
Intuisi politik saya menakar kekuatan ini bisa mengambil 30-40 persen suara politik di setiap daerah dan nasional. Memang belum dominan, tetapi sangat signifikan untuk dipertimbangkan.
Karena itu, hal ini merupakan modal politik yang sangat prospektif untuk digunakan pada Pilpres 2019. Jika koalisi ini berlanjut hingga Pilpres, kemenangannya hanya akan ditentukan oleh dua hal saja:
- Siapa pasangan yang dicalonkan untuk mendulang suara dari pemilih mengambang.
- Dukungan dari partai politik yang moderat seperti Partai Demokrat (PD) atau parati lain dari jenis golongan partai oportunis.
Dalam konteks ini, PD dan partai oportunis menjadi cukup menentukan tetapi tidak mengukuhkan gagasan politik bermartabat. Sebab, ke depan warna politik agaknya dikuatkan oleh identitas dan keberpihakan pada nilai politik yang diyakini. Sedangkan politik oportunis jelas hanya berpihak pada kepentingan kekuasaan.
Dinamika Media Sosial
Kekuatan politik koalisi Gerakan Amanat Sejahtera ini di media sosial juga menarik untuk dicerna. Sebab, di luar kekuatan politik koalisi tersebut, rupanya netizen di media sosial menjelma menjadi 2 lingkaran besar yang merepresentasikan kekuatan pengkritik kekuasaan (yang biasanya mewakili narasi kepentingan koalisi nasionlis religius) dan kekuatan penikmat kekuasaan (yang biasanya mewakili narasi kepentingan koalisi kekuasaan).
Penampakkan lingkaran besar tersebut selalu muncul pada dua wacana besar, yaitu:
Pertama, wacana yang memojokkan Islam seperti kasus deportasi UAS dari Hongkong atau kasus roti coklat Chocolicious.
Kedua, wacana yang terkait bagaimana praktek kekuasaan diselenggarakan atau bagaimana pencitraan elite dimainkan seperti kasus sendal jepit, dll.
Menariknya di media sosial, kendati secara politik koalisi Gerindra, PAN dan PKS pada beberapa hal berbeda dengan PD dan partai jenis oportunis, namun pada dua wacana tersebut, netizen keduanya bisa bersatu.
Hal ini menunjukkan politik netizen di media sosial tidak selalu segaris sama lurus dengan kebijakan partai yang mereka dukung. Hal ini menunjukkan pula bahwa ada 2 simptum dalam tubuh netizen yang bila disentuh, secara otomatis akan membangkitkan gairah beraktivitas dan bersolidaritas di media sosial.
Dalam konteks ini, kasus yang menimpa ZA, wartawan tabloid olah raga yang menuding UAS sebagai ustadaz teroris yang beringas dapat dikemukakan sebagai contohnya.
Bagi saya, fenomena dinamika di media sosial ini sebenarnya cukup mengambarkan aktivitas politik virtual. Aktivitas tersebut jelas menegaskan kuat dan solidnya satu kelompok virtual tanpa bentuk dalam mengendalikan wacana.
Kondisi ini mirip tahun 2012 menjelang Pilkada DKI atau tahun 2014 menjelang Pilpres yang menunjukkan dengan jelas kuat dan solidnya satu kelompok virtual. Bedanya, tahun 2012 dan 2014 kelompok virtual tersebut jelas dan terbuka mendeklarasikan diri sebagai volunteer (relawan), kelompok virtual yang kuat saat ini tidak jelas dan terbuka. Mereka hanya dikenal sebagai Cyber Army. Pasukan siber yang hanya bergerak jika 2 simptum tadi disentuh.[rep]
Dalam konteks ini, PD dan partai oportunis menjadi cukup menentukan tetapi tidak mengukuhkan gagasan politik bermartabat. Sebab, ke depan warna politik agaknya dikuatkan oleh identitas dan keberpihakan pada nilai politik yang diyakini. Sedangkan politik oportunis jelas hanya berpihak pada kepentingan kekuasaan.
Dinamika Media Sosial
Kekuatan politik koalisi Gerakan Amanat Sejahtera ini di media sosial juga menarik untuk dicerna. Sebab, di luar kekuatan politik koalisi tersebut, rupanya netizen di media sosial menjelma menjadi 2 lingkaran besar yang merepresentasikan kekuatan pengkritik kekuasaan (yang biasanya mewakili narasi kepentingan koalisi nasionlis religius) dan kekuatan penikmat kekuasaan (yang biasanya mewakili narasi kepentingan koalisi kekuasaan).
Penampakkan lingkaran besar tersebut selalu muncul pada dua wacana besar, yaitu:
Pertama, wacana yang memojokkan Islam seperti kasus deportasi UAS dari Hongkong atau kasus roti coklat Chocolicious.
Kedua, wacana yang terkait bagaimana praktek kekuasaan diselenggarakan atau bagaimana pencitraan elite dimainkan seperti kasus sendal jepit, dll.
Menariknya di media sosial, kendati secara politik koalisi Gerindra, PAN dan PKS pada beberapa hal berbeda dengan PD dan partai jenis oportunis, namun pada dua wacana tersebut, netizen keduanya bisa bersatu.
Hal ini menunjukkan politik netizen di media sosial tidak selalu segaris sama lurus dengan kebijakan partai yang mereka dukung. Hal ini menunjukkan pula bahwa ada 2 simptum dalam tubuh netizen yang bila disentuh, secara otomatis akan membangkitkan gairah beraktivitas dan bersolidaritas di media sosial.
Dalam konteks ini, kasus yang menimpa ZA, wartawan tabloid olah raga yang menuding UAS sebagai ustadaz teroris yang beringas dapat dikemukakan sebagai contohnya.
Bagi saya, fenomena dinamika di media sosial ini sebenarnya cukup mengambarkan aktivitas politik virtual. Aktivitas tersebut jelas menegaskan kuat dan solidnya satu kelompok virtual tanpa bentuk dalam mengendalikan wacana.
Kondisi ini mirip tahun 2012 menjelang Pilkada DKI atau tahun 2014 menjelang Pilpres yang menunjukkan dengan jelas kuat dan solidnya satu kelompok virtual. Bedanya, tahun 2012 dan 2014 kelompok virtual tersebut jelas dan terbuka mendeklarasikan diri sebagai volunteer (relawan), kelompok virtual yang kuat saat ini tidak jelas dan terbuka. Mereka hanya dikenal sebagai Cyber Army. Pasukan siber yang hanya bergerak jika 2 simptum tadi disentuh.[rep]