Kaleidoskop 2017: RUU Terorisme yang Tak Kunjung Rampung
[tajukindonesia.id] - Awal tahun 2017, warga Tanah Air dikejutkan dengan serangan siang bolong di pos polisi Jalan Thamrin pada Kamis 14 Januari 2017. Video penyerangan aparat yang bertebaran di media itu lantas menunjukkan pada kita betapa ‘heroiknya’ aparat keamanan dengan aksi koboinya menghabisi nyawa para terduga teroris.
Dalam serangan Thamrin itu, jumlah korban yang tewas mencapai 8 orang. Delapan orang tersebut yaitu empat korban dari warga adalah Rico Hermawan (20), Sugito (43), Amer Ovali Taher (46), dan Rais Karna (37). Kemudian, empat orang yang tewas, baik ditembak aparat maupun karena ledakan bom, di antaranya ialah Dian Joni Kurniadi (25), M. Ali (40), Afif/Sunakim, dan Ahmad Muhazan bin Saron.
Selang sehari setelah peristiwa itu, Kepala BNPT Saud Usman Nasution kompak bersama dengan Kepala BIN dan mengusulkan revisi Undang-undang Terorisme. Mereka mengklaim akan memasukkan Sistem Pembinaan, Pencegahan dan Rehabilitasi dalam revisi UU Terorisme jika dikabulkan DPR. Namun entah mengapa tak pernah ada kejelasan terkait pembahasan RUU tersebut, meski Pansus RUU Terorisme telah dibentuk sejak Mei 2016.
Lalu, meletuslah peristiwa teror bom terjadi di Terminal Kampung Melayu Jakarta Timur pada Rabu malam, 23 Mei 2017. Dua hari sebelum kejadian ini, tepatnya pada tanggal 22 Mei 2017 terjadi pula teror bom di Manchester, Inggris. Dalam serangan bom yang bertepatan dengan penjagaan aparat saat pawai malam takbir, sebanyak lima orang. Sebanyak 15 orang menjadi korban dalam serangan bom panci itu. Dari jumlah tersebut, lima diantaranya tewas, termasuk dua pelaku bom.
Usai kejadian itu, kali ini Presiden Jokowi secara pribadi dengan cekatan langsung membuat pernyataan di media. “Revisi undang-undang terorisme harus segera dirampungkan,” kata dia. Sememangnya, revisi UU Terorisme telah masuk program legislasi nasional (Prolegnas) Prioritas 2017. Itu artinya, pada tahun 2017 ini UU terorisme yang telah diperbaharui harus segera terbit. Namun, lagi-lagi, hingga tahun 2017 berakhir, RUU terorisme tak rampung jua. Apa pasal?
Sejak tahun 2015, Pemerintah dan DPR bersepakat untuk merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Namun, hingga kini hasil RUU itu tak kunjung diresmikan. Menurut anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil, hingga saat ini masih ada hal yang harus dibahas oleh tim Panitia Khusus (Pansus). Sehingga hal itu menunda ketuntasan RUU Terorisme tersebut. Dalam Pansus Ruu terorisme, kata dia, ada banyak pembahasan. Misalnya perlindungan hak asasi manusia, keterlibatan TNI, penanganan terhadap korban terorisme, pencegahan dan penindakan.
Sementara, Ketua Pansus RUU Terorisme, Muhammad Syafi’i menegaskan pihaknya sudah menyiapkan rancangan versi DPR. Menurutnya, justru pemerintah yang belum siap. “Pemerintah yang belum siap. Nggak tau apa masalah pemerintah,” sambungnya. Sebenarnya, kata dia, DPR mau pemerintah satu suara dulu, baru kemudian bertemu dengan pansus. Namun, ia menekankan bahwa pemerintah belum satu suara.
“Perdebatan ini terjadi di internal mereka (pemerintah.red). Di internal pansus DPR nggak ada masalah,” tegasnya. Soal pelibatan TNI, lanjutnya, di DPR sudah selesai. Ia juga menyinggung satu pokok masalah yang utama yaitu soal definisi terorisme, perkara ini di internal pansus menurutnya sudah selesai. Sementara itu, pemerintah masih belum selesai.
Lantas, apa saja yang akan terjadi jika UU Terorisme direvisi dan diperkuat? Di antaranya adalah pemberatan sanksi pidana, perluasan pidana, pidana tambahan, dan penambahan kewenangan pada pemerintah. Edannya lagi, pada regulasi yang baru ini ada satu pasal yang disebut banyak orang sebagai pasal Guantanamo. Pasal itu mengatur, kalau penegak hukum, polisi, penyidik, dan penuntut menduga seseorang terlibat dalam terorisme, maka orang itu bisa ditempatkan di suatu tempat tertentu dalam waktu 6 bulan.
Banyak kalangan mengecam sejumlah pasal dalam revisi UU terorisme ini. Di antaranya adalah Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon. Menurutnya, UU tersebut jangan sampai digunakan sebagai alat politik, serta alat kekuasaan untuk menangkap seseorang. Ia mengatakan, UU tersebut harus diawasi, sebab rawan mengadopsi Undang-undang Keamanan Dalam Negeri atau Internal Security Act (ISA).
Jika pemerintah mau jujur berkaca, kebijakan penanganan terorisme di Indonesia memiliki jejak yang paling kelam dan berlumuran darah warga sipil. Sejak Detasemen Khusus Anti Terorisme/Densus 88 didirikan, lembaga Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat sejumlah pelanggaran hukum dan HAM yang kerap dilakukan oleh kesatuan ini.
Bentuk pelanggaran yang dilakukan secara umum berupa: [1] penggunaan kekuatan berlebih (Excessive Use of Force) yang mengakibatkan terbunuhnya para tertuduh, kemudian pelanggaran hak atas rasa aman serta ketenangan dari masyarakat, [2] penembakan salah sasaran, [3] penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, [4] penangkapan dan penahanan paksa, serta salah tangkap.
Hingga awal tahun 2016, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menyatakan ada 1.025 orang yang ditangkap terkait kasus terorisme. Sebanyak 215 orang masih berada di dalam tahanan yang tersebar di 13 propinsi, 598 di antaranya sudah bebas. 94 di antaranya menjadi korban salah tangkap/kurang cukup bukti dan 3 orang dieksekusi mati melalui pengadilan. Sayangnya, BNPT kurang jujur dan tak berani menjelaskan berapa banyak korban pengadilan jalanan Densus 88.
Berdasarkan pemantauan dan investigasi Kiblat.net, sekurang-kurangnya ada 111 orang tertuduh teroris yang menjadi korban extrajudicial killing. Selain itu, ada 1 korban orang hilang yang dilaporkan diculik Densus 88 dan hingga 12 tahun lamanya belum kembali ke keluarga. Semua pelanggaran ini terjadi bahkan sebelum adanya campur tangan militer dan intelejen negara sebagaimana keinginan pemerintah dalam revisi UU Terorisme yang baru.
Pada akhirnya, melihat lambannya kinerja pemerintah merampungkan RUU Terorisme yang berada di atas prinsip keadilan dan kemanusiaan, kita bisa membaca: sejatinya, pemerintah khususnya aparat keamanan memang tidak menghendaki adanya regulasi yang baik. Yang mereka mau hanyalah narasi tunggal tentang teroris dan terorisme dan proyek pengamanan yang lebih deras mengucurkan pundi-pundi dolar.[kbt]
“Perdebatan ini terjadi di internal mereka (pemerintah.red). Di internal pansus DPR nggak ada masalah,” tegasnya. Soal pelibatan TNI, lanjutnya, di DPR sudah selesai. Ia juga menyinggung satu pokok masalah yang utama yaitu soal definisi terorisme, perkara ini di internal pansus menurutnya sudah selesai. Sementara itu, pemerintah masih belum selesai.
Lantas, apa saja yang akan terjadi jika UU Terorisme direvisi dan diperkuat? Di antaranya adalah pemberatan sanksi pidana, perluasan pidana, pidana tambahan, dan penambahan kewenangan pada pemerintah. Edannya lagi, pada regulasi yang baru ini ada satu pasal yang disebut banyak orang sebagai pasal Guantanamo. Pasal itu mengatur, kalau penegak hukum, polisi, penyidik, dan penuntut menduga seseorang terlibat dalam terorisme, maka orang itu bisa ditempatkan di suatu tempat tertentu dalam waktu 6 bulan.
Banyak kalangan mengecam sejumlah pasal dalam revisi UU terorisme ini. Di antaranya adalah Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon. Menurutnya, UU tersebut jangan sampai digunakan sebagai alat politik, serta alat kekuasaan untuk menangkap seseorang. Ia mengatakan, UU tersebut harus diawasi, sebab rawan mengadopsi Undang-undang Keamanan Dalam Negeri atau Internal Security Act (ISA).
Jika pemerintah mau jujur berkaca, kebijakan penanganan terorisme di Indonesia memiliki jejak yang paling kelam dan berlumuran darah warga sipil. Sejak Detasemen Khusus Anti Terorisme/Densus 88 didirikan, lembaga Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat sejumlah pelanggaran hukum dan HAM yang kerap dilakukan oleh kesatuan ini.
Bentuk pelanggaran yang dilakukan secara umum berupa: [1] penggunaan kekuatan berlebih (Excessive Use of Force) yang mengakibatkan terbunuhnya para tertuduh, kemudian pelanggaran hak atas rasa aman serta ketenangan dari masyarakat, [2] penembakan salah sasaran, [3] penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, [4] penangkapan dan penahanan paksa, serta salah tangkap.
Hingga awal tahun 2016, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme menyatakan ada 1.025 orang yang ditangkap terkait kasus terorisme. Sebanyak 215 orang masih berada di dalam tahanan yang tersebar di 13 propinsi, 598 di antaranya sudah bebas. 94 di antaranya menjadi korban salah tangkap/kurang cukup bukti dan 3 orang dieksekusi mati melalui pengadilan. Sayangnya, BNPT kurang jujur dan tak berani menjelaskan berapa banyak korban pengadilan jalanan Densus 88.
Berdasarkan pemantauan dan investigasi Kiblat.net, sekurang-kurangnya ada 111 orang tertuduh teroris yang menjadi korban extrajudicial killing. Selain itu, ada 1 korban orang hilang yang dilaporkan diculik Densus 88 dan hingga 12 tahun lamanya belum kembali ke keluarga. Semua pelanggaran ini terjadi bahkan sebelum adanya campur tangan militer dan intelejen negara sebagaimana keinginan pemerintah dalam revisi UU Terorisme yang baru.
Pada akhirnya, melihat lambannya kinerja pemerintah merampungkan RUU Terorisme yang berada di atas prinsip keadilan dan kemanusiaan, kita bisa membaca: sejatinya, pemerintah khususnya aparat keamanan memang tidak menghendaki adanya regulasi yang baik. Yang mereka mau hanyalah narasi tunggal tentang teroris dan terorisme dan proyek pengamanan yang lebih deras mengucurkan pundi-pundi dolar.[kbt]