Toleransi, antara Islam dan Kaum Liberal


[tajuk-indonesia.com]       -       Toleransi, kata yang sering digunakan untuk menyudutkan umat Islam. Sebut saja kasus Ahmadiyah. Umat Islam yang menolak keberadaan Ahmadiyah dianggap intoleran. Padahal dalam kajian Islam Ahmadiyah adalah aliran sesat karena mengakui ada Nabi setelah Nabi Muhammad.

Belum lagi, manufer-manufer aktivis Islam pasca 212, mulai dari pemboikotan terhadap produk-produk yang mendukung penista agama hingga ajakan untuk belanja ke warung tetangga sendiri kerap diframing oleh media mainstream sebagai tindakan intoleran.

Namun, di saat Ananda Sukarlan melakukan aksi Walk Out pada pidato Anies Baswedan, seolah mereka yag selama ini berteriak toleransi seakan bungkam. Begitu pula di saat banyak upaya penggagalan terhadap pengajian, para pegiat toleransi seolah diam seribu bahasa.

Liberal, Toleransi Tanpa Batas.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (versi online) kata toleransi bermakna, dua kelompok yang berbeda kebudayaan itu saling berhubungan dengan penuh. Titik tekan toleransi di sini adalah pada terciptanya hubungan antara pihak-pihak yang berbeda.

Namun, pada perkembangannya sepertinya kata toleransi mengalami pergeseran makna. Kata ini dipakai oleh kaum permisivisme (Liberal) untuk mengajak umat Islam toleransi terhadap kemaksiatan, toleransi terhadap perbuatan yang melanggar batas-batas agama, toleransi terhadap bentuk kezaliman, toleransi terhadap tindakan menyia-nyiakan syariat Allah. Di dalam Islam sudah ditentukan kaidah dan batasan dalam bertoleransi.

Syaikh Abdul Azis Ath-Tharifi –hafizahulah- berkata, “Kebebasan manusia terbatas oleh batasan-batasan Allah. Allah berfirman, “Dan itulah batasan-batasan Allah. Barangsiapa melampaui batasan Allah sungguh telah menzalimi dirinya sendiri.” (QS : Ath-Thalaq : 1)”
Ath-Tharifi

Kicauan Syaikh Abdul Azis Ath-Tharifi tentang kebebasan manusia

Atas nama toleransi, mereka mencoba untuk membuat kabur batasan-batasan Allah sedikit demi sedikit. Bahkan, tak jarang mereka menggunakan dalil-dalil syar’i untuk memperkuat argumentasi mereka. Jargon-jargon toleransi sering mereka gembar-gemborkan untuk memberikan stigma negatif kepada mereka yang berusaha mempraktekkan agama dengan benar.

Jika dilihat dari sejarah, munculnya gerakan permisivisme di Eropa, bermula dari kondisi politik Eropa saat itu. Pada tahun 1223, di era pemerintahan raja Lois IX, Paus Gregorius IX mengeluarkan sebuah titah untuk membuat lembaga inkuisisi. Sebuah lembaga yang menjamin ajaran Kristen dari penyelewengan.

Walaupun Paus berusaha menyatukan akidah umat kristiani, namun pada kenyataannya muncul banyak sekte-sekte gereja. Kemunculan sekte-sekte ini memicu adanya fanatisme yang berlebihan antara satu gereja dengan gereja lainnya. Fanatisme ini mengakibatkan banyak dampak negatif, dan yang paling buruk adalah pembantaian ribuan pengikut Protestan yang dikenal dengan kejadian Santo Bartholomew.

Krisis yang berkepanjangan ini memunculkan dua aliran pemikiran di Eropa. Yang pertama mereka yang memiliki gagasan untuk mempersatukan umat Kristiani, pada doktrin-doktrin agama umum, namun pada permasalahan yang sifatnya detail, dipersilahkan untuk berbeda. Adapun kelompok kedua berpandangan bahwa, masing-masing sekte gereja permisive terhadap sekte yang lainnya. Pemikiran ini mulai menguat di akhir abad ke 17.

Adalah Jhon Locke di antara yang memiliki gagasan bahwa toleransi tidak akan terwujud kecuali dengan menjauhkan nilai-nilai agama dari kehidupan bernegara. Di dalam bukunya Letters Concerning Toleration yang diterbitkan pada tahun 1689. Locke mengutarakan bahwa toleransi mengharuskan pemisahan gereja dari kehidupan bernegara. (Naqdut Tasamuh Al-Librali 15 -19)

Melihat dari sejarah dan spirit toleransi Barat, maka bukan hal yang aneh jika agen-agen Barat melalui media-media sekuler menuduh praktek-praktek agama sebagai sebuah tindakan intoleran.

Islam dan Toleransi

Jika ada pihak yang mencoba menuduh Islam intoleran, sepertinya mereka orang-orang yang tidak senang dengan Islam dari awal dan menggunakan istilah-istilah seperti toleransi untuk membunuh karakter Islam itu sendiri.

Permasalahannya bukan pada masalah Islam intoleran dan tidak, akan tetapi di dalam Islam toleransi itu diatur dengan batasan-batasan yang telah Allah gariskan. Mari kita merenungkan sejarah Fathu Makkah. Pembebasan kota Makkah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Berapa darah yang tertumpah dari Fathu Makkah? Bahkan dari 9 daftar DPO yang dikeluarkan oleh Rasulullah SAW sebagian di antaranya dimaafkan oleh Rasul. Sebut saja Ikrimah bin Abi Jahl, Hubar bin Aswad yang pernah menghadang dan membuat Zainab binti Rasulillah SAW keguguran ketika hijrah, dan masih ada lagi beberapa nama yang dimaafkan oleh Rasul, meskipun masuk ke dalam daftar DPO.

Potret toleransi Rasulullah SAW tergambar dari pengampunan umum yang beliau lakukan terhadap penduduk Makkah. Di dalam Ar-Rahiqul Makhtum diceritakan bahwa Rasulullah SAW berkhutbah di hadapan Quraisy, kemudian berkata :

“Wahai kaum Quraisy, menurut kalian apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?”

Kaum Quraisy berkata, “Sesuatu yang baik, (Karena engkau) adalah saudara yang mulia dan anak dari saudara yang mulia.”

Rasulullah SAW berkata, “Saya sampaikan kepada kalian seperti yang dikatakan oleh Yusuf kepada saudara-saudaranya, “Tidak ada cercaan terhadap kalian”, pergilah kalian semua, kalian semua bebas.” (Sirah Nabawiyah 324)
Di sini Rasulullah SAW mencontohkan salah satu bentuk toleransi dalam Islam, padahal warga Makkah lah yang dulu membuat beliau terusir dari Makkah, mereka yang memusuhi dakwah Nabi, berbagai siksaan mereka timpakan kepada kaum muslimin. Bahkan setelah kaum muslimin hijrah ke Madinah permusuhan belum berhenti hingga terjadi berbagai peperangan antara kaum muslimin Madinah dengan kafi Quraisy. Setelah semua itu Rasululah SAW berkata kepada mereka, “Kalian semua aku bebaskan.”

Itulah toleransi yang diajarkan oleh Rasulullah, namun toleransi di dalam Islam dibatasi oleh batasan syar’i. Batasan toleransi dijelaskan oleh sebab turunnya surat Al-Kafirun. Yaitu ketika Kafir QUraisy meminta Nabi Muhammad untuk menyembah berhala mereka selama setahun dan sebagai gantinya mereka akan menyembah Allah selama setahun. Tawaran tersebut dibalas dengan turunnya surat Al-Kafirun sebagai tanda sebuah ketegasan dala berprinsip. (Tafsir Ibnu Katsir 8/479)

Sebab turunnya surat Al-Kafirun di atas, merupakan sebuah petunjuk jelas bagi kita umat Islam untuk tidak bertoleransi, jika itu berkaitan dengan perkara akidah yang menjadi pokok agama. Contohnya saja, sering kali umat Islam yang tidak mau mengucapkan atau memakai atribut Natal saat perayaan Natal dianggap sebagai tindakan intoleran. Padahal Rasulullah SAW mengajarkan kepada umat Islam untuk tidak ikut dalam ritual ibadah atau perayaan umat lain.

Toleransi kepada orang kafir di dalam Islam memiliki batas dan aturan. Aturan itu tergambar dalam hadits :

إن الله تعالى فرض فرائض فلا تضيعوها، وحد حدودًا فلا تعتدوها، وحرم أشياء فلا تنتهكوها، وسكت عن أشياء – رحمةً لكم غير نسيانٍ – فلا تبحثوا عنها

Artinya, “Sesungguhnya Allah telah menetapkan beberapa kewajiban, maka jangan kalian sia-siakan, Allah telah menggariskan batasan-batasan maka jangan kalian langgar, Allah mengharamkan beberapa perkara maka jangan kalian terjang, dan Allah mendiamkan beberapa perkara sebagai rahmat atas kalian maka jangan kalian cari-cari tentangnya.” (HR Daruquthni)

Musuh Islam Membajak Istilah Toleransi

Musuh-musuh kebenaran akan senantiasa berusaha menggilincirkan para pemeluk kebenaran, bagaimanapun caranya. Di antara cara mereka menggelincirkan manusia, adalah dengan cara mengaburkan makna dan hakikat sesuatu. Allah SWT berfirman :

لَقَدِ ابْتَغَوُا الْفِتْنَةَ مِن قَبْلُ وَقَلَّبُوا لَكَ الْأُمُورَ حَتَّىٰ جَاءَ الْحَقُّ وَظَهَرَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَارِهُونَ

Artinya, “Sungguh sebeum itu mereka memang sudah berusaha membuat kekacauan dan memutarbalikkan persoalan, hingga datanglah kebenaran dan menanglah urusan Allah dan mereka tidak menyukainya.” (At-Taubah : 48)

Ayat di atas berbicara tentang munafiq yang senantiasa mencoba menjauhkan kaum muslimin dari agamanya. Di antara cara mereka yang disebutkan dalam ayat ini adalah memutarbalikkan persoalan.

Iblis –la’natullah alaihi– ketika menggoda nabi Adam, dia tidak mengatakan kepada Adam untuk mengikuti kebatilannya. Namun Iblis mengaburkan esensi dari pohon yang terlarang, sehingga tashowwur Nabi Adam akan pohon tersebut berubah, kemudian nabi Adam melanggar larangan Allah dengan memakan buah dari pohon tersebut.

Fir’aun, sebagai gembong kebatilan masa itu, ketika dia melihat kebenaran yang di bawa Musa berpotensi menggoyang kekuasaannya, melakukan kampanye negative terhadap Musa dan mencoba mengubah persepsi masyarakat terhadap kebatilan Fir’aun.

Allah SWT berfirman :

قَالَ فِرْعَوْنُ مَا أُرِيكُمْ إِلَّا مَا أَرَىٰ وَمَا أَهْدِيكُمْ إِلَّا سَبِيلَ الرَّشَادِ

Artinya, “Fir’aun berkata, ‘Aku hanya mengemukakan kepada kalian apa yang aku pandang baik. Dan aku hanya menunjukkan kepada kalian jalan yang benar.” (QS Ghofir : 29)

Lihatlah bagaimana Fir’aun mencoba menghiasi kebatilan yang ada pada dirinya. Dia mencoba mengaburkan fakta tentang kebatilannya, dengan menggunakan bahasa yang memberikan kesan baik.

Setelah mengkalim diri sebagai pembawa petunjuk, Fir’aun melemparkan vonis kepada Nabi Musa. Allah SWT berfirman :

إِنِّي أَخَافُ أَن يُبَدِّلَ دِينَكُمْ أَوْ أَن يُظْهِرَ فِي الْأَرْضِ الْفَسَادَ

Artinya, “Sesungguhnya saya (Fir’aun) khawatir jika dia (Musa) mengganti agama kalian dan berbuat kerusakan di muka bumi.” (QS Ghofir : 26)

Fir’aun mencoba mempengaruhi opini Mesir saat itu dengan memberikan klaim-klaim dusta terhadap Musa. Di sini kita saksikan bahwa hal yang pertama kali dilakukan oleh musuh Nabi adalah mempengaruhi persepsi massa, memutarbalikkan fakta untuk menutupi kebatilannya membuat massa jauh dari dakwah Nabi.

Jurus yang sama ternyata juga dilakukan oleh musuh Nabi Muhammad dengan memberikan vonis dusta kepada dakwah Nabi Muhammad. Nabi disebut tukang sihir, penyair dan yang semakna. Pemutarbalikkan fakta yang mereka lakukan guna menjauhkan massa dari ajaran Nabi.

Cara yang sama juga dilakukan oleh musuh-musuh Islam, baik kafir maupun munafiq. Kita bisa melihat bagaimana musuh Islam melalui kekuatan media mereka, berusaha mempopulerkan istilah toleransi. Dan standar toleransi yang mereka pakai adalah standar toleransi ala kaum permisivisme.

Di saat umat Islam tidak ikut mengucapkan selamat Natal, media-media dan agen mereka akan senantiasa memframing itu sebagai tindakan intoleran. Contoh lain adalah apa yang masih hangat di negeri ini, yaitu kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok. Mereka selalu menggiring bahwa aksi menuntut Ahok sebagai tindakan intoleran. Muslim yang mengikutinya pun dilabeli dengan muslim garis keras dan label-label lainnya yang bertujuan membuat umat Islam merasa tidak nyaman dengan hal itu.

Kita tentu masih ingat beberapa tahun yang lalu elemen-elemen umat Islam sepakat melakukan aksi penolakan atas rencana kedatangan Lady Gaga sebagai salah satu bentuk penolakan terhadap kemunkaran. Namun sekali lagi, mereka melabeli aksi penolakan tersebut sebagai tindakan intoleran.

Hasil akhir yang mereka inginkan adalah umat Islam menjadi permisif atas setiap kemunkaran, karena takut dicap intoleran. Nah di sini kita harus memahami makar seperti ini, karena sebenarnya pola yang dilakukan oleh musuh Islam sama, namun kemasannya saja yang berbeda. Wallahu a’lam Bissowab
Toleransi, antara Islam dan Kaum Liberal [pic]








Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :