Konspirasi Belanda, Inggris dan Australia
[tajuk-indonesia.com] - Setelah Jepang menyerah kepada sekutu pada 15 Agustus 1945, Belanda yang masih merasa menjadi tuan di wilayah bekas jajahannya, bersiap-siap untuk kembali ke Nederlands Indië sebagai penguasa. Sebenarnya Belanda telah kehilangan haknya atas wilayah India Belanda, karena pada 9 Maret 1942, di Kalijati, dekat Subang, setelah digempur selama satu minggu oleh tentara Jepang, Pemerintah India Belanda yang diwakili oleh Panglima Tertinggi tentara Belanda, Letnan Jenderal Hein ter Poorten, telah menandatangani dokumen menyerah tanpa syarat kepada balatentara Dai Nippon, di bawah pimpinan Letnan Jenderal Hitochi Imamura, Panglima Tentara 16.
Di atas sepotong kertas, Belanda “menyerahkan” seluruh wilayah India Belanda kepada Jepang.
Pada 15 Agustus 1945 di Australia, Letnan Gubernur Jenderal Dr. Hubertus Johannes van Mook, bersama orang-orang Belanda yang ada di Australia mengadakan rapat dan bersiap-siap untuk segera berangkat ke Indonesia.
Untuk mempercepat penguasaan Sekutu atas Jepang, pada bulan Juli 1945 di Potsdam, Jerman, dicapai kesepakatan antara Amerika Serikat dan Inggris, bahwa Letnan Jenderal Douglas MacArthur, panglima South West Pacific Area Command (Komando Wilayah Pasifik Baratdaya) harus secepatnya mengerahkan pasukannya menuju Jepang dan menyerahkan komando atas wilayah India Belanda kepada South East Asia Command (Komando Asia Tenggara) di bawah Vice Admiral Lord Louis Mountbatten.
Tanggal 15 Agustus 1945, wewenang atas Jawa, Bali, Lombok, Kalimantan dan Sulawesi diserahkan oleh MacArthur kepada Mountbatten. Banyak yang berpendapat, bahwa nasib Indonesia akan berbeda apabila yang masuk ke Indonesia adalah tentara Amerika, dan bukan tentara Inggris.
Secara resmi, tugas pokok yang diberikan oleh pimpinan Allied Forces kepada Mountbatten adalah:
Melucuti tentara Jepang serta mengatur pulangkan kembali ke negaranya (The disarmament and removal of the Japanese Imperial Forces), membebaskan para tawanan serta interniran Sekutu yang ditahan oleh Jepang di Asia Tenggara (RAPWI - Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees), termasuk di Indonesia, serta menciptakan keamanan dan ketertiban (Establishment of law and order).
Jumlah tentara Jepang yang harus dilucuti dan ditahan di Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, Kalimantan, Papua Barat dll. mencapai lebih dari 300.000 orang. Setelah dilucuti, mereka juga akan dipulangkan kembali ke Jepang. Selain itu masih terdapat sekitar 100.000 tawanan dan interniran Sekutu yang harus dibebaskan dari tahanan Jepang dan juga akan dipulangkan ke negara masing-masing.
Pada 17 Agustus 1945, para pemimpin bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan bangsa Indonesia. Pada 18 Agustus 1945, Ir. Sukarno dipilih sebagai Presiden dan Dr. M. Hatta sebagai Wakil Presiden. Mereka kemudian membentuk kabinet yang menjadi pemerintah Republik Indonesia. Juga ditunjuk para gubernur yang mengepalai beberapa provinsi di republik yang muda tersebut.
Berita mengenai proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, tentu sangat mengejutkan pemerintah Belanda.
Pada waktu itu Belanda belum memiliki satuan bersenjata yang kuat dan terorganisir. Yang ada hanya bekas tawanan Jepang yang kondisi fisiknya tidak mampu untuk bertempur.
Pemerintah Belanda melakukan serangkaian pertemuan dan lobi dengan Pemerintah Inggris. Pada 24 Agustus 1945, di Chequers dekat London, Belanda dan Inggris menandatangani Civil Affairs Agreement (CAA) yang isinya dituangkan dalam Nota tanggal 24 Agustus 1945.
Butir yang terpenting untuk Belanda dalam perjanjian ini adalah kesediaan Inggris membantu belanda dengan kekuatan militer, dan wilayah Indonesia yang telah “dibersihkan” dari kekuatan bersenjata pendukung Republik Indonesia, diserahkan kepada Netherlands Indies Civil Administration (NICA).
Konferensi Yalta pada bulan Februari 1945, ternyata bukan hanya membagi Eropa menjadi dua blok: Barat dan Timur, melainkan juga menghasilkan suatu keputusan yang sangat fatal untuk negara-negara bekas jajahan Negara-negara Eropa.
Dalam suatu pembicaraan rahasia antara Roosevelt dan Churchill, disepakati untuk mengembalikan situasi di Asia kepada status quo, yaitu seperti sebelum invasi Jepang Desember 1941. Kesepakatan rahasia keduanya ini kemudian dipertegas dan diformalkan dalam deklarasi Potsdam pada 26 Juli 1945.
Untuk pelaksanaan tugas tersebut, Mountbatten membentuk Allied Forces in the Netherlands East Indies (AFNEI) –Tentara Sekutu di India Belanda. Jabatan Komandan AFNEI, semula dijabat oleh Rear Admiral Wilfred Patterson, kemudian digantikan oleh Letnan Jenderal Philip Christison, Panglima Tentara 15 Inggris. Namun Christison sendiri baru tiba di Jakarta tanggal 30 September 1945.
Mountbatten memperkirakan akan diperlukan 6 Divisi untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas tersebut, namun Inggris hanya dapat menyiapkan 3 Divisi, itupun dengan keterlambatan, sehingga ketika mereka tiba di bekas India Belanda, boleh dikatakan seluruh tentara Jepang telah dilucuti oleh pihak Republik Indonesia, yang kemudian menguasai persenjataan tentara Jepang, seperti yang terjadi di Surabaya.
Tentara Sekutu - tiga British Indian Divisions - di bawah Letnan Jenderal Phillip Christison, Panglima AFNEI, mendapat bantuan dua Divisi tentara Australia di bawah Letnan Jenderal Lesley “Ming the Merciless” Morshead.
Pasukan yang ditugaskan dari British-Indian Divisions, adalah Divisi 5 di bawah Mayor Jenderal Robert C. Mansergh untuk Jawa Timur, Divisi 23 di bawah Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk Jawa Barat dan Jawa Tengah, sedangkan Divisi 26 di bawah Mayor Jenderal H.M. Chambers untuk Sumatera.
Kedua Divisi Australia tersebut ditugaskan untuk menduduki kota-kota penting di Kalimantan, Sulawesi dan di Indonesia Timur lainnya.
Namun ternyata ada hidden agenda (agenda rahasia) yang dilakukan oleh tentara Inggris dan Australia, dengan mengatasnamakan Sekutu, yaitu membantu Belanda memperoleh kembali jajahannya, sesuai dengan perjanjian antara Inggris dan Belanda, Civil Affairs Aggreement, yang ditandatangani di Chequers dekat London pada 24 Agustus 1945.
Pasukan Australia datang bersama kesatuan-kesatuan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) di sebagian besar kota-kota di Indonesia Timur.
Pada waktu itu di Indonesia Timur belum banyak dibentuk pasukan bersenjata yang terorganisasi dengan baik. Oleh karena itu, tentara Australia relatif tidak banyak menghadapi kesulitan untuk melaksanakan rencana semula guna mempersiapkan pengambilalihan pemerintahan oleh Belanda.
Setelah “membersihkan” wilayah Indonesia Timur dari kekuatan bersenjatan pendukung Republik Indonesia, pada 15 Juli 1946 Australia secara resmi “menyerahkan” seluruh wilayah Indonesia Timur kepada Belanda. Belanda tidak membuang waktu, dan tanggal 16 – 22 Juli Belanda menggelar “Konferensi Malino”, dekat Makassar, yang menjadi cikal bakal pembentukan Negara Indonesia Timur.
Dengan demikian Australia sangat berjasa dalam membantu Belanda menduduki seluruh wilayah Indonesia Timur.[ts]
Pemerintah Belanda melakukan serangkaian pertemuan dan lobi dengan Pemerintah Inggris. Pada 24 Agustus 1945, di Chequers dekat London, Belanda dan Inggris menandatangani Civil Affairs Agreement (CAA) yang isinya dituangkan dalam Nota tanggal 24 Agustus 1945.
Butir yang terpenting untuk Belanda dalam perjanjian ini adalah kesediaan Inggris membantu belanda dengan kekuatan militer, dan wilayah Indonesia yang telah “dibersihkan” dari kekuatan bersenjata pendukung Republik Indonesia, diserahkan kepada Netherlands Indies Civil Administration (NICA).
Konferensi Yalta pada bulan Februari 1945, ternyata bukan hanya membagi Eropa menjadi dua blok: Barat dan Timur, melainkan juga menghasilkan suatu keputusan yang sangat fatal untuk negara-negara bekas jajahan Negara-negara Eropa.
Dalam suatu pembicaraan rahasia antara Roosevelt dan Churchill, disepakati untuk mengembalikan situasi di Asia kepada status quo, yaitu seperti sebelum invasi Jepang Desember 1941. Kesepakatan rahasia keduanya ini kemudian dipertegas dan diformalkan dalam deklarasi Potsdam pada 26 Juli 1945.
Untuk pelaksanaan tugas tersebut, Mountbatten membentuk Allied Forces in the Netherlands East Indies (AFNEI) –Tentara Sekutu di India Belanda. Jabatan Komandan AFNEI, semula dijabat oleh Rear Admiral Wilfred Patterson, kemudian digantikan oleh Letnan Jenderal Philip Christison, Panglima Tentara 15 Inggris. Namun Christison sendiri baru tiba di Jakarta tanggal 30 September 1945.
Mountbatten memperkirakan akan diperlukan 6 Divisi untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas tersebut, namun Inggris hanya dapat menyiapkan 3 Divisi, itupun dengan keterlambatan, sehingga ketika mereka tiba di bekas India Belanda, boleh dikatakan seluruh tentara Jepang telah dilucuti oleh pihak Republik Indonesia, yang kemudian menguasai persenjataan tentara Jepang, seperti yang terjadi di Surabaya.
Tentara Sekutu - tiga British Indian Divisions - di bawah Letnan Jenderal Phillip Christison, Panglima AFNEI, mendapat bantuan dua Divisi tentara Australia di bawah Letnan Jenderal Lesley “Ming the Merciless” Morshead.
Pasukan yang ditugaskan dari British-Indian Divisions, adalah Divisi 5 di bawah Mayor Jenderal Robert C. Mansergh untuk Jawa Timur, Divisi 23 di bawah Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawthorn untuk Jawa Barat dan Jawa Tengah, sedangkan Divisi 26 di bawah Mayor Jenderal H.M. Chambers untuk Sumatera.
Kedua Divisi Australia tersebut ditugaskan untuk menduduki kota-kota penting di Kalimantan, Sulawesi dan di Indonesia Timur lainnya.
Namun ternyata ada hidden agenda (agenda rahasia) yang dilakukan oleh tentara Inggris dan Australia, dengan mengatasnamakan Sekutu, yaitu membantu Belanda memperoleh kembali jajahannya, sesuai dengan perjanjian antara Inggris dan Belanda, Civil Affairs Aggreement, yang ditandatangani di Chequers dekat London pada 24 Agustus 1945.
Pasukan Australia datang bersama kesatuan-kesatuan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) di sebagian besar kota-kota di Indonesia Timur.
Pada waktu itu di Indonesia Timur belum banyak dibentuk pasukan bersenjata yang terorganisasi dengan baik. Oleh karena itu, tentara Australia relatif tidak banyak menghadapi kesulitan untuk melaksanakan rencana semula guna mempersiapkan pengambilalihan pemerintahan oleh Belanda.
Setelah “membersihkan” wilayah Indonesia Timur dari kekuatan bersenjatan pendukung Republik Indonesia, pada 15 Juli 1946 Australia secara resmi “menyerahkan” seluruh wilayah Indonesia Timur kepada Belanda. Belanda tidak membuang waktu, dan tanggal 16 – 22 Juli Belanda menggelar “Konferensi Malino”, dekat Makassar, yang menjadi cikal bakal pembentukan Negara Indonesia Timur.
Dengan demikian Australia sangat berjasa dalam membantu Belanda menduduki seluruh wilayah Indonesia Timur.[ts]