Memahami Strategi Tito Karnavian Hadapi Kelompok Insurgensi dan Islam Radikal


[tajuk-indonesia.com]         -          Muhammad Tito Karnavian, Mantan Kadensus 88 yang kini telah menjabat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) dianugerahi gelar professor. Ia juga dikukuhkan sebagai Guru Besar untuk studi strategis kajian kontra terorisme oleh Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).

Acara pengukuhan dilakukan dalam sidang Senat Terbuka yang dipimpin oleh Gubernur PTIK yang juga selaku Ketua PTIK Inspektur Jenderal Remigius Sigid Tri Harjanto. Sementara, pernyataan pengukuhan dilakukan oleh Irjen Iza Fadri, selaku perwakilan guru besar pada senat akademik, di Auditorium PTIK, Jakarta Selaran, Kamis (26/10).

Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Rikwanto, pengukuhan Tito juga diharapkan semakin membuat kepolisian menjadi ilmu terbuka yang mampu memberikan solusi bagi kepentingan keilmuan maupun kepentingan praktis dalam kaitan dengan tugas-tugas kepolisian.

“Profesor Tito Karnavian dikukuhkan sebagai guru besar untuk studi strategis kajian kontra terorisme, diharapkan pemikiran-pemikiran beliau nanti dapat diaplikasikan bagi kepentingan bangsa Negara Indonesia, khususnya dalam menghadapi ancaman terorisme,” kata Rikwanto di PTIK, di Auditorium PTIK, Jakarta Selatan, Kamis (26/10) sebagaimana dilansir dari CNN Indonesia.

Pada pengukuhan gelar professor itu, Tito Karnavian membawakan pidato dari tulisannya yang dimuat dalam jurnal “Counter Terrorist Trends and Analysis” yang diterbitkan oleh Rajaratnam School of International Studies, NTU, Singapura. Mantan Kepala BNPT itu memang pernah mengambil gelar doktoral (Phd) di sana. Makalahnya yang berjudul “Peran Polri dalam Melawan Kelompok Insurgensi di Indonesia” itu patut dipahami untuk dapat menganalisis bagaimana cara pandang Polri ke depan dalam upaya pemberantasan terorisme di Indonesia.

Pertama, Tito memandang bahwa kelompok insurgensi (perlawanan) yang ada di Indonesia terdiri dari dua macam. Yaitu, radikal Islamis dan ethno-separatis. Menurutnya, kelompok radikal Islamis ini punya tujuan politik untuk merebut kekuasaan dan mengganti Negara Indonesia yang sekuler dan tidak Islami menuju Negara Islam yang berlandaskan syariat. Jaringan Islam radikal ini menggunakan sumberdaya politik dengan membangun organisasi resmi di atas tanah, dan menyisakan tindakan kekerasan dengan taktik teror secara bawah tanah untuk mencapai tujuan mereka.

Dari definisi tersebut, ia mengkategorikan sejumlah kelompok seperti NII, Jamaah Islamiyah, Jamaah Ansharut Tauhid, Tauhid wal Jihad dan sejumlah kelompok kecil dengan sel kecil di Jambi, Riau, Babel, Kalbar, Kalsel, Kalteng, Maluku utara, NTT dan Papua. Ia juga menyinggung adanya dokumen yang diduga milik kelompok Jamaah Islamiyah bernama PUPJI, yang menegaskan strategi untuk menuju ke arah Negara Islam secara bertahap dan dengan pendekatan militeristik.

Sementara itu, kelompok perlawanan separatis di Indonesia masih tersisa di wilayah Papua. Mereka merupakan kelompok yang mencoba memisahkan Papua dari NKRI dan menghendaki adanya negara independen. Gerakan separatis di Papua sendiri terpecah belah. Berbeda dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Fretilin di Timor Leste yang berwujud dalam satu jaringan dan satu struktur komando.

Ada dua jenis gerakan di Papua. Pertama, mereka yang menggunakan pendekatan nonmiliteristik untuk mencapai tujuan politiknya, seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di Jayapura. Pemimpinnya adalah Benny Wenda, yang terus berupaya memobilisasi dukungan internasional. Juga kelompok West Papua National Authority (WPNA) yang berbasis di Manokwari. Kedua, adalah kelompok separatis yang gemar melakukan kekerasan. Contohnya adalah Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM). Jaringan ini memiliki keanggotaan yang berbasis etnisitas dan menggunakan taktik teror yang menyasar warga sipil, khususnya pendatang non-Papua.
Kedua, menurut Tito, untuk menghadapi keduanya diperlukan strategi yang berbeda. Untuk menangani kelompok Islamis radikal, para penegak hukum Indonesia harus bertindak sesuai koridor hukum dan meyakinkan publik untuk mendukung sikap pemerintah. Ia juga meminta agar masyarakat menyadari bahwa teroris merupakan pelanggar hukum dan bukanlah pejuang pembebasan.

Di banyak negara, karena terorisme dipandang sebagai kejahatan nonkonvensional, taktik teroris kerap dinetralisasi dengan pendekatan crime control model. Yaitu sebuah pendekatan yang memprioritaskan regulasi penegakan hukum dan keamanan nasional di atas segalanya. Meskipun, model pendekatan ini banyak dikritik karena berpotensi kuat melanggar hak asasi manusia dan mengurangi kebebasan sipil. Namun, di makalah tersebut, Tito menyadari perlunya keseimbangan antara perlindungan kebebasan sipil dan keamanan nasional.


Di bagian lain, untuk menghadapi kelompok separatis di Papua, pemerintah percaya bahwa akar masalahnya terletak pada kesenjangan ekonomi ketimbang faktor ideologi. Ia mengutip pendapat Marc Sageman yang menyimpulkan tiga motif utama terorisme, yaitu: ideologi, emosi/sentimen perasaan, dan kebutuhan materi. Sementara, pemerintah lebih percaya bahwa ideologi (salafi Jihadism) merupakan faktor utama bagi kelompok Islam radikal. Sehingga, pemerintah menyelesaikan masalah kelompok separatis Papua dengan cara meningkatkan pembangunan ekomomi untuk meningkatkan standar hidup masyarakat di sana, salah satunya melalui UU Otonomi Khusus.

Ketiga, setelah menggunakan pendekatan lunak dan keras secara simultan, diharapkan kelompok Islam radikal dan separatisme dapat dikelola dengan baik, jika tidak dapat dilenyapkan seluruhnya. Aparat keamanan mesti berfokus pada upaya untuk menggalang dukungan publik, meraih legitimasi politik dan melakukan kontra-propaganda hingga kontra-insurgensi. Pendekatan lunaknya bisa dengan program deradikalisasi dan peningkatan kemampuan ekonomi, sementara pendekatan kerasnya dengan cara penegakan hukum.

Keempat, meskipun pemerintah telah memiliki Densus 88 yang disebut telah mendulang kesuksesan dalam pemberantasan kelompok terorisme, namun acaman terorisme belum sepenuhnya telah dinetralisir. Kebijakan reaktif seperti penggagalan serangan dan penahanan tersangka bukanlah solusi yang holistik. Seyogyanya, upaya pencegahan, rehabilitasi dan kebijakan penegakan hukum jangka panjang harus menjadi perhatian utama.

Ia mengutip pernyataan Audrey Kurth Cronin dalam bukunya yang berjudul “How Terrorism Ends” bahwa ada enam cara terorisme dan kelompok insurgensi dapat dipatahkan, yaitu; tekanan yang kuat dari pemerintah, negosiasi politik, perubahan taktik dari perlawanan menggunakan kekerasan menjadi cara-cara damai, menghilangkan kepemimpinan, menghilangkan dukungan publik, atau telah tercapainya tujuan teroris dan kelompok perlawanan.

Standar ganda terorisme

Secara garis besar, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, pemerintah mengkategorikan serangan bersenjata yang dilakukan oleh orang Papua dan kaum Islamis dengan julukan yang berbeda meskipun taktiknya sama. Namun, OPM lebih kerap disebut sebagai gerakan separatis atau kelompok kriminal bersenjata. Padahal sasarannya sama-sama aparat dan sipil.

Mengenai hal ini, pengamat pertahanan Connie Rahakundini Bakrie berpendapat bahwa publik kerap dipaksa untuk melihat kasus Timtim, GAM, dan OPM selalu sebagai gerakan separatisme, bukan terorisme. “Maka untuk urusan itu, Swedia, Jenewa, Washington, dan lain-lain langsung turun tangan bersuara keras,” katanya.

Dunia Barat, lanjut Connie, bersikeras mendukung dan melindungi gerakan paramiliter itu karena dianggap bukan terorisme, melainkan separatisme. “Bagaimana bukan disebut terorisme kalau misalnya OPM sudah punya 8 Kodam dan tentaranya berseragam dan bersenjata lengkap, mengibarkan benderanya sendiri, melakukan kekerasan bersenjata, dan ingin keluar dari wilayah kedaulatan kita?”

Perjuangan bersenjata IRA di Irlandia Utara saja, imbuh Connie, dianggap terorisme. Padahal secara etnik, agama, masalah minoritas terhadap mayoritas, ekonomi, IRA lebih kompleks daripada masalah Aceh dan Papua.

Kedua, dukungan publik menjadi fokus utama kepolisian dalam menangkal gerakan perlawanan. Hal ini merupakan kekhawatiran aparat keamanan di era sosial media, ketika semua orang posisinya bisa setara. Kredibilitas kepolisian dan kurangnya kepercayaan masyarakat pada institusi tersebut bisa menimbulkan pengaruh terhadap kinerja mereka dalam memberantas insurgensi baik dari kelompok separatis maupun kelompok Islam radikal. Di sisi lain, ketika gerakan perlawanan mendapat dukungan publik, hal itu akan semakin menyulitkan tugas aparat kepolisian.[kbt]









Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :