YLKI: Aturan Biaya Top-up Uang Elektronik Rugikan BI dan Nasabah
[tajuk-indonesia.com] - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menolak pengenaan biaya top up uang elektronik atau e-money. Pengenaan biaya top up itu dinilai tidak adil bagi konsumen sekaligus kontraproduktif dengan upaya BI yang sedang gencar mewujudkan cashless society.
Seperti diketahui BI sedang gencar mewujudkan gerakan masyarakat tanpa uang tunai (cashless society). Yaitu, masyarakat yang dalam transaksi keuangannya tidak lagi menggunakan uang tunai, tetapi sudah dalam bentuk kartu, baik berupa kartu kredit, kartu debit, maupun cash card.
Begitupun, dalam melakukan pembayaran kewajiban kepada pihak lain, semua dilakukan dengan cara elektronik, baik dalam bentuk internet banking, transfer melalui ATM, maupun phone/SMS banking.
Ketua Pengurus Harian Tulus Abadi bahkan dengan tegas meminta BI untuk tidak merestui usulan perbankan tersebut. Apalagi, saat ini BI tengah menggalakkan Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT). Salah satu upaya dalam peningkatan keamanan dan pelayanan transaksi ini adalah dengan menggunakan e-money.
“Namun, menjadi kontra produktif jika Bank Indonesia justru mengeluarkan peraturan bahwa konsumen dikenakan biaya top up pada setiap uang elektroniknya, e-money. Secara filosofis apa yang dilakukan BI justru bertentangan dengan upaya mewujudkan cashless society tersebut,” kata Tulus dalam keterangannya kepada media, Sabtu (16/9).
Menurut Tulus, adanya pengenaan biaya top up ini, perbankan lebih diuntungkan daripada konsumen. Sesuai konsep, maka perbankan akan mendapat setoran uang dari konsumen, padahal belum tentu konsumen sebagai pemilik e-money melakukan transaksi.
“Sungguh tidak fair dan tidak pantas jika konsumen justru diberikan disinsentif berupa biaya top up. Justru dengan model e-money itulah konsumen layak mendapatkan insentif, bukan disinsentif,”jelas dia.
Dia juga menyarankan, seharusnya perbankan tidak menjadikan e-money sebagai basis mendapatkan keuntungan. Selama ini, pengguna e-money adalah masyarakat menegah ke bawah. Jelas hal ini akan membebani.
Seharusnya, ditambahkan Tulus, perbankan lebih mengandalkan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang disalurkan dalam bentuk pinjaman, sebagai sumber mencari keuntungan.
“YLKI mendesak Bank Indonesia untuk membatalkan peraturan tersebut,” tutup Tulus.
Sebelumnya, BI menyatakan akan mengeluarkan aturan mengenai pemungutan biaya isi ulang (top up) untuk uang elektronik atau e-money. BI berharap masyarakat memahami bahwa adanya biaya tersebut demi memaksimalkan sarana dan prasarana.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo memastikan, peraturan anggota dewan gubernur pemungutan biaya isi saldo uang elektronik perbankan dari konsumen akan terbit akhir September 2017.
“Kami akan atur batas maksimumnya, dan besarannya, biayanya tidak akan berlebihan membebani konsumen,” kata Agus seperti dikutip dari Antara, Jumat (15/9). [swa]