Pak AR dan Ular Nabi Musa Makan Lemper
[tajuk-indonesia.com] - Pak AR itu asli lucu. Saya sering terpingkel-pingkel kalau mendengar ceramah atau khotbah Jumat nya . Herannya, makin serius Pak AR bicara, makin lucu. Padahal saya tahu, Pak AR tidak sedang melucu. Itulah uniknya Pak AR. Ketika sedang bicara, ceramah, atau memberi nasehat kepada orang lain, ada saja ceplosan kata-katanya yang spontan dan lucu.
Waktu ceramah terawih di Gelanggang Mahasiswa UGM tahun 1980-an, misalnya, Pak AR ngandiko:
"Wis, saya ini kalau ceramah di depan mahasiswa UGM jadi grogi, serba salah. Soalnya di sini banyak mahasiswa filsafat. Orang-orang filsafat itu 'kan sangat kritis. Apa pun dipertanyakan, apa logikanya, apa hubungannya ini dan itu."
Suatu ketika, kata Pak AR, saya ditanya, kenapa salat Subuh itu dua rakaat. Ini pertanyaan mahasiswa filsafat. Aneh-aneh pertanyaannya, meski tetap kritis. Menghadapi pertanyaan seperti itu, kata Pak AR, saya juga jadi pusing.
Lalu, dari pada pusing, saya jawab saja: “Soalnya yang paling duluan bangun pagi, pas Subuh itu ayam. Lhaa, ayam 'kan kakinya dua. Jadi salat Subuh dua rakaat.”
Suara geerr pun menyeruak di gelanggang mahasiswa. Mahasiswa gondrong di samping saya tertawa ngakak. Mungkin dia mahasiswa filsafat.
Saat jadi khotib di Masjid Syuhada, Pak AR cerita tentang sihir dukun-dukun Fir’aun dan mu'jizat Nabi Musa.
Katanya: “Ketika para penyihir Fir'aun melemparkan tali-tali di genggamannya di hadapan Nabi Musa, muncullah ular. Semua tali jadi ular. Ularnya banyak sekali. Semua orang kaget. Mblegidik. Termasuk Nabi Musa."
Nabi Musa ketakutan. Lalu Malaikat Jibril membisiki Musa, lemparkan tongkatmu. Begitu Musa melemparkan tongkatnya, muncullah ular besar sekali sampai Musa sendiri ketakutan. Ular raksasa Musa ini, cerita Pak AR, kemudian menelan ular-ular penyihir Fir'aun seperti orang lapar makan lemper! Glek-glek-glek…habis. Bahkan masih kurang.
Geerr. Jama'ah masjid yang sedang khusuk mendengar khotbah pun tertawa. Aneh, Pak AR sendiri tidak tertawa. Biasa saja. Malah kelihatan serius. Mungkin jika bukan Pak AR yang ngomong, jamaah khutbah tidak tertawa. Tapi logat dan gaya ngomong Pak AR, memang terasa lucu.
Saya amati, ketika Pak AR mengucapkan “seperti orang lapar makan lemper itulah yang bikin orang tertawa.” Kalimat itu memang kreatif dan mengejutkan sehingga membuat orang terpingkal-pingkal. Tapi, sungguh Pak AR sendiri kelihatan serius, tak tertawa sedikit pun.
Dalam sebuah ceramah di acara mantenan, Pak AR bercerita, ada seorang pemuda datang minta dicarikan jodoh.
"Pak AR, saya tolong dicarikan jodoh. Syaratnya cantik, kaya, pinter, salehah, dan mau dimadu," kata sang pemuda.
"Bagus itu syaratnya. Tapi nanti kalau saya ketemu wanita seperti itu, kamu gak usah repot cari maskawin yo?," kata Pak AR kepada pemuda itu. Anak muda itu kaget.
Kenapa?, tanya sang pemuda yang ingin mendapatkan wanita dengan syarat seabreg itu.
"Yo tek pek dewek. " (Saya ambil sendiri). Geerr!
Pak AR itu rasa humornya alami. Instinktif, muncul tiba-tiba tanpa direncanakan. Ini beda dengan pelawak Stand Up Comedy yang telah mempersiapkan trik-trik humornya.
Sedangkan Pak AR, tak punya niat berhumor. Niatnya ceramah tok. Tapi, dalam spontanitas ceramahnnya, ada saja kata-kata yang terdengar lucu. Spontanitasnya yang muncul secara alamiah itulah, yang kadang membuat orang tertawa.
Pernah saya tanya. Pak AR gimana tuh jamaah Jum'at jadi ger-geran mendengar khotbah Bapak? Bukankah di saat khotbah Jemaah harus khusu? Pak AR diam sejenak.
"Sungguh niat saya khotbah, tanpa bermaksud menyajikan humor sedikit pun. Mudah-mudahan Allah memaafkan kita karena semua itu terjadi tanpa sengaja.”
Saya percaya Pak AR. Dari pada saya ngantuk mendengar khotib yang bicara ke sana ke mari gak jelas, lalu kesal karena khotib mengkafir-kafirkan orang yang tak sepaham – jelas lebih senang mendengar cerita ular makan lemper! Lucu asli.
Dalam sebuah ujian mendapatkan SIM motor, cara Pak AR mengemudikan motor juga membuat polisi mesem. Mula-mula Pak AR menjalankan motornya dengan benar. Lurus ke depan. Ketika jalannya kelak-kelok dan beliau harus melalui jalan seperti itu, Pak AR pun turun. Menuntun motornya.
“Lho Pak, kok motornya dituntun,?” tanya polisi yang menguji SIM.
“Saya ndak bisa kalau jalannya seperti itu. Badan saya besar. Kalau jalannya kelak kelok seperti itu, saya bisa jatuh Pak Polisi,” jawab Pak AR. Dari pada saya jatuh, kata Pak AR, lebih baik motornya saya tuntun. Polisi pun senyum-senyum mendengar jawaban yang jujur dari Pak AR.
Itulah Pak AR. Jujur apa adanya. Spontan. Tak takut mengungkapkan kelemahan dirinya.
Konon, karena kejujurannya, Pak Harto pernah kaget ketika Pak AR minta agar presiden mundur saja. Tak menyalonkan diri lagi, karena sudah tua. Dan herannya, Pak Harto tidak marah.
“Pak, saya ini sudah tua. Memimpin Muhammadiyah sudah lebih dari dua puluh tahun. Saya akan mundur dari pimpinan pusat Muhammadiyah,” kata Pak AR dengan bahasa Jawa krama inggil kepada Presiden dalam sebuah pertemuan pribadi.
“Kalau bisa Pak Harto juga mundur seperti saya. Sudah sepuh, ‘kan capek,” sambung Pak AR.
Konon, Pak Harto diam. Mungkin terkejut. Tapi tak menunjukkan sikap marah. Itu semua terjadi karena Pak AR berbicara dengan hati. Tulus menyatakan ajakan nuraninya kepada Pak Harto demi kemanusiaan. Jadinya, Pak Harto pun tidak marah. Hanya kaget saja. Selanjutnya, hubungan “persahabatan” antara Pak AR dan Pak Harto tetap seperti biasa. Baik-baik saja. Saling menghormati.
Dan itu terbukti ketika Pak AR sakit serius, Pak Harto minta agar dirawat di luar negeri. Pak Harto yang membiayai semuanya. Benar, Pak AR pun kemudian dirawat di Prince of Wales Private Hospital, Sydney, Australia selama lima hari.
Hubungan yang saling menghormati antara dua tokoh nasional itu berjalan sepanjang hidupnya. Ketika Pak AR menghembuskan nafas terakhir di RS Islam Jakarta, tak lama kemudian, Pak Harto datang takziyah. Pak Harto langsung memerintahkan AURI menyediakan pesawat Hercules untuk membawa jenazah Pak AR ke Yogya.
Sayang, Pak Harto saat itu tidak mengikuti ajakan Pak AR, sahabat akrabnya yang tanpa pamrih itu. Kalau saja Pak Harto waktu itu mau mendengar dan mengikuti ajakan Pak AR, sejarah Indonesia niscaya berbeda. Tidak seperti sekarang![ts]