Janji Jokowi dan Obat Bank Dunia Sri Mulyani
[tajuk-indonesia.com] - Janji kampanye Joko-Widodo sewaktu mencalon Jadi Presiden untuk menjaga pertumbuhan ekonomi diangka 7 persen sepertinya tidak akan pernah tercapai selama 5 tahun masa kepemimpinannya. Pasalnya dalan dua tahun menjabat pertumbuhan ekonomi justru terpuruk di kisaran 5 persen.
Ironisnya pada tahun depan, proyeksi ekonomi nasional yang ditargetkan oleh pemerintah melalui RAPBN 2018 hanya sebesar 5,4 persen. Artinya target itu tidak sejalan dengan janji kampanye. Imbas dari target tersebut kepada kinerja yang tidak begitu mendobrak.
Padahal kata ekonom Rizal Ramli, jika pemerintah ingin merealisasikan janji kampanye pertumbuhan ekonomi 7 persen di sisa 2 tahun masa jabatan, diperlukan kebijakan radikal dari tim ekonomi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
Tapi yang disayangkan oleh Rizal, disaat ekonomi melemahkan, daya beli tertekan, Kebijakan Menteri Keuangan, Sri Mulyani malah memperketat pajak kepada rakyat untuk mendongkrak penerimaan negara.
Pada akhirnya usaha rakyat makin terpuruk dan bangkrut, ekonomi nasional semakin riskan terjerembab kepada krisis hebat.
“Padahal di negara lain di Eropa, China dan lainnya kala ekonomi melambat justru perlu dipompa dan dilonggrakan. Misalnya, ekonomi lagi susah jangan kejar pajak dulu. Nanti kalau ekonomi bergeliat juga pajak itu bisa naik dengan sendirinya,” kata Rizal di Jakarta, ditulis Selasa (11/9).
“Tidak boleh menggunakan pakem ekonomi neoliberal. Tidak boleh menggunakan obat dari Bank Dunia,” tegas dia.
Dia menyarankan agar pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi dengan cara Build Operate Transfer (BOT) dan Build Own Operatie (BOO), revaluasi asset, sekuritisasi asset, dan mendorong mesin pertumbuhan lainya di luar APBN, terutama sentra ekonomi di luar Jawa.
“Kemudian juga pompa daya beli. Selama ini semua pangan di Indonesia itu impor, hal itu yang membuat mahal sekali. Harga gula saja 2 x harga internasional. Harga daging juga 2 x harga dunia, makanya semuanya jadi mahal,” pungkas dia.
Laporan: Dadangsah Dapunta [aktual]
Tapi yang disayangkan oleh Rizal, disaat ekonomi melemahkan, daya beli tertekan, Kebijakan Menteri Keuangan, Sri Mulyani malah memperketat pajak kepada rakyat untuk mendongkrak penerimaan negara.
Pada akhirnya usaha rakyat makin terpuruk dan bangkrut, ekonomi nasional semakin riskan terjerembab kepada krisis hebat.
“Padahal di negara lain di Eropa, China dan lainnya kala ekonomi melambat justru perlu dipompa dan dilonggrakan. Misalnya, ekonomi lagi susah jangan kejar pajak dulu. Nanti kalau ekonomi bergeliat juga pajak itu bisa naik dengan sendirinya,” kata Rizal di Jakarta, ditulis Selasa (11/9).
“Tidak boleh menggunakan pakem ekonomi neoliberal. Tidak boleh menggunakan obat dari Bank Dunia,” tegas dia.
Dia menyarankan agar pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi dengan cara Build Operate Transfer (BOT) dan Build Own Operatie (BOO), revaluasi asset, sekuritisasi asset, dan mendorong mesin pertumbuhan lainya di luar APBN, terutama sentra ekonomi di luar Jawa.
“Kemudian juga pompa daya beli. Selama ini semua pangan di Indonesia itu impor, hal itu yang membuat mahal sekali. Harga gula saja 2 x harga internasional. Harga daging juga 2 x harga dunia, makanya semuanya jadi mahal,” pungkas dia.
Laporan: Dadangsah Dapunta [aktual]