Amnesti Internasional: Aung San Suu Kyi ‘Benamkan Kepalanya di Pasir’


[tajuk-indonesia.com]       -       Pidato Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi terbaru yang mengutuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di negara bagian Rakhine namun menolak menyalahkan militer ketika PBB menuntut ‘operasi pembersihan etnis’ di Rakhine segera dihentikan mendapat kecaman luas.

Dalam pidato selama 30 menit di Naypyitaw, Aung San Suu Kyi meyatakan “tidak takut terhadap perhatian internasional”. Peraih Nobel Perdamaian ini juga membantah adanya pembakaran desa-desa di Rakhine, mengatakan bahwa banyak desa Rohingya yang utuh tak tersentuh.

Dia bahkan mengecam jika ada pelanggaran hak asasi manusia di negaranya. Menurut dia, Myanmar akan menyelidiki tuduhan-tuduhan yang selama ini dialamatkan kepada militer, juga mencari tahu penyebab lebih dari 400 ribu Rohingya mengungsi ke Bangladesh

Beberapa jam usai pidatonya, Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, menuntut Myanmar segera menghentikan ‘operasi pembersihan etnis’ dan menyelesaikan konflik etnis Rohingya, Suu Kyi mendesak masyarakat internasional untuk bersabar dan memahami krisis yang menyebabkan 421.000 orang Rohingya menjadi pengungsi.

Pidato Suu Kyi dalam bahasa Inggris dianggap sebagai jawaban atas klaim PBB adanya pembersihan etnis.

Suu Kyi berjanji untuk menyelesaikan krisis namun tidak menyebutkan akan menghentikan operasi militer di Rakhine yang dikonfirmasi oleh PBB sebagai pembantaian pembersihan etnis yang sistematis.

Bahkan dalam pidato, Suu Kyi mengkritik para para kritikus karena dianggap gagal memperjuangkan hak Rohingya.

Kelompok HAM Amnesti Internasional menggambarkan pidatonya sebagai “campuran dari ketidakbenaran dan menyalahkan korban”. Amnesty International mengatakan bahwa Aung San Suu Kyi masih ‘menyembunyikan kepalanya di pasir’ terhadap bukti terdokumentasi yang melibatkan penjahat Myanmar yang memperkosa, membunuh warga sipil dan menghancurkan desa-desa.
“Aung San Suu Kyi hari ini menunjukkan bahwa dia dan pemerintahnya masih mengubur kepala mereka di pasir karena kengerian yang terjadi di Rakhine. Kadang-kadang, pidatonya sedikit dicampur dengan ketidakbenaran dan menyalahkan korban. Ada banyak bukti bahwa pasukan keamanan terlibat dalam kampanye pembersihan etnis. Meskipun Aung San Suu Kyi mengecam pelanggaran hak asasi manusia di negara bagian Rakhine, dia masih diam mengenai peran pasukan keamanan,” jelas Direktur Amnesti Internasional untuk Regional Asia Tenggara dan Pasifik, James Gomez, dilansir dari The Independent, Selasa (19/9/2017).

Lembaga ini juga mengkritik seruan Suu Kyi kepada pengamat-pengamat internasional untuk mengunjungi Myanmar guna menilai sendiri masalah yang terjadi dengan dalih pemerintah negara tersebut melarang misi pencari fakta PBB menyelidiki kekejaman militer di Rakhine.

“Klaim Aung San Suu Kyi bahwa pemerintahnya ‘tidak takut dengan pengawasan internasional’ meragukan … jika memang tidak ada hal yang disembunyikan oleh Myanmar, mereka semestinya mengizinkan penyelidik PBB mengunjungi negara tersebut, termasuk ke Negara bagian Rakhine,” kata Amnesty.

Dalam pidato pembukaan Majelis Umum PBB, Guterres, yang bergabung dengan komunitas internasional di Myanmar, mengatakan: “Pihak berwenang di Myanmar perlu menghentikan operasi militer dan membiarkan bantuan kamanusiaan dicairkan tanpa batasan.

“Mereka (Myanmar) juga perlu mengatasi penderitaan Rohingya sehingga status etnisnya telah tertunda begitu lama.”

Dalam pidatonya, Suu Kyi sempat mengatakan Myanmar bersedia mengirim pengungsi kambali ke negara asal mereka sesuai dengan proses filtrasi yang disepakati dengan Bangladesh pada awal 1990-an.

“Mereka yang dikonfirmasi saat pengungsi Myanmar akan pulang tanpa masalah,” katanya dikutip Reuters.

Dari lebih dari 420.000 pengungsi Rohingya di Bangladesh, tidak pasti berapa banyak orang yang dapat kambali ke Myanmar karena mereka tidak memiliki dokumen yang mengklaim bahwa mereka adalah Myanmaris.

Suu Kyi bersikeras ‘operasi pembersihan’ kelompok gerilyawan oleh militer berakhir pada 5 September 2017, namun alasan ini ditolak Wakil Direktur Human Rights Watch wilayah Asia, Phil Robertson.

Bahkan menurut AFP, wartawannya masih bisa melihat rumah-rumah warga Rohingya terbakar sampai sekarang sementara para pengungsi baru-baru ini menunjukkan bahwa kekerasan militer dan kelompok Buddhis masih terjadi.

“Jika memang benar, lalu siapa yang membakar semua desa yang telah kita lihat dalam dua minggu terakhir ini?” tanya Phil Robertson.[gm]













Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :