“Pak Presiden Berhentilah Bersembunyi di Balik Wajah Lugu”
[tajuk-indonesia.com] - Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mengatakan “Masa muka kayak gini diktator?”, mendapat tanggapan dari Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun.
Menurutnya, pernyataan Jokowi tersebut mau memberi pesan kepada publik bahwa rumor di media sosial (medsos) tentang ‘Jokowi Diktator’ itu tidak benar. Jokowi merepresentasikan sikap tidak ditaktornya melalui wajahnya.
“Itu menunjukan Jokowi sedang mengkonstruksi atau mencitrakan wajahnya bahwa wajah dirinya yang tidak seram itu bukan wajah diktator,” ujar Ubedilah di Jakarta, Jumat (10/8).
Ubedilah menjelaskan bahwa dalam perspektif politik, pernyataan Jokowi tersebut masih bagian dari image permukaan yang kasat mata, Dimana Jokowi lupa bahwa wajah yang kasat mata dalam politik bisa digunakan untuk menipu atau memperdaya publik.
“Misalnya, bisa dilihat contoh faktual dan sangat historis hampir semua ilmuwan politik mengatakan bahwa Soeharto (mantan presiden RI) dan Husni Mubarok (mantan presiden Mesir) adalah pemimpin diktator. Kedua mantan presiden itu memiliki wajah berseri-seri, suka senyum, mirip seperti Jokowi yang juga suka senyum. Tetapi praktik kekuasaannya memimpin dengan cara represif otoriter diktator,” tuturnya.
Ubedilah menambahkan, mengukur diktator tidaknya seseorang jika hanya dari wajah itu pernyataan mirip pelawak atau mirip cara peramal di pinggir jalan. Mengukur diktator tidaknya seorang presiden itu setidaknya bisa diukur melalui dua hal. Pertama, dari sikap politik presiden dan yang Kedua, secara sistemik bisa dilihat dari angka index demokrasi selama kepemimpinannya.
Menurut Ubedilah, perilaku Jokowi yang mudah menyebut seseorang melakukan makar sampai menggunakan Perpu untuk membubarkan organisasi masyarakat, padahal konstitusi UUD 45 telah menjamin hak bersuara, berpendapat, berserikat dan hak berkumpul, bahkan ada dalam UUD 1945, apabila dicermati secara politik memang ada indikasi mengarah pada perilaku diktator, meski belum bisa dikatakan ia seorang diktator, karena sikap politik Jokowi masih nampak malu-malu untuk menjadi diktator.
“Itu diindikasikan pada kalimat pembelaannya ‘masa muka kayak gini diktator?’. Ini pernyataan malu-malu, menutupi langkah yang keliru dengan melucu,” tambahnya.
Ubedilah menilai, perilaku politik Jokowi ini jika tidak diingatkan bisa berbahaya bagi kelangsungan demokrasi. Sebab pernyataannya memungkinkan ditafsirkan bahwa ia bersembunyi di balik wajah lugunya.
“Kaum cendekiawan dan kaum oposisi memiliki hak politik yang dijamin konstitusi untuk mengingatkan Jokowi. Agar dramaturgi politik yang bersembunyi dibalik wajah (panggung depan) politiknya segera diakhiri. Sebab, ia memimpin negara dengan penduduk 230 juta lebih, bukan memimpin sebuah kota. Ingat pak Presiden, rakyat sedang menderita akibat kebijakan ekonomi yang memberatkan, daya beli masyarakat menurun. Hindari pembelaan yang bisa ditafsirkan pengelabuan,” pungkas Ubedilah.[gm]