MK Kabulkan Gugatan Uji Materil UU Pemilu oleh Politikus Gerindra
[tajuk-indonesia.com] - Politikus Partai Gerindra Habiburokhman menyampaikan gugatan uji materil (judicial review) terhadap Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilu baru disahkan DPR pada Jumat (21/7) lalu telah diterima Mahkamah Konstitusi (MK). Sidang perdana uji materil itu akan berlangsung, Kamis 3 Agustus 2017.
Hal itu disampaikan Habiburokhman melalui akun Twitter pribadinya, @habiburokhman, Senin (31/7) kemarin.
“Jrenggggg Sidang Perdana JR UU Pemilu Kamis 3 Agustus 2017 Jam 11.00 WIB,” tulis Habiburokhman.
UU yang dalam pengesahannya itu diwarnai aksi walk out 4 fraksi DPR itu akan digugat uji materiil atas nama perorangan Habiburokhman, meski dirinya merupakan politkus Gerindra, yang menjadi salah satu fraksi yang menolak pengesahan UU Pemilu terkait pasal yang mengatur ambvang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20-25 persen. Habiburokhman mendaftarkan gugatannya ke MK dengan memberikan kuasa hukum kepada rekannya, para advokat dalam Advokat Cinta Tanah Air (ACTA)
“(Gugatan) atas nama saya Habiburokhman sendiri, sebagai warga negara Indonesia,” ucap Habiburokhman, di Gedung MK, Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dia mengajukan uji materi secara pribadi karena merasa UU itu merugikan dirinya sebagai warga negara. Soal gugatan yang dilayangkan lebih cepat, menurutnya untuk menghemat waktu.
“Jadi secara administrasi belum ada lembar negara, tapi secara prinsip konten tidak berubah. Kita agar tak wasting time. Karena di MK ini mau dapat realize sidang pertama saja bisa dua minggu. Jadi nanti ada momen perbaikan permohonan, kami masukan nomor (lembar negara)nya,” paparnya.
Kuasa Hukum Habiburokhman dari ACTA, Hendarsam Marantoko, menjabarkan ada 3 ketentuan dalam UU Pemilu yang digugat ke MK, karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Pertama, Pasal 222 soal UU Pemilu soal presidential threshold, dianggap menabrak logika sistem presidensial sebagaimana diatur dalam 4 UUD 1945, bahwa pemegang kekuasaan tertinggi adalah presiden. Sementara Presidential Threshold (PT) Pemilu 2019 menggunakan PT hasil Pileg 2014. Paripurna DPR RI
“Pertama, aneh sekali dasar pengusulan calon presiden yang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi, justru mengacu pada hasil pemilu lembaga legislatif. Ketentuan ini akan mempermudah presiden tersandera partai-partai politik, hingga akhirnya bisa saja melakukan bagi-bagi jabatan kepada politisi partai pendukung,” jelas Hendarsam.
Kedua, pengaturan Pasal 222 UU Pemilu telah menyalahi tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 6A UUD 1945. Dalam Pasal 6A ayat (1) dikatakan bahwa yang bisa mengusulkan calon presiden dan wakil presiden adalah parpol peserta pemilu.
“Di Pasal 6A itu kan tanpa embel-embel berapa perolehan kursi parlemen atau suara sah nasional pada pemilu sebelumnya. Ketentuan tersebut diperkuat dengan fakta tidak adanya ketentuan bahwa pembuat UU berwenang membuat aturan yang mengatur soal persyaratan lebih jauh partai penguysul calon presiden,” tutur Hendarsam.
Alasan ketiga, ACTA melihat bahwa Pasal 222 telah menimbulkan diskriminasi pada parpol peserta pemilu yang seharusnya semua berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
“Jadi parpol yang baru pertama akan ikut pemilu dan parpol yang perolehan suara pada pemilu sebelumnya tidak sampai 20 persen kehilangan hak untuk dapat mengusulkan calon presiden dan wakil presiden,” jelas Hendarsam.
Atas pertimbangan itu, maka ACTA meminta hakim MK untuk dapat menyatakan Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan harus dinyatakan batal.
“Petitum utama kami adalah memohon agar majelis hakim MK dapat menyatakan Pasal 222 UU Pemilu 2017 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” imbuh dia.[gm]