Jokowi Tak Terima Dibilang Diktator


[tajuk-indonesia.com]          -          Presiden Jokowi rupanya tak terima dituduh sebagai pemimpin diktator. Hanya saja, sanggahan ini dikemas Jokowi dalam bahasa dan cara yang santai. Sambil berseloroh, kemarin Jokowi mengatakan, "masa wajah begini dibilang diktator."

Tuduhan diktator ke arah Jokowi sudah muncul sejak awal Juli lalu. Setidaknya ada dua kebijakan pemerintah yang memicu munculnya tuduhan tersebut. Pertama, soal terbitnya Perppu Ormas yang diikuti langkah pemerintah membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan yang terakhir adalah pemblokiran 11 situs yang terkait dengan Telegram. 

Di dunia maya, topik diktator ini terus bergerilya. Wakil Ketua DPR Fadli Zon sampai-sampai ikutan nimbrung dengan bikin puisi berjudul "Sajak Diktator Kecil". 

Waketum Gerindra ini memang tak menyebut siapa diktator kecil yang dimaksud dalam sajaknya itu. Ia hanya menulis, sajak itu dibikin spontan di Hari Puisi, 26 Juli lalu. 

Meski sudah lama isu ini merayap, namun baru kemarin Presiden Jokowi berkesempatan membantah tuduhan ini. Bantahan disampaikan Jokowi saat membuka Kejuaraan Nasional Tingkat Remaja Perguruan Pencak Silat Nasional (Persinas) ASAD, sekaligus bersilaturahmi dengan alim ulama di Pondok Pesantren Minhaajurrosyidiin, Jakarta Timur. Jokowi tiba di lokasi sekitar pukul 08.10 pagi dengan dandanan ala pendekar silat. Seragam silat warna hijau lengkap dengan sarung selutut, lengkap dengan ikat kepala. Kehadiran Jokowi ini disambut meriah oleh warga dan santri yang sudah berbaris sepanjang jalan dari gerbang hingga tenda tempat acara. 

Dalam sambutannya, Jokowi berpesan berhati-hati menggunakan media sosial. Karena selain punya nilai positif, medsos juga ada sisi negatifnya. Penggunaan medsos yang tidak bertanggung jawab justru menyebabkan kebencian dan fitnah semakin merebak di masyarakat. Lebih detail, Jokowi berpesan kepada hadiri terutama para remaja agar hati-hati membuat status. Jangan sampai status yang diunggah di medsos menyinggung atau menyebabkan orang lain sakit hati. 

"Apalagi niatnya langsung ingin mencela, mencemooh, atau menjelekkan," kata Jokowi. "Ini selalu saya ingatkan, kita ini saudara sebangsa dan se-Tanah Air. Jangan lupakan itu," imbuhnya. 

Nah, bantahan soal tuduhan diktator itu disampaikan di sesi terakhir, atau sesi kuis berhadiah sepeda. Tepatnya, saat Jokowi meminta seorang peserta untuk ke depan untuk menjawab kuis. Seorang peserta maju ke depan. Namun, peserta yang belakangan diketahui bernama Gladis ini tampak ragu dan gugup menuju panggung. Jokowi pun melemparkan candaannya, "Tidak usah takut, Presidennya tidak diktator kok," seloroh Jokowi. 

Tak lama setelah itu, Jokowi langsung mengatakan bahwa belakangan di media sosial banyak pihak yang menudingnya bertindak otoriter atau bahkan dianggap sebagai seorang diktator. "Masa wajah saya seperti ini dibilang diktator," kata Jokowi, yang disambut tawa hadirin. 

Tak butuh waktu lama, komentar Jokowi soal ini langsung disambar para pegiat dunia maya. Di Twitterland topik diktator ini lumayan menghangat. Sejumlah politikus ikut berkomentar soal bantahan tersebut. Fadli Zon di akun miliknya, @fadlizon mengatakan menilai seseorang diktator itu bukan dari wajahnya. "Tapi kebijakan dan tindakannya. Tumpas ormas, tangkap seenaknya, tuduh makar, dll. Apa itu demokratis?" cuitnya. 
Politikus Partai Bulan Bintang (PBB) MS Kaban bercuit serupa. "Otoriter diktator gak berkorelasi dengan wajah. Diktator/otoriter itu kelakuan atau prilaku. Hitler wajahnya lucu. Bung Karno ganteng," kicaunya di akun @ hmskaban. "Yang satu diktator kejam dunia. Satu lagi pelawak besar dunia," cuit Wasekjen Demokrat Rachland Nashidik di akun @ranabaja, sambil mengunggah foto Hitler dan Charlie Chaplin, yang mempunyai potongan kumis serupa. Bahkan akun @wartapolitik dengan pengikut sekitar 23 ribuan, membuat poling. Isinya adalah siapa 4 dari Presiden RI yang tindakan atau kebijakannya mencerminkan karakter seorang diktator. Pilihannya adalah Sukarno, Suharto, SBY, dan Jokowi. Sampai tadi malam sudah ada 943 pengguna yang ikutan poling tersebut. Hasilnya, 89 persen memilih Jokowi. "Diktator itu bukan masalah wajah. Tapi bagaimana pemimpin bisa berkeadilan dalam hukum pada kawan maupun lawan politik. Itu," cuit @HariesRegar. 

Tapi tak semua berpendapat seperti di atas. Banyak juga yang mendukung Jokowi, seperti disampaikan politikus PDIP Budiman Sudjatmiko di akun @ budimandjatmiko. Menurut dia, tuduhan diktator kepada Jokowi salah alamat dan hanya sebagai senjata politik. "Kemarin masih ada yang bilang Pak Jokowi 'boneka'. Satu menit aja dia keraskan ototnya, dicap diktator. Satu menis lemaskan otot, dicap boneka," cuitnya. 

Serupa disampaikan pengamat politik senior Rustam Ibrahim. "Terasa menggelikan jika mereka-mereka yang dua tahun lalu menyebut Presiden Jokowi plonga-plongo, lemah, kini menuduhnya sebagai otoriter, diktator," kicau @RustamIbrahim. "Wajah Pak Jokowi buat orang nyaman. Yang nyebut diktator adalah mereka yang gak beres pekerjaannya," sambar yang lain. Akun @hutapea mengatakan, untuk mengetahui seseorang diktator atau bukan lihat saja kebijakannya konstitusional atau tidak. "Zaman digital gini mana bisa pemimpin jadi diktator. Coba pernah tidak Jokowi melanggar hukum," ujarnya. 

Pengamat politik M Qodari mengatakan Presiden Jokowi bukanlah seorang diktator karena dalam membuat keputusan seperti perbitan Perrpu Ormas dan Undang-undang Pemilu, Presiden meminta persetujuan DPR. Menurut dia, Jokowi adalah orang yang berani dalam mengambil keputusan, contohnya dalam menghapuskan subsidi BBM untuk hal yang lebih produktif. 

Hal berbeda disampaikan pengamat politik dari UIN Pangi Syarwi Chaniago. Direktur Eksekutif Voxpol Center ini mengatakan mau tidak mau terbitnya Perppu Ormas membuat Jokowi mudah diserang dengan tuduhan otoriter. Pasalnya, Perppu tersebut bisa menjadi alat politik untuk meredam, membungkam lawan politik, atau ormas yamg berseberangan dengan sikap pemerintah. Perppu tersebut adalah kemunduran demokrasi dan dapat menjadi pemantik jiwa otoritarian. 

"Bayangkan nanti sangat mudah Presiden membubarkan ormas, sesuka hati, dengan dijadikan sebagai pembersihan kubu lawan politik yang tidak sejalan. Tanpa melalui mekanisme pengadilan, tanpa pembuktian itu maha berbahaya," kata Pangi, kemarin.[rmol]
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :