Failed Cultural Diplomacy
[tajuk-indonesia.com] - PROF Sri Bintang Pamungkas menduga para pembikin patung setinggi 30 meter (busyet) di Tuban nggak sekadar "bermuri-murian". Sejumlah netizen menilai patung segede gaban ini merupakan stempel cultural hegemony.
"Cultural Hegemony" artinya metode geopolitic of indirect imperial dominance, dan menurut Nicki Lisa Cole Ph.D, "through ideological and cultural means".
Nah, kalau sudah begini, bahaya kan kelakuan para pembuat patung itu. Bikin prejudis menjadi liar. Selain bikin gaduh.
Apapun alasan mereka, sudah tidak relevan. Mereka gagal mempraktikan "cultural diplomacy". Sehingga citra Tionghoa semakin terperosok dan mendown-grade nilai-nilai karakter seorang Kwan Kong. Malah ada seorang netizen jadi mengejek Kwan Kong sebagai "si muka kepiting rebus". Inikah target para ketua kelenteng itu?
Mantan praktisi diplomasi budaya Richard T. Arndt menyatakan, "cultural relations grow naturally and organically". Melalui "millions of daily cross-cultural encounters". Targetnya adalah mutual understanding, simpati, harmoni, respek dan sebagainya.
Alih-alih mencapai itu semua, Patung Semi Kolosal busyet menyinggung apa yang disebut Max Sylvius Handman dengan terminologi "Prestige-nationalism". [***]
Penulis merupakan aktivis Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (Komtak).[pm]