Curhatan Johannes, Saksi Kunci E-KTP yang Tewas: Kecewa pada Pimpinan KPK dan Media Massa
[tajuk-indonesia.com] - Saksi kunci kasus dugaan korupsi e-KTP, Johannes Marliem meninggalkan teka-teki.
Johannes diduga meninggal karena bunuh diri di kediamannya di kawasan Beverly Grove, Los Angeles, Amerika Serikat.
Kantor Forensik Los Angeles telah melakukan identifikasi dan memastikan jika jenazah tersebut adalah Johannes Marliem.
Namun mereka tak memberikan informasi lain selain daripada itu.
Perilisan identitas Johannes Marliem tersebut juga dikonfirmasi oleh LAPD.
Kabar tewasnya Johannes ini juga dikonfirmasi oleh Komisi Pemberantasa Korupsi (KPK).
"Saya dapat informasi bahwa benar yang bersangkutan, Johannes Marlien sudah meninggal dunia," ucap Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, di kantor KPK, Kuningan, Jakarta Selatan.
"Info soal meninggal dunia penyebabnya apa kami belum dapat info rinci. Kematian yang bersangkutan itu domain dari aparat penegak hukum disana," tambah Febri.
Curhatan Johannes sebelum meninggal
Sebelum dikabarkan meninggal dunia, Johannes sempat bertukar pesan dengan KONTAN.
Melansir dari Tribunnews.com, saat itu Johannes mengungkapkan kekecewaannya kepada pimpinan KPK dan sebuah media massa karena membuat pemberitaan yang membahayakan nyawanya.
"Saya tidak mau dipublikasi begini sebagai saksi. Malah sekarang bisa-bisa nyawa saya terancam," ujarnya.
"Seharusnya penyidikan saya itu rahasia. Masa saksi dibuka-buka begitu di media. Apa saya enggak jadi bual-bualan pihak yang merasa dirugikan? Makanya saya itu kecewa betul," imbuh Johannes mengomentari bocornya kepemilikan rekaman pembicaraan terkait pembahasan proyek e-KTP.
Berita yang dimaksud oleh Johannes adalah terkait terbongkarnya bukti berupa rekaman pembicaraan.
Padahal ia sebenarnya tak ingin membeberkan rekaman tersebut.
"Saya kira sama saja hukum di AS juga begitu. Kita selalu menjunjung tinggi privacy rights, harus memberitahu dan consent bila melakukan perekaman," tuturnya.
Karena itu, ia sempat berharap supaya (jurnalis) tidak memelintir pemberitaan tentang rekaman tersebut.
Dalam pemberitaan, dijelaskan seolah-olah bahwa ketua DPR RI Setya Novanto ditetapkan sebagai tersangka gara-gara rekaman yang dimiliki Johannes.
"Jadi tolong jangan diplintir lagi. Saya tidak ada kepentingan soal rekaman. Dan ada rekaman SN (Setya Novanto) atau tidak, saya juga tidak tahu. Namanya juga catatan saya," ucap Johannes.
Johannes bantah menyuap Sugiharto
Johannes membantah jika dirinya telah memberikan uang sebesar US$ 200.000 kepada Sugiharto, yang telah divonis bersalah dalam kasus e-KTP ini.
Johannes memberikan bukti dengan melampirkan potongan rekaman pembicaraannya dengan Sugiharto.
Dalam rekaman itu, Johannes hanya mengatakan jika pihaknya akan memberikan teknologi yang terbaik serta bekerja demi kesuksesan program e-KTP.
Harga yang ia berikan kepada konsorsium pun merupakan harga wajar dan tidak digelembungkan.
Ia juga menjamin jika data kependudukan tidak akan bocor.
Walau basis perusahaannya ada di Amerika Serikat namun server dan storage system berada di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta.
Johannes juga mengaku tak bisa melakukan tindakan suap-menyuap karena regulasi perusahaan di Amerika Serikat sangat ketat.
"Saya sudah pahit-pahit ngomong di depan, bahwa kami ini perusahaan Amerika. Tidak bisa cawe-cawe. Kami tidak bisa mengeluarkan uang dari perusahaan untuk kepentingan tidak jelas," tuturnya.
Jika melanggar regulasi, Johannes mengatakan, perusahaanya akan dijerat dengan FCPA (Foreign Corrup Practice Act) dan harus membayar denda besar jika terbukti menyuap.
Penerapan aturan ini serupa dengan pidana korporasi yang mulai digunakan KPK akhir-akhir ini.
Pemerintah lakukan pemborosan dan adanya mafia di sektor-sektor tertentu
Dalam kesempatan itu, Johannes juga menyinggung soal Kartu Indonesia Pintar, Kartu Keluarga Sejahtera, BPJS dan sebaginya.
Menurutnya, kartu tersebut merupakan pemborosan anggaran, karena hanya berupa plastik yang berisi tulisan.
Sedangkan e-KTP berisi data biometrik yang sangat valid.
Dengan e-KTP, pemerintah bisa memastikan jumlah anggota keluarga dan berapa jumlah anak yang harus disubsidi.
"KTP-el saat ini sudah siap, mau dijadikan e-Toll bisa, jadi e-money juga bisa. Tapi, karena di sektor-sektor itu sudah dikuasai mafia jadi pemerintah tidak berani ambil keputusan politis," katanya.[pm]