Perppu Pembubaran Ormas Memutilasi Demokrasi
[tajuk-indonesia.com] - Para aktivis mahasiswa yang tergabung dalam Kelompok Cipayung Plus mengecam ketidakfahaman Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) 2/2017 tentang Pembubaran Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).
Jurubicara Kelompok Cipayung Plus Jakarta, Agung Tamtam Sanjaya Butar-butar menerangkan, selain bertemu dengan pihak Istana untuk mengkritisi rencana penerbitan Perppu ini waktu itu, Kelompok Cipayung Plus Jakarta juga melakukan kajian dan diskusi mendalam mengenai persoalan ini. Diskusi yang digelar di Sekretariat Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Gedung Margasiswa, Jalan Sam Ratulangi Nomor 1, Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (28/07/2017), menelurkan sikap tegas kepada pemerintah bahwa penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 ini adalah salah satu bukti ketidakfahaman pemerintah dalam mengelola hukum di Indonesia.
Lebih lanjut, Tamtam yang juga Ketua Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Jakarta itu mengatakan, ada sejumlah catatan kritis Kelompok Cipayung Plus Jakarta yang sudah disampaikan kepada Kepala Kantor Kepresidenan Teten Masduki ketika bertemu di Kompleks Istana Negara, baru-baru ini. Untuk itu, ada tujuh seruan Kelompok Cipayung Plus Jakarta, sebagai catatan kritis terhadap terbitnya Perppu 2/2017 itu.
"Pertama, Kelompok Cipayung Plus DKI Jakarta tidak puas dengan argumentasi yang disampaikan pemerintah terkait rasionalisasi situasi kegentingan yang memaksa. Kami mendapat kesan bahwa pemerintah, melalui Kepala Staf Kepresidenan, seolah-olah memaksakan sebuah situasi untuk dijadikan alasan penerbitan Perppu tersebut,” tutur Tamtam Butar-butar, di Jakarta (Sabtu, 29/7).
Lebih lanjut, dari penjelasan Teten, situasi genting yang memaksa adalah ketiadaan atau kekosongan hukum. Padahal, dalam putusan MK Nomor 38/Ppu-VII/2009, syarat sebuah Perppu itu diterbitkan ada tiga, yakni, adanya kegentingan yang memaksa; adanya kekosongan hukum; kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan prosedural normal pembuatan Undang-Undang.
"Dalam pengertian ini, kegentingan memaksa dan kekosongan hukum itu merupakan dua syarat yang tidak bisa dicampuradukan begitu saja sebagaimana pernyataan Kepala Staf Kepresidenan,” ujar Tamtam.
Selain tak faham hukum, Kelompok Cipayung Plus Jakarta juga menilai, penerbitan Perppu itu sangat dipaksakan untuk merusak dan memutilasi demokrasi di Indonesia.
"Kedua, Kelompok Cipayung Plus DKI Jakarta menganggap Perppu ini telah memutilasi nilai-nilai demokrasi dan hukum yang berlaku,” ujarnya.
Ketiga, Kelompok Cipayung Plus DKI Jakarta menilai, mekanisme pembubaran ormas yang dilakukan oleh pemerintah merupakan bentuk kesewenang-wenangan terhadap kebebasan warga negara untuk berserikat.
"Pemerintah mengabaikan proses pembubaran sebuah ormas melalui mekanisme hukum di pengadilan,” imbuhnya.
Keempat, Kelompok Cipayung Plus DKI Jakarta menilai, penerbitan Perppu ormas ini tidak melibatkan ruang publik sehingga terkesan tidak mewakili berbagai macam pandangan yang ada di akar rumput.
"Hal ini diakui oleh Kepala Staf Kepresidenan sendiri dalam diskusi bersama kami,” ujar Tamtam.
Kelima, Kelompok Cipayung Plus DKI Jakarta meminta DPR RI untuk menolak Perppu ormas menjadi Undang-Undang, karena tidak legitimate secara hukum dan tidak memenuhi persyaratan lahirnya sebuah Perppu sebagaimana yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Keenam, Kelompok Cipayung Plus DKI Jakarta melihat tidak adanya kemendesakan Perppu ini diterbitkan.
"Faktanya, sejak dikeluarkannya pada tanggal 10 Juli 2017, tidak ada eksekusi apapun terhadap ormas anti Pancasila. Barulah setelah 9 hari diterbitkan kemudian Perppu ini dilaksanakan. Lalu dimana kemendesakannya?” ujar Tamtam.
Ketujuh, Kelompok Cipayung Plus DKI Jakarta akan tetap mengawal pelaksanaan Perppu ini, baik melalui ruang-ruang akademis, maupun melalui aksi jalanan. [rmol]
Lebih lanjut, dari penjelasan Teten, situasi genting yang memaksa adalah ketiadaan atau kekosongan hukum. Padahal, dalam putusan MK Nomor 38/Ppu-VII/2009, syarat sebuah Perppu itu diterbitkan ada tiga, yakni, adanya kegentingan yang memaksa; adanya kekosongan hukum; kekosongan hukum tidak dapat diatasi dengan prosedural normal pembuatan Undang-Undang.
"Dalam pengertian ini, kegentingan memaksa dan kekosongan hukum itu merupakan dua syarat yang tidak bisa dicampuradukan begitu saja sebagaimana pernyataan Kepala Staf Kepresidenan,” ujar Tamtam.
Selain tak faham hukum, Kelompok Cipayung Plus Jakarta juga menilai, penerbitan Perppu itu sangat dipaksakan untuk merusak dan memutilasi demokrasi di Indonesia.
"Kedua, Kelompok Cipayung Plus DKI Jakarta menganggap Perppu ini telah memutilasi nilai-nilai demokrasi dan hukum yang berlaku,” ujarnya.
Ketiga, Kelompok Cipayung Plus DKI Jakarta menilai, mekanisme pembubaran ormas yang dilakukan oleh pemerintah merupakan bentuk kesewenang-wenangan terhadap kebebasan warga negara untuk berserikat.
"Pemerintah mengabaikan proses pembubaran sebuah ormas melalui mekanisme hukum di pengadilan,” imbuhnya.
Keempat, Kelompok Cipayung Plus DKI Jakarta menilai, penerbitan Perppu ormas ini tidak melibatkan ruang publik sehingga terkesan tidak mewakili berbagai macam pandangan yang ada di akar rumput.
"Hal ini diakui oleh Kepala Staf Kepresidenan sendiri dalam diskusi bersama kami,” ujar Tamtam.
Kelima, Kelompok Cipayung Plus DKI Jakarta meminta DPR RI untuk menolak Perppu ormas menjadi Undang-Undang, karena tidak legitimate secara hukum dan tidak memenuhi persyaratan lahirnya sebuah Perppu sebagaimana yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Keenam, Kelompok Cipayung Plus DKI Jakarta melihat tidak adanya kemendesakan Perppu ini diterbitkan.
"Faktanya, sejak dikeluarkannya pada tanggal 10 Juli 2017, tidak ada eksekusi apapun terhadap ormas anti Pancasila. Barulah setelah 9 hari diterbitkan kemudian Perppu ini dilaksanakan. Lalu dimana kemendesakannya?” ujar Tamtam.
Ketujuh, Kelompok Cipayung Plus DKI Jakarta akan tetap mengawal pelaksanaan Perppu ini, baik melalui ruang-ruang akademis, maupun melalui aksi jalanan. [rmol]