Orang Luar Jawa Tidak Bisa Jadi Presiden, Apalagi Hary Tanoe
[tajuk-indonesia.com] - SAYA tidak sedang mendikatomikan Jawa dan Luar Jawa, tapi karena saya menganut nilai-nilai demokrasi yang objektif. Demokrasi itu harus dibangun di atas landasan kolektif mayoritas agar nilai-nilai demokrasinya berfungsi dan berjalan sesuai dengan makna filosofis demokrasi itu sendiri yaitu mengikat gerbong kecil.
Jadi jangan di balik-balik gerbong kecil mau mengikat gerbong besar pasti rapuh dan tidak kuat akibatnya rakyatnya berhamburan kemana-mana, ya seperti sekarang ini yang terjadi di Indonesia akibat Amandemen UUD45 asli.
Demkian juga, sistem demokrasi musyawarah mufakat itu dibangun di atas nilai-nilai kejujuran dan memiliki makna filosofis seperti dialetika, materialisme, dan logika atas dasar sosial geopolitik. Dialetika dengan memperhitungkan Pulau Jawa sebagai sebuah kenyataan demokrasi bahwa Pulau Jawa secara materi merupakan sumber daya demokrasi politik terbesar di Indonesia.
Sistem demokrasi musyawarah mufakat secara logika sebagaimana yang tercantum pada sila keempat Pancasila maupun pada pembukaan UUD45 Asli adalah merupakan sistem demokrasi yang paling modern di dunia ini, murah, cepat, efisien, terukur serta mempunyai power untuk menjaga bangsa dan negara kesatuan Republik Indonesia karena demokrasinya berdasarkan kedaulatan Rakyat. Sedangkan demokrasi yang dibangun menyimpang dari sistem demokrasi Pancasila, maka Bangsa Indonesia kehilangan imunitas akibatnya NKRI bisa berdampak.
Musyawarah mufakat sebagai sebuah sistem nilai demokrasi wajib memberikan privilage pada tokoh-tokoh nasional dari Pulau Jawa untuk menjadi presiden, mengapa? Pertama, secara historis Pulau Jawa sebagai pusat kebangkitan nasionalisme, baik nasionalisme kultural maupun nasional ideologis.
Kedua, Pulau Jawa sebagai pusat pergerakan kemerdekaan yang telah mempersatukan seluruh nusantara. Ketiga, Pulau Jawa banyak melahirkan tokoh Islam maupun tokoh nasional. Keempat, Pulau Jawa menjadi pusat intelektual dan politik nasional.
Di samping itu azas demokrasi musyawarah mufakat dengan memberikan privilage pada tokoh-tokoh nasional Pulau Jawa untuk menjadi President RI juga bertujuan untuk mencegah terjadinya tirani dan dominasi atas dasar menghalalkan segala cara.
Meskipun tidak tulis menyatakan bahwa sistem musyawarah mufakat ini memberikan kedudukan privilage kepada tokoh-tokoh nasional Pulau Jawa untuk menjadi presiden RI, tapi semangat demokrasinya dan musyawarahnya menunjuk bermufakat untuk menjadikan tokoh-tokoh Pulau Jawa sebagai President RI.
Sedangkan bagi tokoh-tokoh nasional yang berasal dari luar Pulau Jawa harus juga menjadi bagian dari musyawarah mufakat ini, sebagai cerminan dari proses kedaulatan rakyat yang berdasarkan demokrasi musyawarah mufakat.
Kesadaran berdemokrasi sangat dibutuhkan untuk menghilangkan dikatomi Jawa dan Luar Jawa sebab kenyataan sumber daya demokrasi secara politik penduduk Pulau Jawa 65 persen dari seluruh jumlah penduduk Indonesia berada di Pulau Jawa. Demokrasi Musyawarah mufakat dengan memberikan privilage pada tokoh-tokoh nasional Pulau Jawa juga bertujuan untuk memelihara keutuhan bangsa Indonesia, mengubur isu-isu Sara maupun intoleran.
Demikian juga, bahwa sistem musyawarah mufakat ini sangat diperlukan untuk mencegah agar tokoh-tokoh nasional Pulau Jawa yang akan dipilih dalam musyawarah mufakat sebagai Presiden RI bukan presiden boneka, bukan tokoh karbitan, bukan tokoh titipan, tapi benar-benar Jawa asli, nasionalisme asli, sebagai muslim harus taat beribadah pada Allah SWT sebab seorang Presiden RI yang menjalankan Pancasila syaratnya harus bisa taat beribadah.
Dengan demikian, kalau orang luar Jawa saja sulit untuk jadi presiden RI. Apalagi dengan Hary Tonoe atau Ahok, tidak hanya sulit tapi secara konstitusi azas musyawarah mufakat, tidak mungkin anggota MPR bermusyawarah lalu bermufakat milih Hary Tanoe atau Ahok jadi Presiden RI 1 maupun RI 2.
Untuk menghindari kekacauan konstitusi Negara maupun hilangnya jatidiri bangsa Indonesia, oleh karena itu memberlakukan kembali UUD45 Asli adalah dalam rangka untuk memberikan kembali imunitas sebagai ketahanan bangsa dan Negara Republik Indonesia sebagai negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat. [rmol]
Habil Marati
Penulis adalah anggota DPR RI periode 1999-2009