KH Hasan Abdullah Sahal: Bangsa Ini Sedang Sakit
[tajuk-indonesia.com] - Kondisi umat (bangsa) kita saat ini sedang sakit. Dalam kondisi demikian, janganlah diberi dalil ini dan itu. Jangan pula malah diajak diskusi ini dan itu. Nanti kondisi sakitnya justru akan semakin parah.
Pernyataan bernada seloroh seperti sekenanya tersebut disampaikan KH. Hasan Abdullah Sahal, salah satu dari tiga Pimpinan Pengasuh Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo, saat memberikan taushiyyah dalam Silarturahmi dan Haflah Idul Fitri 1438 H, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Jawa Timur yang digelar di Gedung Al Ikhlas, Takeran, Magetan, Jawa Timur, Sabtu 28 Syawal 1438 / 22 Juli 2017 siang.
Tampak hadir dan berbicara dalam kesempatan itu diantaranya, H. Sudarno Hadi, Sekretaris DDII Jawa Timur mewakili H. Tamat Anshori Ismail, Ketua DDII Jawa Timur yang tengah sakit. Kemudian Miftahul Anam dari DDII Pusat.
KH. Hasan, lebih lanjut menyebutkan, untuk menyembuhkan dan memulihkan kondisi sakit umat (bangsa) ini, diantaranya harus diketahui penyebabnya. “Yang membuat sakit itu siapa ? Kalau di Indonesia ini, ada yang menyebut-nyebut ada yang memecah belah bangsa Indonesia, itu siapa yang telah memecah belah bangsa ini?. Lebih jauh lagi, itu Syiria, Yaman yang menjadi sakit dan morat-marit, kemudian juga ada ISIS, siapa sebenarnya yang telah membuat demikian?” tandasnya.
Ditambahkan pula; “Kita ini dibuat menjadi bingung. Apa bangsa ini benar-benar sudah menjadi bodo. Ini, adakah karena gara-gara politik yang sudah sangat bernafsu terhadap harta, tahta, sehingga negeri ini menjadi demikian tidak aman?,” tambahnya bernada tanya.
Kondisi umat (bangsa) yang sedang sakit, kata KH. Hasan, kemudian bagimana menanganinya. Apakah justru dengan cara represif. Seperti menurunkan orang yang sedang berbicara, berpidato dari mimbar. Apakah itu menyelesaikan masalah. Memblokir situs-situs di internet, cobalah, apakah itu juga dapat menyelesaikan masalah.
Salah satu langkah untuk menyembuhkan; mendidik bangsa ini, untuk mengamalkan pembukaan UUD 1945 yang menyebut mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian senantiasa mewaspadai sebenarnya ada pihak-pihak yang memang menghendaki bangsa ini terpecah-belah. Akan merasa rugi besar jika bangsa ini justru dapat bersatu. Ada pihak dengan segala kekuatannya mendorong bangsa ini untuk menjadi kuda, sedang pihak tersebut nanti sebagai kusirnya. Ada pihak yang seperti tidak bersalah, telah menggadaikan pesantrennya, menjual agamanya, menjual aqidahnya. Akhirnya dengan sangat mudah dikerjai atau diperalat.
Langkah yang lain, dengan memperbanyak silaturahmi, diantaranya seperti yang dilaksanakan DDII saat ini. Silaturahmi tidak ada pada agama lain. Tapi kemudian ada muncul “silatu-pencitraan”, serta silatu-silatu yang lain. Silaturahmi yang diperlukan di Negara ini adalah yang dilaksanakan dengan penuh kesadaran.
“Untunglah, saya dan segenap yang ada di Gontor tidak berpolitik,” kata Kyai Hasan dengan mengungkap bahwa sejak zaman penjajahan, bangsa ini seperti tidak ada yang berubah. “Ya begini ini, ada yang rela menjadi budak, ada yang dengan sadar justru menjadi antek asing. Ada yang menjadi atheis dan ada pula yang anti atheis. Untung bangsa ini masih sadar, dan masih memiliki Pancasila dan UUD 1945. Tapi ada pula, disatu pihak yang merasa sangat pancasila sedang dipihak lain tidak. Umat Islam ini, tidak hanya menegakkan satu-dua atau tiga pilar kebangsaan. Melainkan puluhan pilar kebangsaan didirikan tegak oleh umat Islam,” tandasanya dengan meminta semua pihak ke pesantren-pesantren; betapa akan menjumpai Bhineka Tunggal Ika, Pancasila dan UUD 1945 ditegakkan dengan sangat benar.
Kyai, alumni Fakultas Dakwah dan Ushuluddin Universitas Islam Madinah dan mengambil spesialisasi Hadits di Universitas Al Azhar Kairo ini, kemudian mengungkap yang terjadi di sekitar tahun 1965.
“Saya tahu dengan PKI. Apa yang terjadi di sekitar tahun 1965, indikasinya nyaris sama dengan kondisi saat ini. Masalahnya sekarang; pingin mati atau pingin hidup. Kalau tidak pingin hidup, hendaklah matilah dengan yang baik. Umat Islam, mengetahui bagaimana mati yang baik itu. Kemudian kalau tidak ingin mati, hendaklah hiduplah dengan hidup yang baik,” pesannya.
KH. Hasan Abdullah Sahal, putra ke enam dari KH. Ahmad Sahal—salah satu dari tiga bersaudara (Trimurti) pendiri dan pemimpin Pondok Modern Darussalam Gontor. Saat menyampaikan taushiyyah berharap segala sesuatu yang disampaikan jangan sampai dianggap sebagai ujaran kebencian.
Berwasiat
“Saya bertemu dengan Pak Natsir di tahun 1967, saat Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) ini didirikan. Pak Natsir meninggalkan politik dan memimpin DDII. Saya dan kami semua yang di Gontor sejalan, juga tidak berpolitik. Sepenuhnya mengajar agama, mengurus anak-anak yang belum bisa shalat, agar menjadi bisa salat, “ katanya.
Dengan posisi yang tidak berpolitik demikian, KH. Hasan menggambarkan yang disampaikan tidak jarang bisa saja disalah artikan. Seperti ketika mengingatkan peternak babi dan pemelihara anjing.
“Saya katakan pada peternak babi itu, babi itu kotor dan haram. Sedang kepada pemelihara anjing itu, saya katakana air liur anjing itu najis. Jika terkena air liurnya, membersihkan harus dengan beberapa kali dibasuh air dan debu. Demikian itu, apakah saya menyampaikan ujaran kebencian atau ajaran agama…?” kata KH. Hasan dengan nada bertanya.
Di ujung taushiyyahnya; KH. Hasan mengutip tiga ayat akhir Surat Al Fajr, yang biasa dibaca seorang modin ketika menghantar penguburan jenazah; Ya ayyuhan nafsul muthma’innah // Irji’ii ilaa robbiki rodziyatam mardziyah// fadkhulili fii ‘ibaadii// wadkhulii jannatii// Wahai Manusia yang telah memiliki jiwa yang tenteram. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhaiNya. Maka masuklah ke golongan hamba-hamba Ku. Dan masuklah ke dalam Surga Ku.
“Saya kini, sudah hampir 71 tahun. Orang bilang usia senja. Kalau saya bilang sudah surup—- matahari menjelang tenggelam. Karena itu, saya wasiatkan dengan mengajak memahami lebih mendalam tiga ayat tersebut. Wahai manusia yang sudah mempunyai jiwa yang tenteram, masuklah ke dalam haribaanKu (Allah), di sanalah terdapat kedamaian. Jangan sampai surga kita di obrak-abrik oleh musuh-musuh Islam, orang asing dan antek-antek asing.
Karena itu, kalau saat ini berada di dalam kehidupan berpolitik, berpolitiklah yang benar. Kalau saat ini berada di bidang ekonomi, bertindaklah dalam bidang ekonomi yang benar. Kalau saat ini berada di bidang hukum; bertindaklah dengan hukum yang benar. Kita, tidak mau Negara ini menjadi seperti Styuriah dan Yaman.” Katanya mengakhiri taushiyyahnya.[gm]