AMANDEMEN UUD 1945: DERITA PRIBUMI INDONESIA ( REFLEKSI 19 TAHUN REFORMASI GAGAL)
[tajuk-indonesia.com] - Oleh: Baher Nugroho*
PERISTIWA ‘penggulingan’ Presiden Republik Indonesia (RI) ke 2, Jenderal Besar Soeharto pada Mei 1998 ( Reformasi ) telah menjadi bagian perjalanan panjang Bangsa Indonesia. Sebagian menilai, peristiwa 19 tahun silam itu merupakan sejarah Emas. Namun, tak sedikit yang justru memandang sebagai awal mimpi buruk Bangsa Indonesia. Reformasi 98 adalah mula dari sebuah pencederaan terhadap nilai-nilai Pancasila dan UUD
1945 (asli).
Tumbangnya Orde Baru (Orba) dirayakan sebagai momen Indonesia telah lepas dari rezim otoriter yang sarat Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Orba dicitrakan sedemikian rupa sebagai agen kapitalis yang tidak manusiawi.
Pendapat itu tentu tidak sepenuhnya benar. Bahkan saya pribadi sebagai bagian dari pelaku sejarah, berpendapat tudingan itu keliru. Justru Presiden RI Ke 2 yang akrab disapa Pak Harto, dimasa akhir-akhir sebelum dilengserkan, telah menabuh genderang perang dengan Kapitalisme Global. Sebab, tragedi Mei 1998 tidak bisa lepas dari
skenario global. Krisis moneter yang terjadi sejak juli 1997, pemicunya.
Dimulai dari Thailand, menyebar ke berbagai negara, termasuk Indonesia dan Koera Selatan.
Sebelum Pak Harto akhirnya mundur pada 21 Mei 1998, menteri luar negeri Amerika Serikat (AS) saat itu, Madeleine Albright mengatakan; “Sudah waktunya Soeharto untuk pergi”. Itu diucapkannya sehari setelah puncak kerusuhan di Semanggi. Jelas ia mewakili kepentingan Negaranya. Ini yang jarang diingat, bahkan dihilangkan dari sejarah reformasi. AS jelas bangsa kapitalis nomor wahid.
Jika dinalar, tidak sulit bagi Pak Harto untuk mempertahankan kekuasaan. Demo yang jauh lebih kecil massanya ketimbang aksi bela Islam jilid 2 (aksi 212) yang lalu itu, gampang saja diredam. Sebab ia didukung militer dan Golkar,
partai berkuasa saat itu.
Sempat terbersit dalam benak saya, barangkali Pak Harto saat itu menerapkan ushulul-fiqh; “Mudharat kecil boleh dilakukan untuk menghindari mudharat besar atau jika ada dua mudharat berhadapan, maka wajib dipilih yang lebih kecil atau ringan.”
Dengan legowo Pak Harto memilih mundur ketika kerusuhan yang didalangi Asing Aseng itu, eskalasinya semakin meningkat hingga ke daerah-daerah.
Mengapa saya berprasangka demikian? Pasalnya, Pak Harto yang semula terkesan anti Komunis sekaligus Anti Islam dengan propaganda Ekstreem kanan (Eka) dan Ekstreem kiri (Eki), di akhir-akhir kekuasaannya mulai condong ke Islam. Hal itu juga banyak diulas oleh Prof. Yusril Ihza Mahendra dalam tulisan-tulisannya.
Disisi lain, Pak Harto memang pada Pemilu 1997 kerap menyatakan tidak ingin dicalonkan lagi. Akan tetapi para ‘pembisik’ memaksanya.
Keterlibatan Asing Aseng dalam melengserkan pak Harto mulai jelas nampak ketika krisis terjadi. International Monetary Fund (IMF) memperkeruh suasana. IMF memaksa Pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada 4 mei 1998, dengan ‘ancaman’ jika tidak maka ekonomi indonesia akan bertambah parah. Tentu saja dalam kondisi yang sulit dan demi mengantisipasi devisit
APBN agar target program pembangunan tercapai, pemerintah terpaksa mengikuti kemauan IMF.
Pak Harto tentu paham sesunggunya itu memang bukan jalan yang terbaik, namun itu dipandang sebagai jalan tercepat untuk menyelamatkan perekonomian negara, menyelamatkan rakyat Indonesia. Jika langsung melawan kehendak IMF ia sadar bangsa Indonesia belum siap menghadapi kemungkinan yang lebih buruk dengan embargo ekonomi.
Namun apa boleh buat, efek domino kenaikan BBM memang membuat masyarakat kelimpungan; kenaikan harga kebutuhan pokok, inflasi, dan
tentu saja daya beli rendah, meski di sisi lain kas negara
terselamatkan dan menjadi garansi untuk pemulihan ekonomi. Meski
komitmen Orba dalam menjaga stabilitas ekonomi telah terbukti, masyarakat terlanjut terprovokasi untuk melupakan jasa-jasanya.
Prestasi Pak Harto dalam pembangunan ekonomi jelas diakui dunia. Pada tahun 1990-an. Tingkat pertumbuhan ekonomi mencapai rata-rata 7 %. Itu
merupakan salah satu tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia.
Bahkan, pada tahun 1995 laju pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 8.2% dengan tingkat inflasi 8.64% (Sumber data: Saleh, Sofyan dkk, Perekonomian Indonesia dalam perspektif waktu. Hal 69-71). Indonesia nyaris sejajar dengan RRC. Bandingkan dengan pemerintah setelah reformasi, terlebih pemerintah saat ini?!
Fakta kini masyarakat merindukan sosok Pak Harto, tak terbantahkan. poster, meme, sampai mural di patat truk dengan gambar Pak Harto dan
bertuliskan; “Piye kabare. Isih penak jaman ku to? (Apa kabar, masih
enak jaman saya kan?)” bukan sekadar iseng, slogan omong kosong, apalagi sekadar aksi vandalisme.
Tingkat kesejahteraan dijaman Orba lebih baik, barangkali bisa dibantah dengan rasionalisasi (tepatnya kamuflase) para ekonom pro rezim Jokowi-JK saat ini. Namun kesejahteraan bukan sekadar pada angka-angka statistik, melainkan realitas. Akan sangat tidak objektif jika mengukur kesejahteraan masa lalu dan masa kini dengan standar penguasa saat ini. Sama saja misalnya dengan analogi; “enak di jaman sekarang bisa chating pakai Whats App, daripada jaman Orba, HP aja mungkin belum ada di Indonesia.”
Kerinduan masyarakat dengan era Pak Harto lebih karena faktor tingkat
kesejahteraan dan kenyamanan dalam hidup bermasyarakat. Tidak seperti era kini. Ketika rakyat butuh harga kebutuhan pokok terjangkau, Bahan Bakar Minyak (BBM), Tarif Tenaga Listrik (TTL), Gas LPG murah, malah dibuat resah dengan kegaduhan-kegaduhan politik dan aneka pengalihan isu.
Ketika rakyat butuh suport modal malah proteksi usaha dan akses modal usaha rakyat dicabut, suku bunga dinaikkan dan memberi karpet merah investor. Saat rakyat butuh pekerjaan malah import buruh kasar dari China. Manakala rakyat masih banyak yang tinggal di kolong-kolong jembatan malah bangun pulau reklamasi yang disiapkan untuk hunian warga asing. Ingat iklan pulau reklamasi sudah sampai ke China raya!
Pendek kata, diera Pak Harto keadilan sosial lebih terasa ketimbang era paska reformasi, dimana pemerintah terang-terangan
pro China dan Amerika beserta sekutu ekonominya yang berkongsi di World Trade Organization (WTO).
Memang sedikit sekali analisa yang menghubungkan keterlibatan China
(RRC) dengan tumbangnya Orba. Namun coba kita renungkan kenapa dalam kerusuhan Mei ’98 banyak beredar hoax; ada penganiayaan etnis China dari pemrekosaan hingga pembunuhan, serta eksodus besar-besaran ke tanah leluhurnya. Benarkah? Mana data korban yang valid?
Bukankah Orba selama berkuasa memang tegas membatasi gerakan
nasionalisme China yang merusak nasionalisme Indonesia? Seharusnya
yang ingin tumbangkan Orba bersekutu dengan Etnis yang ‘dibenci’ orba, bukan malah menganiayanya.
Mau berkilah ini skenario AS? Tunggu dulu. Bukankah baik China
maupun AS sama-sama berkepentingan menumbangkan Orba agar bisa menguasai
Indonesia. Apa Buktinya? Tentu dapat kita saksikan Paska Reformasi. UUD 45 karya para founding father NKRI, pejuang
kemerdekaan sejati, terus digerus menjadi UUD pesanan kaum Neo Liberal (Neolib).
Amandemen UUD 45 yang terakhir tahun 2002 bertepatan dengan resminya China masuk WTO adalah yang terparah. Kentara sekali jika bersinergi dengan kepentingan China menuju sistem neolib yang jauh dari nilai-nilai Pancasila
sebagai Dasar Negara Indonesia.
Inti perubahannya adalah: Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai bagian Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); penggantian presiden; pernyataan perang, perdamaian dan perjanjian; mata uang; bank sentral; pendidikan dan kebudayaan; perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial; perubahan UUD.
MPR tak lagi memiliki power, dan tak lebih hanya ‘macan ompong’. MPR
justru terkesan takut kepada Presiden. Dilegalkannya praktik oligopoli dan monopoli ekonomi. Kebijakan iberalisasi ekonomi terus diproduksi, dengan sengaja mengundang Asing Aseng untuk menjajah kembali Indonesia.
Ingat, Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sesungguhnya sudah digagas sejak masa Presiden Megawati Soekarno Putri. MEA tak lain tindak lanjut dari Bali Concord II yang diteken bersama pada Oktober 2003. Ini sekaligus pengingkaran
dibentuknya organisasi ASEAN tahun 1967 dimana misinya seharusnya menjadikan bangsa-bangsa ASEAN memiliki kebebasan dan kekuasan independen agar tidak
terikat oleh pengaruh AS, Uni Soviet, dan China.
Coba kita pikir: MEA digembar gemborkan pemerintah, dan rakyat dipaksa bersaing dengan tanpa proteksi. Di sisi lain justru investor
yang masuk dimonopoli negara-negara di luar ASEAN yang jauh lebih maju. Yang jelas China, disusul
Iran, dan terakhir Arab Saudi.
Pada akhirnya, kebijakan politik rezim Jokowi-JK memang benar-benar menganut paham Neolib.
Kekuatan Asing Aseng terus mendorong diasporanya menyingkirkan pribumi dari kekuasaan politik. Melalui apa? Tentu saja melalui UU Pemilu yang kapitalistik. Hal itu nampak terlihat hasilnya: munculnya
pemimpin yang menang karena Beli Suara. Siapa yang mem-back up dana? Sudah pasti para Taipan yang dibelakangnya pasukan ‘triad neolib’.
— Dengan sistem multi Partai Politik (Parpol), dengan mudah pula rakyat Indonesia dikotak-kotakkan (Dipecah belah dan diadu domba). Dengan gampang pula para Taipan diaspora asing aseng membuat Partai baru. Sebab modal kapital lebih menentukan kemenangan ketimbang modal sosial. —
Dengan demikian jelas sudah bahwa Reformasi ’98 bukanlah upaya
mengakhiri kapitalisme di Indonesia dibawah rezim Orba, melainkan
justru memperkuat kapitalisme Neolib Asing Aseng terutama China dan Amerika yang kini menjadi super power ekonomi dunia.
SAATNYA PRIBUMI BANGKIT, MELURUSKAN KESALAHAN REFORMASI.
Tahun 1945 kita merdeka dari Kolonialisme, Tahun 1966 kita merdeka dari Komunisme. Kini, setelah 19 tahun reformasi gagal, saatnya merdeka dari Neo Kapitalisme China dan Neolib.
Saatnya kita kembali ke rel yang benar, yaitu Pancasila dan UUD 45, cita-cita besar proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Salam Priboemi Bangkit !
[gemarakyat]
Kerinduan masyarakat dengan era Pak Harto lebih karena faktor tingkat
kesejahteraan dan kenyamanan dalam hidup bermasyarakat. Tidak seperti era kini. Ketika rakyat butuh harga kebutuhan pokok terjangkau, Bahan Bakar Minyak (BBM), Tarif Tenaga Listrik (TTL), Gas LPG murah, malah dibuat resah dengan kegaduhan-kegaduhan politik dan aneka pengalihan isu.
Ketika rakyat butuh suport modal malah proteksi usaha dan akses modal usaha rakyat dicabut, suku bunga dinaikkan dan memberi karpet merah investor. Saat rakyat butuh pekerjaan malah import buruh kasar dari China. Manakala rakyat masih banyak yang tinggal di kolong-kolong jembatan malah bangun pulau reklamasi yang disiapkan untuk hunian warga asing. Ingat iklan pulau reklamasi sudah sampai ke China raya!
Pendek kata, diera Pak Harto keadilan sosial lebih terasa ketimbang era paska reformasi, dimana pemerintah terang-terangan
pro China dan Amerika beserta sekutu ekonominya yang berkongsi di World Trade Organization (WTO).
Memang sedikit sekali analisa yang menghubungkan keterlibatan China
(RRC) dengan tumbangnya Orba. Namun coba kita renungkan kenapa dalam kerusuhan Mei ’98 banyak beredar hoax; ada penganiayaan etnis China dari pemrekosaan hingga pembunuhan, serta eksodus besar-besaran ke tanah leluhurnya. Benarkah? Mana data korban yang valid?
Bukankah Orba selama berkuasa memang tegas membatasi gerakan
nasionalisme China yang merusak nasionalisme Indonesia? Seharusnya
yang ingin tumbangkan Orba bersekutu dengan Etnis yang ‘dibenci’ orba, bukan malah menganiayanya.
Mau berkilah ini skenario AS? Tunggu dulu. Bukankah baik China
maupun AS sama-sama berkepentingan menumbangkan Orba agar bisa menguasai
Indonesia. Apa Buktinya? Tentu dapat kita saksikan Paska Reformasi. UUD 45 karya para founding father NKRI, pejuang
kemerdekaan sejati, terus digerus menjadi UUD pesanan kaum Neo Liberal (Neolib).
Amandemen UUD 45 yang terakhir tahun 2002 bertepatan dengan resminya China masuk WTO adalah yang terparah. Kentara sekali jika bersinergi dengan kepentingan China menuju sistem neolib yang jauh dari nilai-nilai Pancasila
sebagai Dasar Negara Indonesia.
Inti perubahannya adalah: Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai bagian Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR); penggantian presiden; pernyataan perang, perdamaian dan perjanjian; mata uang; bank sentral; pendidikan dan kebudayaan; perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial; perubahan UUD.
MPR tak lagi memiliki power, dan tak lebih hanya ‘macan ompong’. MPR
justru terkesan takut kepada Presiden. Dilegalkannya praktik oligopoli dan monopoli ekonomi. Kebijakan iberalisasi ekonomi terus diproduksi, dengan sengaja mengundang Asing Aseng untuk menjajah kembali Indonesia.
Ingat, Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sesungguhnya sudah digagas sejak masa Presiden Megawati Soekarno Putri. MEA tak lain tindak lanjut dari Bali Concord II yang diteken bersama pada Oktober 2003. Ini sekaligus pengingkaran
dibentuknya organisasi ASEAN tahun 1967 dimana misinya seharusnya menjadikan bangsa-bangsa ASEAN memiliki kebebasan dan kekuasan independen agar tidak
terikat oleh pengaruh AS, Uni Soviet, dan China.
Coba kita pikir: MEA digembar gemborkan pemerintah, dan rakyat dipaksa bersaing dengan tanpa proteksi. Di sisi lain justru investor
yang masuk dimonopoli negara-negara di luar ASEAN yang jauh lebih maju. Yang jelas China, disusul
Iran, dan terakhir Arab Saudi.
Pada akhirnya, kebijakan politik rezim Jokowi-JK memang benar-benar menganut paham Neolib.
Kekuatan Asing Aseng terus mendorong diasporanya menyingkirkan pribumi dari kekuasaan politik. Melalui apa? Tentu saja melalui UU Pemilu yang kapitalistik. Hal itu nampak terlihat hasilnya: munculnya
pemimpin yang menang karena Beli Suara. Siapa yang mem-back up dana? Sudah pasti para Taipan yang dibelakangnya pasukan ‘triad neolib’.
— Dengan sistem multi Partai Politik (Parpol), dengan mudah pula rakyat Indonesia dikotak-kotakkan (Dipecah belah dan diadu domba). Dengan gampang pula para Taipan diaspora asing aseng membuat Partai baru. Sebab modal kapital lebih menentukan kemenangan ketimbang modal sosial. —
Dengan demikian jelas sudah bahwa Reformasi ’98 bukanlah upaya
mengakhiri kapitalisme di Indonesia dibawah rezim Orba, melainkan
justru memperkuat kapitalisme Neolib Asing Aseng terutama China dan Amerika yang kini menjadi super power ekonomi dunia.
SAATNYA PRIBUMI BANGKIT, MELURUSKAN KESALAHAN REFORMASI.
Tahun 1945 kita merdeka dari Kolonialisme, Tahun 1966 kita merdeka dari Komunisme. Kini, setelah 19 tahun reformasi gagal, saatnya merdeka dari Neo Kapitalisme China dan Neolib.
Saatnya kita kembali ke rel yang benar, yaitu Pancasila dan UUD 45, cita-cita besar proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Salam Priboemi Bangkit !
[gemarakyat]