Angket DPR Disebut-sebut Upaya Politik Suntik Mati Terhadap KPK


[tajuk-indonesia.com]         -         TAK sedikitpun menampik jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) penting untuk dievaluasi dan diaudit. Tuduhan dijadikan alat politik pun jamak hampiri KPK. Jika memang KPK sakit silahkan audit dan evaluasi dengan cara konstitusional, bukan lakukan upaya politik suntik mati terhadap KPK melalui angket. Bahkan belakangan pansus angket  cacat hukum dan tak ditemukan urgensi serta tujuan mendasar.

Padahal, DPR bukan tidak mungkin untuk memanggil KPK kapan saja untuk dievaluasi melalui Komisi di DPR yang membidangi hukum. Sepanjang tidak menyangkut perkara yang sedang dan akan diproses oleh KPK. Karena hal itu dikecualikan oleh UU untuk diberikan informasi.

Artinya, tindakan untuk evaluasi KPK tidak harus melalui angket. Karena secara filosofi hukum, angket itu merupakan perangkat hak dimiliki DPR yang bisa saja berujung pemakzulan. Lantas, jika kita telisik UU MD3, KPK tidak dapat dipahami sebagai subjek hukum yang diangket.

Pansus angket justru berpotensi membuat kabur fokus pemberantasan korupsi. Mestinya pansus bukan menjadi penghalang KPK untuk tetap fokus pada kasus yang sedang ditangani, misal sebut saja pemicu hadirnya angket adalah perkara korupsi E-KTP.

Betapa sulit publik menerima dengan logis, hak angket hadir sebagai reaksi politik yang semula dipicu oleh beberapa nama anggota DPR disebut dalam dakwaan dan telah diperiksa pada kasus E-KTP. Terang sekali jika angket merupakan tindakan politik suntik mati terhadap KPK jika hal ini dilihat dari upaya KPK fokus pada pemberantasan korupsi utamanya penuntasan kasus E-KTP.

Ditengah situasi KPK yang memiliki kelemahan bahkan berpotensi terserang penyakit secara kelembagaan. Justru disitulah peran DPR untuk mendorong penguatan KPK dengan melakukan rekonstruksi hukum demi terciptanya sistem KPK yang kuat dan akuntabel.

Upaya itu dapat kita dorong melalui beberapa hal, seperti: Pertama, mekanisme pemilihan Komisioner KPK tidak mutlak dipilih DPR. Bisa saja disini DPR hanya melakukan uji kelayakan dan kepatutan saja. Jika DPR yang mutlak memilih, potensi komisioner yang terpilih bisa jadi tak independent karena terbebani oleh tarik menarik politik kepentingan. Bahkan terkesan asal memilih pimpinan KPK pun bisa terjadi, tentu kualitas nyali penindakan kasus korupsi yang kita ragukan disini. Selebihnya kewenangan DPR masih sebagai mitra KPK dan kapan saja dapat evaluasi KPK.

Kedua, rekonstruksi hukum dengan jadikan KPK lembaga permanen bukan ad hoc. Agar tidak ada lagi logika yang menagih janji atas KPK pemberantasan korupsi yang dibatasi dengan kurun waktu. Artinya secara kelembagaan KPK bekerja berbasis proses dan sistem layaknya lembaga hukum lain, tidak adil jika KPK dibatasi sekian waktu harus tuntas capai indikator pemberantasan korupsi.

Kemudian, yang penting juga terkait hak penuntutan dan penyadapan harus bersifat mutlak dan melekat pada KPK. Hak inilah yang selama ini menjadi fungsi KPK efektif melakukan penindakan.

Ketiga, berikan jaminan dan kepastian hukum terhadap standarisasi anggaran KPK agar tidak dibajak oleh DPR. Kejadian ancaman pembekuan atau boikot anggaran yang terjadi ditengah hiruk pikuk pansus angket merupakan hal yang mendorong perlu ditingkatkan jaminan anggaran terhadap KPK. Dikuatirkan akan terjadi pembajakan secara politik agar KPK bungkam dan tak bergerak secara dinamis karena support anggaran yang tidak sesuai dengan beban kerja.

Keempat, pimpinan dan pegawai KPK diberi hak imunitas hukum tak bisa diperkarakan menyangkut kasus tertentu dengan ancaman hukuman tertentu dan akan bisa ditindak secara hukum jika sudah tidak menjabat di KPK, perlakuan ini untuk menghindari kriminalisasi KPK. Betapa tidak dapat kita melupakan kasus yang menimpa abraham samat ketua KPK yang tersandra oleh kasus cenderung di cari cari kesalahannya. Upaya hak imunitas ini tentu akan selektif dan sifatnya penundaan penindakan bukan berarti tidak ditindak.

Kelima, KPK dapat melakukan rekrutmen dan pendidikan kepada calon penyidik dan penuntut secara mandiri

Keenam, sebagai langkah mendorong pemberantasan korupsi, sekiranya penting untuk usulkan meskipun opsional membentuk KPK di daerah demi memperkuat upaya penindakan dan pencegahan.

Ketujuh, agar tak terulang lagi kejadian yang menimpa penyidik KPK yaitu kasus penyiraman air keras terhadap Novel. Maka, pimpinan dan Pegawai KPK diberikan jaminan dan fasilitas pengamanan yang memadai dari Negara.

Setidaknya, beberapa hal diatas dapat diupayakan oleh DPR agar mendorong KPK semakin kuat dan akuntabel sebagai sebuah sistem. Bukan justru menjawab situasi kelemahan KPK dengan angket, apalagi upaya itu dihadirkan ditengah KPK sedang proses kasus korupsi E-KTP. Jelas angket pada konteks itu dipahami sebagai
upaya politik suntik mati terhadap KPK, bukan untuk mengobati.

Faisal
Penulis adalah Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Bidang Hukum   [rmol]













Subscribe to receive free email updates: