NAPAK TILAS KEBANGKITAN NASIONAL
[tajuk-indonesia.com] - Kebangkitan Nasional. Gimana kita memaknainya di zaman sekarang?
Waktu saya sekolah dasar sampai SMA, guru-guru sejarah mengajarkan kebangkitan nasional identik dengan berdirinya Budi Utomo pada 20 Mei 1908.
Tentu saja itu tetap berguna buat saya setidaknya saya jadi tahu bahwa yang namanya Dokter Wahidin Sudiro Husodo dan Dr Sutomo merupakan para dokter yang mengagas perlunya sebuah organisasi dalam rangka menggalang kekuatan sekaligus menumbuhkan kesadaran kebangsaan, meskipun masih sebatas mengagung-agungkan suku Jawa, yang seakan Jawa itu ya nusantara.
Namun dengan titik tekan pengajaran sejarah bahwa kebangkitan nasional itu ditandai dengan berdirinya Budi Utomo, saya jadi nggak punya bayangan, dan saya yakin juga siswa siswa lain sejaman dengan saya, apanya sih yang bangkit sehingga disebut Kebangkitan Nasional.
Kalau kebangkitan diartikan sebagai munculnya sebuah kesadaran baru bahwa kita yang aneka ragam suku dan pulau, mungkin pidato Bung Hatta di depan pengadilan Belanda pada 1925, yang kelak diberi judul Indonesia merdeka, lebih pas disebut sebagai tonggak tonggak munculnya kesadaran nasional, sehingga lebih pas jika dipandang sebagai fase yang mengilhami tumbuhnya Kebangkitan Nasional. Karena di era Bung Hatta, Nazir Pamuncak, Ali Sastroamijoyo dan Ahmad Subarjo merintis berdirinya Perhimpunan Indonesia, Kebangkitan Nasional menurut saya dari titik itulah bermula.
Maka tak heran jika pada kongres pemuda kedua pada 28 Oktober 1928, setelah sebelumnya dimatangkan pada Kongres Pemuda pertama pada 1927, dicetuskanlah yang namanya Sumpah Pemuda. Ikrar yang menegaskan bahwa hanya ada satu bangsa, bangsa Indonesia. Satu bahasa, bahasa Indonesia. Dan hanya ada satu tanah tumpah darah satu, tanah air Indonesia.
Melalui tahapan antara gerakan Perhimpunan Indonesia yang dimotori Bung Hatta sejak awal 1920-an hingga Sumpah Pemuda 1928 inilah, muncul pergolakan pemikiran dan gagasan untuk satu saat seluruh bangsa nusantara yang dijajah Belanda, bersatu membentuk sebuah negara baru, bernama Indonesia.
Maka dengan mata-rantai antara gerakan Hatta 1920-an hingga sumpah pemuda Oktober 1928, Bung Karno sejak 1925 sudah mulai menulis dan mewarnai khazanah intelektual di tanah air. Dengan fokus pada dua isu penting. Menggambarkan kejahatan sistem kapitalisme yang mana kolonialisme dan penjajahan merupakan anak kandung yang dialhirkannya.
Kedua, dengan mengenali pola pikir dan cara kerja sistem kapitalisme itu, dengan cara bagaimana membangun basis basis sosial dan budaya sebagai landasan membentuk negara dan bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Inilah gagasan Bung Karno yang sudah dimulai ketika menulis di beberapa media massa atau koran masa itu, yang mencapai puncaknya dalam Pidatonya di depan pengadilan Belanda di Bandung, yang kelak diberi judul: Indonesia Menggugat.
Lantas, apakah berarti berdirinya Budi Utomo jadi tidak penting? Saya kira tidak juga. Bagaimanapun juga, itikad para penggerak Budi Utomo seperti Dr Wahidin dan Dr Sutomo, tetap harus kita pandang sebagai daya upaya mencari pemecahan masalah sesuai dengan tantangan zamannya kala itu.
Hanya saja sayangnya, para sesepuh kita ini, masih meraba-raba apa sesungguhnya masalah pokok dan penting dari bangsa nusantara kala itu. Mereka sadar bahwa Belanda yang merupakanbangsa asing, telah menjajah Jawa. Namun beliau beliau itu lupa bahwa yang menderita akibat penjajahan Belanda bukan orang Jawa saja. Orang Minang, Orang Batak, Orang Bugis,. Orang Palembang, Orang Aceh. Orang Maluku. Semua juga alami derita penjajahan yang sama.
Lahirnya Budi Utomo sayangnya lebih memandang derita nusantara ya derita Jawa. Sehingga Budi Utomo lebih diarahkan untuk memberdayakan orang orang Jawa. Dan itupun selain tidak maksimal, juga tidak tepat sasaran. Karena prakteknya, Budi Utomo lebih mengutamakan pemberdayaan lapisan elit kerajaan dan bangsawan Jawa saja. Bukan ditujukan pada pemberdayaan semua lapisan masyarakat Jawa.
Sarekat Islam, yang berdiri pada 1912 yang dimotori HOS Cokroaminoto yang mana sebelumnya adalah Sarikat Dagang Islam yang dimotori Kyai Samanhudi, mungkin jauh lebih tepat sasaran dalam menawarkan sebuah solusi kebangsaan. Meskipun masih berlingkup terbatas yaitu umat Islam, namun dari segi gagasan strategis, setidaknya para pencetus dan penggerakan Sarikat Islam lebih jenius. Setidaknya, melalui skema SI gerakan kebangsaan lebih bersifat lintas kepulauan dan daerah. Antara Jawa dan Luar Jawa.
Meskipun kalau kita pandang dari sudut pandang kekinian SI terkesan ekslusif, namun kalau ditinjau dari cara pandang para tokoh pergerakan nasional di era awal abad 20 itu, pengaruhnya dan inspirasinya dalam meluaskan lingkup pergerakan kebangsaan kelak di kemudian hari, jauh lebih besar.
Apalagi fakta bahwa Bung Karno, Bung Hatta, Haji Agus Salim dan lain lain, mengalami penggemblengan masa mudanya melalui para penggerak SI ini. Meskipun kemudian Bung Karno dan Bung Hatta, mengembangkan lingkup kerangka gagasan SI itu ke lingkup yang lebih besifat nasional. Bung Karno mengembangkannya dalam Partai Nasional Indonesia pada 1927.
Dan ketika PNI pecah, karena Bung Karno dan Bung Hatta berbeda strategi politik, mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia. Namun keduanya adalah anak kandung dari pergolakan pemikiran yang bermula saat Sarikat Islam berdiri pada 1912 yang secara kebetulan pada tahun yang sama berdiri pula Muhammadiyah yang didirikan oleh Kyai Ahmad Dahlan.
Jangan lupa masih ada tokoh yang juga tak boleh dilupakan dalam memantik kesadaran nasional : Max Haveelar sebuah karya sastra yang amat menggugah karya Douwes Dekker yang lahir melalui nama penanya Multatuli ” Douwes Dekker. Melalui karya monumental tersebut bukan saja membuat kalang kabut pemerintah kolonial Nelanda melalui investigasinya terhadap apa yang sedang terjadi di lebak Banten. Tapi juga mampu menggugah generasi muda nusantara kala itu. Bebeerapa tokoh pergerakan kemerdekaan nasional Indonesia kala itu, umumnya tergugtah kesadaran nasionalnya setelah membaca Max Havelaar.
Berikutnya ada Raden Mas Tirto Adi Suryo yang melakukan penggalangan dan perlawanan melalui pers dan aksi boycot terhadap pemerintah Kolonial Belanda yang menganggap sangat hina, cuma bermartabat untuk pembelaan terhadap kaum kromo.
Dan beliau adalah alumni yang tidak lulus pendidikan kedokteran di Stovia.
Ada jugta tokoh pnedidikan yang kelak mendirikan Perguruan Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara, dimana beliaa memandang pendidikan merupakan pisau analisa yang sangat tajam dalam membedah kesadaran sosial untuk berubah menjadi kesadaran nasional.
Haji Misbach, Mas Marco Kartodikromo, dan Semaoen yang menjadikan pers dan pergerakan nasional menjadi alat perlawanan terhadap himpitan kolonial Belanda..
Apa yang mereka bangun juga merupakan bagian dari perlawanan ke arah dekolonisasi Indonesia yang lahir dalam aneka rupa bentuk. Dengan tujuan sama yaitu memobilisasi kesadaran massa rakyat agar bergerak menuju jalan pembebasan.
Dan mereka merupakan inisiator dan inspirator ide-ide baru yang segar dan orisinal dalam dunia pergerakan nasional Indonesia.
Rangkaian kesejarahan inilah yang harus tetap kita ingat dan hayati bukan saja bagi kita kita sekarang, tapi juga kepada anak cucu kita kelak. Tanpa ingatan sejarah, apalagi sejarah asal usul sampai kita bisa jadi merdeka kayak sekarang, maka Indonesia bukan saja satu saat bisa lenyap secara geografis. Tapi bahkan juga secara peradaban. [aktual]
Lahirnya Budi Utomo sayangnya lebih memandang derita nusantara ya derita Jawa. Sehingga Budi Utomo lebih diarahkan untuk memberdayakan orang orang Jawa. Dan itupun selain tidak maksimal, juga tidak tepat sasaran. Karena prakteknya, Budi Utomo lebih mengutamakan pemberdayaan lapisan elit kerajaan dan bangsawan Jawa saja. Bukan ditujukan pada pemberdayaan semua lapisan masyarakat Jawa.
Sarekat Islam, yang berdiri pada 1912 yang dimotori HOS Cokroaminoto yang mana sebelumnya adalah Sarikat Dagang Islam yang dimotori Kyai Samanhudi, mungkin jauh lebih tepat sasaran dalam menawarkan sebuah solusi kebangsaan. Meskipun masih berlingkup terbatas yaitu umat Islam, namun dari segi gagasan strategis, setidaknya para pencetus dan penggerakan Sarikat Islam lebih jenius. Setidaknya, melalui skema SI gerakan kebangsaan lebih bersifat lintas kepulauan dan daerah. Antara Jawa dan Luar Jawa.
Meskipun kalau kita pandang dari sudut pandang kekinian SI terkesan ekslusif, namun kalau ditinjau dari cara pandang para tokoh pergerakan nasional di era awal abad 20 itu, pengaruhnya dan inspirasinya dalam meluaskan lingkup pergerakan kebangsaan kelak di kemudian hari, jauh lebih besar.
Apalagi fakta bahwa Bung Karno, Bung Hatta, Haji Agus Salim dan lain lain, mengalami penggemblengan masa mudanya melalui para penggerak SI ini. Meskipun kemudian Bung Karno dan Bung Hatta, mengembangkan lingkup kerangka gagasan SI itu ke lingkup yang lebih besifat nasional. Bung Karno mengembangkannya dalam Partai Nasional Indonesia pada 1927.
Dan ketika PNI pecah, karena Bung Karno dan Bung Hatta berbeda strategi politik, mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia. Namun keduanya adalah anak kandung dari pergolakan pemikiran yang bermula saat Sarikat Islam berdiri pada 1912 yang secara kebetulan pada tahun yang sama berdiri pula Muhammadiyah yang didirikan oleh Kyai Ahmad Dahlan.
Jangan lupa masih ada tokoh yang juga tak boleh dilupakan dalam memantik kesadaran nasional : Max Haveelar sebuah karya sastra yang amat menggugah karya Douwes Dekker yang lahir melalui nama penanya Multatuli ” Douwes Dekker. Melalui karya monumental tersebut bukan saja membuat kalang kabut pemerintah kolonial Nelanda melalui investigasinya terhadap apa yang sedang terjadi di lebak Banten. Tapi juga mampu menggugah generasi muda nusantara kala itu. Bebeerapa tokoh pergerakan kemerdekaan nasional Indonesia kala itu, umumnya tergugtah kesadaran nasionalnya setelah membaca Max Havelaar.
Berikutnya ada Raden Mas Tirto Adi Suryo yang melakukan penggalangan dan perlawanan melalui pers dan aksi boycot terhadap pemerintah Kolonial Belanda yang menganggap sangat hina, cuma bermartabat untuk pembelaan terhadap kaum kromo.
Dan beliau adalah alumni yang tidak lulus pendidikan kedokteran di Stovia.
Ada jugta tokoh pnedidikan yang kelak mendirikan Perguruan Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara, dimana beliaa memandang pendidikan merupakan pisau analisa yang sangat tajam dalam membedah kesadaran sosial untuk berubah menjadi kesadaran nasional.
Haji Misbach, Mas Marco Kartodikromo, dan Semaoen yang menjadikan pers dan pergerakan nasional menjadi alat perlawanan terhadap himpitan kolonial Belanda..
Apa yang mereka bangun juga merupakan bagian dari perlawanan ke arah dekolonisasi Indonesia yang lahir dalam aneka rupa bentuk. Dengan tujuan sama yaitu memobilisasi kesadaran massa rakyat agar bergerak menuju jalan pembebasan.
Dan mereka merupakan inisiator dan inspirator ide-ide baru yang segar dan orisinal dalam dunia pergerakan nasional Indonesia.
Rangkaian kesejarahan inilah yang harus tetap kita ingat dan hayati bukan saja bagi kita kita sekarang, tapi juga kepada anak cucu kita kelak. Tanpa ingatan sejarah, apalagi sejarah asal usul sampai kita bisa jadi merdeka kayak sekarang, maka Indonesia bukan saja satu saat bisa lenyap secara geografis. Tapi bahkan juga secara peradaban. [aktual]